Jangan Latih Anak-anak Dijemput KBRI...!
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KOMPAS.COM, 30 Juni
2016
Mungkin kita semua sepakat,
anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar dalam kehidupan. Sayangnya
banyak orang tua yang masih berpikir, kalau anaknya juara kelas, pintar di
sekolah, pasti akan pintar menjalani hidup.
Untuk itulah sering kita lihat
orang tua yang amat protektif, membuat anak merasa sudah belajar walau itu
hanya di sekolah. Sedangkan perjalanannya menuju sekolah, pergaulannnya,
kebiasaannya mengambil keputusan dalam keadaan sulit, selalu disterilisasi
orangtua.
Apalagi bila orang tua punya
kuasa, banyak koneksi, punya uang, maka semua itu akan distrerilisasi lebih
luas lagi. Padahal yang membentuk orang tuanya hari ini sukses sudah jelas:
orangtua mereka tak seprotektif mereka.
Kalau sudah begitu, apa
hasilnya?
Anda lihat sendiri, banyak
anak-anak pandai di sekolah tak berdaya saat di-bully kawan-kawannya,
kurang bergaul, dan bila dikejar anjing di kampung, ia tidak bisa melompat,
larinya tercekat.
Dan di usia dewasa, ia bisa
menjadi sosok yang sulit bagi teman-teman, pasangan dan kolega-koleganya. Ia
akan merasa terus pandai, seakan-akan kecerdasaannya tetap, tak berubah.
Ke Luar Negeri, Bagus
Pepatah mengatakan, dunia ini
ibarat sebuah buku. Mereka yang tak melakukan perjalanan (hanya kuliah saja),
hanya membaca satu halaman.
Terilhami oleh Susi
Pudjiastuti, saya pun menugaskan mahasiswa ke mancanegara. Tidak main-main.
Satu orang satu negara.
Menteri Kelautan dan Perikanan
ini, sejak remaja sudah menyewa truk dari kampungnya di Pangandaran, hanya
bersama seorang sopir, ia pergi membeli ikan ke Cirebon atau Indramayu, lalu
berjualan ke Pasar Ikan di Jakarta.
Bila dulu saya menugaskan tiga
orang satu negara, sejak kehadiran Ibu Susi di kelas itu, saya mengubahnya
menjadi satu negara-satu orang.
Syaratnya, tidak boleh di
antar, dan tak boleh ada yang menjemput. Itupun harus pergi ke negara yang
tak berbahasa Melayu.
Anda tahu siapa musuh program
ini?
Para mahasiswa melaporkan, ada
dua pihak. Pertama adalah orang tua yang selalu beranggapan anaknya bak princess.
Orangtua bahkan merespon dengan negatif, takut anaknya kesasar. Padahal
doktrin kelas itu sejak awal sangat jelas, “Berpikir karena kesasar.”
Setiap kali orangtua protes,
saya selalu bilang, “Memang kalau tersasar, mengapa?”
Dari situ, sebagian tiba-tiba
tersentak dan tertegun sendiri karena hampir semua orangtua pasti pernah
kesasar, dan toh akhirnya pulang juga dengan selamat. Malah menjadi semakin
pandai, lebih percaya diri.
Sebagian lagi, responsnya
begitulah, memindahkan anaknya ke kelas lain.
Mereka mengambil keputusan
untuk anaknya yang sudah dewasa dengan menghentikan sebuah proses belajar
yang penting untuk membangun hidup mereka.
Orangtua juga mengatur banyak
hal. Tiket pesawat, rute tujuan, menginap di mana, siapa yang jemput, makan
apa, pakaian dan perlengkapan, sampai SIM Card dan obat-obatan.
Padahal anaknya gaul, sehat,
senang berpetualang. Dan kalau diatur, ia
malah menjadi merasa tak dipecaya,
bahkan malu dengan kawan-kawannya.
Bagi saya, ini semua bisa
membuat anak kurang terlatih menghadapi kesulitan. Sebab setiap kali
menghadapi persoalan kecil saja, mereka bisa menghindar dan cepat-cepat minta
bantuan.
Dan musuh kedua adalah, para
dosen sendiri. Ya, para akademisi percaya anak pintar itu tak boleh banyak
bermain. Baca, baca, baca, buat tugas. Padahal anak-anak pintar itu terlalu
serius, terlalu steril dan kurang bermain.
Anda tahu apa yang dilakukan
orangtua agar anak-anaknya diterima di perguruan tinggi yang bagus?
Mungkin Anda bisa lihat
bagaimana treatment orangtua sejak anaknya masih kecil.
Jangankan untuk menuju perguruan tinggi, untuk diterima di SMP yang bagus
saja, sejak kelas 5 SD anak-anak itu sudah dilatih pulang sore/malam hari,
ikut les ini dan itu. Katanya untuk diterima di SMP A harus ikut bimbel di B.
Kalau sudah begitu, anak-anak
yang pandai ini menjadi kurang bergaul dan menjadi kurang asyik di mata
teman-temannya. Mereka dicetak dalam alam berpikir bahwa pandai dalam
kehidupan itu ada di ruang kelas, melalui program tertulis. Padahal pandai
itu adalah mampu mengambil keputusan yang tepat.
Bayangkan, bila sejak kecil
sampai dewasa anak-anak itu tak pernah berlatih mengambil keputusan dalam
keadaan sulit. Bahkan untuk naik taksi saja ia tak berani.
Pergi ke luar negeri seorang
diri, bagi seorang anak ia akan belajar banyak hal. Bagaimana kalau
ketinggalan pesawat, kehilangan bagasi, kesasar, diganggu orang, mengunjungi
situs-situs penting, mengatur waktu, makan, dan seterusnya.
Mengapa harus dijemput?
Kisah anak-anak pejabat yang
orang tuanya begitu bernafsu mengatur dan mengawal anak-anaknya agar tak
kesasar di luar negeri, saat ini sudah amat keterlaluan. Orang tua telah
mengambil hak-hak penting si anak untuk menjadi rajawali.
Anak diasumsikan sebagai sosok
yang tak mampu bergerak sendiri, dan seakan-akan alam tak memberi ruang bagi
anak untuk belajar. Padahal, anak SLB sekalipun punya kemampuan belajar yang
luar biasa kalau diberi kesempatan, dan sebaliknya kalau dianggap bodoh.
Mungkin anda sudah menerima
catatan seorang dosen di Surabaya yang viral dua hari ini. Sayang, saya tak
menemukan sumbernya setelah beredar dari satu WA ke WA lainnya. Tapi saya
kira apa yang dilakukan untuk merekam momen yang ia lihat dan catat harus kita
hargai. Ini sebuah catatan yang istimewa bagi para orangtua dan pendidik.
Ia mencatat kejadian saat
menemukan seorang siswa SLB penderita tunagrahita yang begitu bahagia saat
menemukan alamat yang dicari. Siswa itu kabarnya diberangkatkan dari Jogja untuk
mencari alamat di Surabaya.
"Syaratnya boleh bertanya,
namun tidak boleh diantar, tidak boleh naik kendaraan yang bersifat mengantar
seperti taxi dan becak. Tidak boleh meminta-minta. Dan masih banyak aturan
lain. Bahkan dia mencari tempat sampah untuk membuang sampahnya." Catat
orang berjasa ini.
Tapi yang membuat saya
tercengang adalah catatannya yang ini: "Dia berkata bahwa dia dilarang
bersedih. "Kata pak Guru aku ngga boleh sedih, kalau sedih nanti bodoh
lagi", ucapnya polos."
Sekarang tinggallah kita
memeriksa apa yang telah kita lakukan pada anak-anak kita. Apakah benar kita
telah melatih anak-anak kita untuk menjadi pemimpin yang hebat, rajawali yang
matanya tajam dan mampu terbang tinggi, atau menjadikan mereka burung dara
yang indah, yang sayap-sayapnya terjahit.
Anak-anak yang dijemput dengan
fasilitas yang dimiliki orangtua akan kehilangan banyak momen yang bisa
membuat ia kelak lebih pandai dalam hidup.
Kisah anak-anak saya di
Fakultas Ekonomi yang pergi ke luar negeri sudah dibukukan oleh mereka
sendiri dalam buku 30 Paspor di Kelas
Sang Profesor. Edisi terbaru juga telah disiapkan anak-anak itu dalam
episode Duta Perdamaian.
Ketika mendengarkan presentasi
mereka, saya selalu belajar bahwa anak-anak hebat ini kelak akan menjadi
lebih hebat lagi. Dengan metode sharing economy, mereka
kini bisa menyebar ke mancanegara dengan biaya minimal.
Tak terbayangkan bagaimana
mahasiswi saya yang dompetnya hilang di London bisa tetap menyelesaikan
misinya hingga ke Scotlandia, menembus dua negara selama 10 hari dengan
sehat.
Tak terbayangkan bagaimana
mereka mengajarkan dua perempuan Jepang memakai hijab. Tak terpikirkan pula
bagaimana mereka berkenalan dengan anak-anak konglomerat dan dijadikan
narasumber di berbagai kampus yang mereka kunjungi.
Anak-anak yang steril tak punya
cerita menurut versi mereka sendiri. Dan anak-anak itu bisa jadi pembual yang
hebat. Tetapi anak-anak yang tak dijemput KBRI kalau ke luar negri, yang
berani menghadapi hidup ini dalam perhitungan yang dilatih sendiri, kelak
akan mempunyai story versi mereka sendiri.
Personal story adalah modal dasar seorang pemimpin. Ia akan merasa hidupnya
berarti, dan sadar bahwa di luar sekolah ada banyak pelajaran yang bisa
melatih kepemimpian, empati sosial dan pemgambilan keputusan.
Jadi, sudahlah. Hentikan
dagelan ini, orangtua! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar