Pembajakan Kapal di Perairan Filipina
Frega Wenas Inkiriwang ;
Dosen Universitas Pertahanan
Indonesia
|
KOMPAS, 02 Juli 2016
Semakin menguatnya
peran aktor non-negara di bidang keamanan dalam beberapa dekade terakhir
menjadi tren baru dalam hubungan internasional, khususnya yang berkaitan
dengan terorisme.
Isu ini menjadi sangat
mengemuka dengan kehadiran aktor non-negara, seperti Al Qaeda yang
mengejutkan dunia dengan serangan terornya. Aksinya menghancurkan gedung
World Trade Center di New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001,
membuat dunia terperangah. Sama juga dengan maraknya aksi teror yang
dilakukan Negara Islam di Irak dan Suriah yang semakin meluas pengaruhnya
hingga saat ini.
Salah satu aktor
non-negara lain yang juga mendapatkan perhatian dunia adalah Abu Sayyaf Group
(ASG). Kelompok teroris ini disinyalir muncul sejak awal 1990-an. Mereka
terlibat dalam konflik Moro dengan Pemerintah Filipina.
Bagi Indonesia, nama
ASG cukup menyita perhatian, khususnya dalam beberapa bulan terakhir.
Beberapa kali mereka menyandera anak buah kapal (ABK) yang merupakan warga
negara Indonesia (WNI), meskipun pada akhirnya mereka membebaskannya setelah
diadakan sejumlah proses diplomasi dan negosiasi. Namun, dalam aksi
terakhirnya di Laut Sulu, mereka kembali menyandera 7 WNI ABK tug boat
Charles 001 dan tongkang Robby 152 yang merupakan kapal-kapal milik PT PP
Rusianto Bersaudara. Tidak tanggung-tanggung, ASG meminta tebusan hingga 20
juta ringgit.
Aksi ASG yang berulang
kali menyandera kapal beserta awaknya di perairan Filipina ini cukup
meresahkan. Bukan hanya Indonesia, tetapi juga negara-negara lain yang
warganya menjadi korban. WN Kanada, John Ridsdel, dieksekusi pada April lalu.
Potongan kepalanya ditinggalkan di pusat kota Jolo. Ia tidak seberuntung WN
Italia, Rolando del Torchio, yang dibebaskan setelah pemerintahnya membayar
tebusan sejumlah 130 juta peso. Saat ini pun masih terdapat beberapa warga
negara asing lain yang masih disandera ASG, termasuk ketujuh WNI.
Berbagai skenario
Memaknai penyanderaan
tersebut, ada beberapa skenario yang dapat diidentifikasi. Pertama, skenario
berlatar belakang problem domestik Filipina. Inkapabilitas unsur-unsur
pemerintah dalam menghadapi ASG menjadi salah satu faktornya.
Pertempuran melawan
ASG di Basilan telah menewaskan 18 prajurit Filipina dan melukai 56 lainnya.
Ini menjadi salah satu contoh nyata. Belum lagi proses mediasi dan resolusi
konflik yang masih berjalan. Meskipun pernah mendapatkan dukungan dari AS
dalam menghadapi Abu Sayyaf, upayanya menyelesaikan permasalahan belum tuntas
sepenuhnya. Wajar jika kemudian ASG masih terus melakukan penyanderaan
kapal-kapal beserta ABK-nya di wilayah perairan yang dekat dengan Filipina.
Skenario yang kedua,
adanya kemungkinan keterlibatan pihak luar dalam mengendalikan ASG. Di
beberapa wilayah konflik, sering kali kelompok-kelompok seperti ASG didanai
pihak atau negara tertentu untuk mewadahi kepentingannya. Pola-pola seperti
ini dikenal dalam proxy war. Campur
tangan asing melalui invisible hands sangat dimungkinkan. Banyak motif yang
bisa melatarbelakanginya. Salah satunya adalah untuk menciptakan citra bahwa
Pemerintah Filipina tidak mampu menangani ASG.
Di samping
skenario-skenario tersebut, sangat memungkinkan skenario ketiga yang
melibatkan pihak swasta. Dalam konteks ini, bisnis yang terkait dengan
asuransi keamanan dan properti kapal bukan tidak mungkin bekerja sama dengan
Abu Sayyaf. Serupa dengan sejumlah pembajakan ataupun perompakan yang terjadi
di Somalia.
Untuk pembayaran
tebusan ditunjuk melalui pihak-pihak tertentu yang dipilih langsung oleh
penyandera, termasuk lokasi untuk mengirimkan tebusannya. Sangat memungkinkan
hal ini terjadi, apalagi jika melihat jaringan luas yang dimiliki serta rekam
jejak pegawainya yang berlatar belakang pasukan khusus militer. Yang jelas,
keduanya saling menguntungkan.
Skenario terakhir yang
mungkin terjadi adalah rekayasa dari pemerintah setempat sebagai salah satu
strategi untuk menjaga kedaulatan wilayah. Konflik Laut Tiongkok Selatan, di
mana Pemerintah Filipina berseteru dengan Tiongkok yang ditandai dengan
sejumlah insiden, cukup menyita perhatian di wilayah utara. Dengan adanya
aksi penyanderaan yang marak dilakukan ASG di perairan Filipina selatan, yang
terjadi adalah inisiatif kerja sama untuk memberantasnya.
Namun, dalam
pemberantasannya Filipina tetap tidak mengizinkan kekuatan militer asing
masuk ke dalam wilayah kedaulatannya sehingga operasi militer gabungan yang
dilaksanakan bersama negara tetangga, seperti Indonesia dan Malaysia,
hanyalah pada wilayah-wilayah yang disepakati.
Mencermati sejumlah
kemungkinan skenario yang mungkin terjadi dalam penyanderaan kapal dan ABK
dari Indonesia, perlu adanya strategi dan antisipasi. Harapannya, apa pun
bentuk skenarionya, Indonesia bisa menyelamatkan warga negaranya sesuai
dengan amanah konstitusi. Peran diplomasi pertahanan dan diplomasi militer
menjadi penting, termasuk dalam merencanakan operasi gabungan guna meyakinkan
keamanan di wilayah perairan yang selama ini sering menjadi sasaran ASG.
Tentunya kedua bentuk
diplomasi ini merupakan bagian dari diplomasi total yang menjadi kebijakan
negara. Meskipun mengedepankan diplomasi, militer Indonesia yang memang salah
satu tugas pokoknya mengatasi aksi terorisme tetap harus menyiapkan diri
secara optimal. Apalagi ancaman terorisme ini secara fisik berasal dari luar
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga upaya pemerintah dalam
menyelamatkan tujuh WNI yang masih disandera oleh ASG dapat berjalan lancar.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar