Lagi, Penyanderaan di Filipina
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 29 Juni
2016
Sebulan berlalu sejak
10 awak kapal Indonesia yang disandera di perairan Filipina Selatan
dilepaskan, kemudian 4 orang lagi yang akhirnya dibebaskan dan kali ini ada 7
orang lagi disandera di wilayah itu. Semua kapal-kapal itu dalam tugas
berlayar mengantar batu bara dari Kalimantan ke Filipina. Dalam semua
kejadian disinyalir keterlibatan grup Abu Sayyaf, di mana mereka meminta uang
tebusan dalam jumlah yang signifikan dan selalu mengancam untuk membunuh
tawanan dengan keji.
Kejadian-kejadian
penyanderaan ini lumayan membuat geram Pemerintah Indonesia. Beragam upaya
sudah dilakukan, baik yang bisa diungkap ke publik maupun yangtidak. Tetapi intinya
Indonesia juga memilih menuntut haknya untuk mendapatkan jaminan keamanan
atas warga negaranya yang masuk ke wilayah otoritas Filipina. Menyusul
penyanderaan 14 orang pertama, pimpinan militer, intelijen, dan sipil Indonesia
berjumpa dengan otoritas Filipina.
Di situ dieksplorasi
opsiopsi penanganannya. Terkait keamanan jalur laut, Indonesia sepakat untuk
bersama-sama Malaysia dan Filipina melakukan patroli bersama di jalur yang
biasa dilalui kapal-kapal Indonesia dan Malaysia. Level menteri pertahanan
sudah berupaya membuka dan mengikat kerja sama di situ, tetapi karena terjadi
perubahan kepemimpinan dan konstelasi politik di Filipina, sejumlah hal
terhenti.
Walhasil, upaya
pemerintah Indonesia perlu kita cermati dalam konteks situasi lokal di
Filipina. Besok, 30 Juni 2016 pukul 12.00 waktu setempat, presiden terpilih
Rodrigo Duterte akan dilantik di Istana Malacanang Filipina. Beliau sudah
berpesan agar pelantikannya sederhana karena demikianlah yang diharapkannya
diingat warga negara Filipina. Sebagai individu, gaya kepemimpinan Duterte
memang lain dari biasanya di Filipina.
Dia tidak datang dari
wilayah utara Filipina, tetapi dari wilayah selatan, dari kawasan Mindanao.
Duterte adalah mantan wali kota Davao, kota di Filipina Selatan yang terkenal
sebagai pusat perdagangan dan penghubung ke pulau-pulau lain di kawasan itu,
termasuk ke bagian tengah dan timur Indonesia. Meskipun wewenang Duterte
lebih di perkotaan, daerah kekuasaannya masuk dalam Provinsi Davao.
Davao termasuk bagian
dari kawasan selatan Mindanao dan sejak 2001 kawasan Mindanao Selatan ini
disebut Davao Region. Davao adalah kota terbesar nomor 3 di Filipina setelah
Cebu dan Manila dengan penduduk sekitar 1,6 juta jiwa. Davao dikenal sebagai
pusat durian di Filipina. Sebagai provinsi, Davao dikenal relatif aman,
kecuali jika pergi sekitar 700 km ke arah pulau-pulau yang mendekati
Kalimantan dan Malaysia.
Karena di kawasan itu
dikenal ada jaringan kelompok bersenjata yang tidak segan merompak dan
membunuh. Masalah perompakan ini menjadi tantangan bagi Presiden Duterte.
Selain karena ia berasal dari kawasan itu, dan sudah rahasia umum bahwa ia
juga mengenal para pelaku politik dari kawasan Mindanao, dampak dari masalah
ini tidak lagi sebatas problem Davao atau Filipina Selatan, tetapi juga
kepada Filipina secara keseluruhan dan negara-negara tetangga khususnya
ASEAN.
Yang paling meresahkan
adalah karena kegiatan penyanderaan seperti kejadian rutin, yang kabarnya
meningkat saat Ramadan. Dan hampir dipastikan para penculik meminta tebusan
uang dan permintaan jumlah tebusannya makin hari semakin besar. Dalam
beberapa kasus penculikan yang lalu, khususnya terhadap warga negara
Indonesia dalam satu tahun terakhir ini, sudah ada pembicaraan antarpihak
berwenang di Indonesia dan Filipina baik yang terbuka untuk umum maupun yang
sifatnya rahasia.
Bagaimanapun
bentuknya, dari tiga negara yang wilayahnya berdampingan dengan lokasi
penculikan, Malaysia, Indonesia, dan Filipina, sudah memiliki kesepakatan.
Mereka sepakat menjaga agar laut yang menjadi jalur transportasi batu bara
dan pencarian ikan dari Indonesia dan Malaysia ke Filipina bisa senantiasa dijaga
dan dijamin keselamatannya.
Per 20 Juni 2016 sudah
ada kesepakatan di tingkat menteri pertahanan ketiga negara untuk mencari
jalur aman, termasuk antara lain menjaga koridor transit di wilayah yang
rawan. Tetapi implementasinya terbukti tidak sederhana. Di sisi Filipina,
para pelaku penculikan memiliki keterkaitan dengan problem sosial di dalam
negeri, khususnya dengan kelompok militan Abu Sayyaf.
Kelompok Abu Sayyaf
ini punya sejarah panjang dengan gerakan yang menginginkan kemerdekaan di Filipina
Selatan, tetapi kemudian terpecah-pecah dan berkembang makin radikal.
Radikalisasi ini subur karena bebasnya peredaran senjata di kawasan itu. Juga
karena dari tahun ke tahun daerah tempat orang-orang ini tinggal memang
sangat terisolasi dari pembangunan.
Secara sosial,
kelompok militan ini tidaklah satu kelompok. Mereka terpecah-pecah menjadi
faksi-faksi kecil yang saling berkompetisi dan mencari penghidupan dengan
cara apa pun, termasuk dengan cara merompak dan membunuh. Artinya tidak semua
faksi mengandalkan keinginan untuk membentuk negara Islam merdeka lagi
seperti dulu ketika pecah dari kelompok revolusioner Moro.
Melihat pola tersebut,
Indonesia memang perlu lebih cerdik mengatasi masalah keamanan wilayah.
Pertama , kelompok bisnis Indonesia yang biasa mengantar barang dari
Indonesia ke Filipina perlu memahami juga batasan dan keterbatasan hal yang
bisa dinegosiasikan dengan otoritas Filipina.
Menengok tingkat
kemiskinan dan kompleksitas penanganan kekerasan dari grup-grup radikal yang
saling berkompetisi tentu tidak mudah. Artinya perlu ada alternative solusi
juga jika ditataran politik ada yang terhenti atau tidak berjalan secepat
yang diharapkan oleh para pengusaha. Kedua, masalah ini perlu diangkat juga
ke level kerja sama ASEAN khususnya di bagian penanganan kejahatan
transnasional dan kontraterorisme.
Di ASEAN sudah ada
mekanisme pertemuan tingkat tinggi untuk masalah-masalah kejahatan
transnasional (disebut sebagai SOMTC) dan juga Kerja Sama Kontraterorisme
(melalui ACCT). SOMTC di Indonesia dikoordinasi oleh Polri dan ACCT
dikoordinasi oleh Kementerian Luar Negeri. Dalam tataran praktis, kedua model
kerja sama ini membutuhkan dukungan dari kelembagaan yang teknis dan juga kalangan
bisnis serta masyarakat sipil.
Sayangnya, mekanisme
melalui ASEAN hampir bisa dipastikan berjalan perlahan karena negara yang
dilibatkan ada 10 dan dibutuhkan konsensus. Namun mengingat bahwa kerja sama
trilateral Indonesia-Malaysia-Filipina pun berjalan lambat, maka artinya
memang dibutuhkan ”pendorong” ekstra untuk menciptakan solusi permanen.
Permintaan moratorium
pengiriman batu bara dari Indonesia ke Filipina seperti disampaikan Menteri
Luar Negeri Retno Marsudi adalah contoh bahwa opsi solusi tidaklah semudah
membalikkan tangan. Filipina bahkan belum menjawab permintaan Indonesia
tersebut karena ada pergantian presiden.
Solusi sosial juga
dibutuhkan, mengingat bahwa Indonesia pun memiliki pengalaman yang mirip
tentang betapa sulitnya merengkuh kelompok masyarakat di perbatasan yang
terlibat aksi kejahatan transnasional karena kurangnya opsi mencari nafkah di
wilayah tempatnya tinggal. Pengalaman dari masyarakat sipil patut didengar.
Di tingkat politik
dalam negeri, kita masih harus menunggu aksi dari Presiden Duterte untuk
Filipina Selatan. Presiden Duterte juga tengah memikirkan untuk melakukan
dialog dengan para pemberontak yang sampai saat ini masih terus
mengonsolidasikan kekuatannya di hutan.
Namun menjadi
kesulitan tersendiri untuk Presiden Duterte, karena kebanyakan para milisi
bersenjata yang berlandaskan keagamaan ataupun politik lokal memiliki
motivasi yang lebih terkait dengan aksi kriminalitas ketimbang ideologis. Hal
ini yang bisa menjelaskan mengapa pemberontakan Moro bisa diselesaikan dengan
cara-cara damai karena gerakan Moro berlandaskan ideologis tertentu yang
masih dapat diajak dialog dan dicari titik tengahnya untuk bisa dilanjutkan
dengan kompromi atau konsensi tertentu. Kesabaran dan kegigihan kita dalam
mencari solusi tengah diuji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar