Benalu Bangsa
M Subhan SD ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 02 Juli 2016
Rodiaman (38) tergolek
lemas di Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung. Tubuhnya digerogoti penyakit yang
diduga tumor usus. Sebuah pemandangan yang sangat mengenaskan hati. ”Ironi
Pahlawan Dayung,” begitu judul Kompas (1/7) di halaman olahraga. Rodiaman
adalah pahlawan olahraga. Mengharumkan nama bangsa di panggung internasional.
Lewat olahraga dayung, ia lima kali mengibarkan bendera Merah Putih dan
mengumandangkan lagu Indonesia Raya ketika menyabet medali emas SEA Games
pada 2001, 2003, 2005, 2007, dan perunggu pada 2002.
Beruntung karena
banyak koleganya memberikan perhatian dan dukungan moril. Biaya perawatan pun
ditanggung BPJS Kesehatan. Jika melihat kondisinya, Rodiaman perlu mendapat
perhatian lebih baik. Setidaknya sebagai bentuk perhatian terhadap
putra-putra bangsa yang telah memberikan bakti kepada bangsa dan negara.
Namun, apakah penyelenggara negara, terkhusus elite-elite, memberi perhatian
yang cukup untuk pahlawan olahraga itu?
Bagaimana elite-elite
sempat memperhatikan apabila mereka sibuk dengan diri sendiri. Sebaliknya,
elite-elite malah menjadi benang kusut yang melilit bangsa ini. Orang-orang
seperti Rodiaman yang mengangkat harkat, martabat, dan kebanggaan bangsa;
barangkali mudah saja terlupakan. Karena, para elite terlalu sibuk mengeruk
uang rakyat. Padahal, apa yang mereka lakukan untuk benar-benar mengharumkan
bangsa dan negara? Sudah mendapat gaji besar, tunjangan besar, fasilitas
berlimpah, dan hak-hak istimewa lainnya; masih saja menggarong uang rakyat.
Di DPR, misalnya, begitu lumrah terdengar proyek-proyek yang dijadikan
bancakan. Banyak kasus, anggota DPR menjadi makelar proyek.
Kasus terhangat adalah
ditangkapnya anggota Komisi III DPR, I Putu Sudiartana, Selasa (28/6). Wakil
Bendahara Partai Demokrat itu ditangkap KPK karena ditengarai kuat menjadi
”pengatur” proyek 12 ruas jalan di Sumatera Barat. Tudingan itu menguat
mengingat ia adalah anggota Komisi III yang ruang lingkup kerjanya meliputi bidang
hukum, HAM, dan keamanan. Jadi, tidak ada hubungannya dengan proyek-proyek
infrastruktur, yang di DPR menjadi lingkup kerja Komisi V. Ah, rupanya nyalo
proyek.
Logika sehat rasanya
tak bisa menerima kenyataan bahwa politisi di DPR tidak kapok-kapok atau
sadar-sadar juga. Saat ada seorang politisi ditangkap, politisi lainnya tidak
menjadikan momentum untuk menghentikan cara-cara curang mencuri uang rakyat.
Pada 20 Oktober 2015, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Hanura, Dewie Yasin
Limpo, ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT). Dewie terkait kasus
suap perencanaan anggaran proyek pembangkit listrik mikrohidro di Kabupaten
Deiyai, Papua. Modusnya memasukkan proyek itu ke dalam pembahasan APBN 2016.
Penangkapan politisi
DPR yang membuat geger adalah penangkapan anggota DPR dari Fraksi PDI-P,
Andriansyah, dalam OTT KPK di Sanur, Bali, 9 April lalu, sebab ia ditangkap
saat PDI-P menggelar kongres di Sanur. Artinya, Adriansyah secara langsung
mempermalukan dan mencoreng wajah PDI-P. Adriansyah ditangkap terkait proses
pemberian izin usaha tambang batubara di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan
Selatan.
Lagi-lagi, rentetan
penangkapan itu tidak ada efeknya sama sekali. Praktik suap dan makelar
proyek tetap saja berlangsung. Keberadaan KPK pun tidak ditakuti. Bahkan,
agenda reformasi yang khusus memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
sepertinya sudah dilupakan. Buktinya, lagi-lagi politisi PDI-P, Damayanti
Wisnu Putranti, ditangkap dalam OTT KPK pada 13 Januari 2016. Anggota Komisi
V ini dicokok terima suap sebagai perantara yang melicinkan proyek di wilayah
Indonesia timur. Maka, ketika I Putu Sudiartana diciduk KPK lagi, rasanya
sudah sangat keterlaluan.
Seakan berlomba dengan
eksekutif, di institusi yudikatif pun praktik korup tidak hilang-hilang.
Berulang kali panitera, hakim, dan anggota staf MA ditangkap karena sogokan.
Kamis (30/6), KPK menangkap panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat karena diduga menerima suap untuk mengurus perkara perdata. Sebelumnya,
panitera PN Jakpus, Edy Nasution, juga ditangkap KPK. Bahkan, mengarah ke
Sekretaris MA Nurhadi. Nurhadi pun bolak-balik diperiksa KPK. Rumah dan
kantornya juga digeledah.
Sayang, agenda
pemberantasan korupsi di negeri ini tak mulus. Tampaknya ada invisible hand
yang tak mau kasus-kasus seperti itu terbongkar. Buktinya orang yang diduga
mengetahui kasus itu, yakni Royani, sopir Nurhadi, sampai hari ini tak tentu
rimbanya. Aneh juga jejak Royani tidak ditemukan pada era terbuka dan sudah
sedemikian transparan ini. Bisa jadi ada orang yang begitu powerful yang
menyembunyikan Royani.
Banyaknya pihak yang
tetap bermain kotor tidak hanya mengganggu proses reformasi, tetapi juga
terus-menerus mengkhianati rakyat. Begitu banyak orang yang berkorban dan
mengharumkan nama bangsa, seperti Rodiaman, belum tentu menikmati hasil
kemajuan negeri ini. Justru orang-orang yang hidupnya bergantung kepada
negara ini (pemerintah) yang tidak henti mengeruk kekayaan negeri. Mereka
terlihat sebagai operator negeri ini, tetapi sesungguhnya seperti benalu
pengisap bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar