Mudik dan Menggeliatkan Ekonomi Daerah
Enny Sri Hartati ;
Direktur Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Juli 2016
MUDIK Lebaran sering kali hanya dianggap
sebagai ritual tahunan yang menyertai setiap perayaan hari raya Idul Fitri.
Padahal jika dicermati peristiwa mudik Lebaran di Indonesia bisa dibilang
cukup fenomenal. Bagaimana tidak?
Pertama, mudik Lebaran melibatkan
pergerakan jutaan penduduk di seluruh wilayah Indonesia, yang terjadi hampir
serentak dengan pola yang searah. Utamanya pergerakan dari kota-kota besar
menuju daerah-daerah perdesaan dan kota-kota kecil. Data Kementerian
Perhubungan memperkirakan arus mudik tahun 2016 mencapai sekitar 30 juta
orang.
Kedua, animo masyarakat yang melakukan mudik
tidak terpengaruh kondisi apa pun, termasuk adanya perlambatan ekonomi.
Bahkan mengabaikan tingginya biaya tiket perjalanan dan rela terjebak
kemacetan panjang hanya untuk dapat mudik. Ketiga, sekalipun terjadi
perkembangan era teknologi komunikasi, hasrat untuk bersilaturahim secara
langsung melalui mudik tetap tinggi. Padahal, silaturahim tidak lagi hanya
dapat dilakukan melalui telepon, e-mail bahkan dapat bertatap muka langsung
melalui video call.
Keempat, kegiatan mudik juga disertai
pergerakan ekonomi yang cukup besar. Pemerintah mewajibkan para pelaku usaha
memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada karyawannya minimal sebesar satu
kali gaji. Jumlah pekerja sektor formal diperkirakan sekitar 47,5 juta orang.
Jika diasumsikan rata-rata upah minimum sekitar Rp2 juta per bulan,
setidaknya terdapat lebih dari Rp90 triliun yang juga terbawa oleh pergerakan
para pemudik. Apalagi jika pemerintah tidak hanya mengeluarkan gaji ke13
(THR) namun juga mencairkan gaji ke-14. Melalui efek perputaran uang (velocity of money), tentu nilai riil
perputaran uang dapat mencapai dua kali lipat dari nilai tersebut.
Artinya selama Idul Fitri terdapat perputaran
uang tunai dan potensi transfer dana dari kota ke desa yang hampir mencapai
Rp200 triliun.
Keempat, hal tersebut minimal cukup untuk
merefleksikan bahwa tradisi mudik Lebaran tidak hanya berdimensi religius,
juga sangat kental dengan dimensi sosial, budaya, juga pergerakan ekonomi
masyarakat. Jika mampu dikapitalisasi dan dioptimalkan, tradisi mudik ini
dapat menjadi momentum untuk menggerakkan ekonomi yang sangat besar. Adanya
potensi peningkatan kemampuan belanja masyarakat ini mestinya mampu
mendongkrak permintaan dan memacu produksi.
Sayangnya, tambahan amunisi belanja masyarakat
dengan adanya THR selalu dihadang melambungnya harga kebutuhan pokok dan kenaikan
tarif transportasi untuk pemenuhan kebutuhan mudik Lebaran. Akibatnya,
momentum peningkatan permintaan yang sedianya memacu produksi tertiadakan
oleh tingginya inflasi. Padahal, jika pemerintah mampu menstabilkan harga
kebutuhan pokok, peningkatan daya beli masyarakat tentu akan menjadi daya
dorong dalam memacu produksi secara nasional.
Artinya, kapasitas produksi
akan meningkat dan penciptaan lapangan kerja akan meluas sehingga dalam
jangka berikutnya akan semakin memompa daya beli masyarakat.
Di samping menjadi momentum memacu produksi,
tradisi mudik Lebaran juga dapat sebagai instrumen pemerataan kue
pembangunan, perbaikan infrastruktur dan menggerus kesenjangan ekonomi antara
kota dan desa. Seiring pergerakan pemudik, pendapatan masyarakat berpenghasilan
menengah ke atas yang terkonsentrasi di kota besar berpeluang tertransfer dan
diredistribusi ke berbagai pelosok daerah.
Setidaknya terdapat empat ke giatan pemudik
yang efektif menggerakkan potensi ekonomi daerah, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pertama, melalui kegiatan konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan
selama pemudik berada di daerah. Mulai dari pemenuhan kebutuhan makanan dan
minuman dan kebutuhan jasa transportasi. Wisata kuliner merupakan pengeluaran
pemudik yang langsung tertransfer pada kegiatan ekonomi yang ada di daerah.
Apalagi jika pelaku ekonomi daerah mempunyai berbagai kreativitas seperti
industri makanan dan kerajinan yang dapat menjadi suvenir untuk dapat dibawa
pulang pemudik ke kota. Kegiatan ini berpotensi menggerakkan potensi ekonomi
daerah. Apalagi jika para pemudik juga dapat berperan sebagai agen promosi
produk lokal. Tentu akan semakin mengembangkan area pemasaran produk daerah
ke skala yang lebih luas.
Kedua, kegiatan penyaluran zakat, infak dan
sedekah pemudik. Kegiatan ini tidak hanya sebatas menyalurkan zakat yang
bersifat santunan kepada fakir miskin, tetapi juga dapat diperluas dengan
penggalangan dana dari para pemudik yang telah sukses untuk memperbaiki
berbagai infrastruktur ekonomi yang dibutuhkan di desa.
Banyak daerah yang sukses mengembangkan
potensi desa atas bantuan dan kreativitas penduduk yang sukses di kota.
Ketersediaan infrastruktur dasar akan efektif mengembangkan nilai tambah
berbagai potensi desa.
Ketiga, mengoptimalkan kegiatan wisata. Banyak
daerah yang memiliki objek destinasi wisata yang menawan. Sayangnya, banyak
pemerintah daerah yang kurang peduli dan kreatif untuk memberdayakan potensi
wisata tersebut. Jika pemerintah daerah mampu mempersolek berbagai objek
wisata daerah, itu dapat menyedot kunjungan para pemudik.
Tentu tidak hanya berdampak pada peningkatan
restribusi dan pendapatan asli daerah (PAD). Namun, keberadaan objek wisata
juga menggerakkan berbagai macam kegiatan ekonomi berbasis pariwisata yang
memiliki memiliki multiplier effect bagi kegiatan ekonomi daerah.
Keempat kegiatan investasi di daerah, terutama
mengembangkan industri perdesaan. Tujuannya agar perputaran uang di daerah
tidak hanya berlangsung temporer dan menciptakan multiplier effect dalam jangka menengah panjang. Banyak potensi
dan peluang investasi yang prospektif terbuka lebar di daerah pedesaan.
Sektor pertanian salah satu sektor perdesaan yang memiliki daya tarik
investasi dengan pengembalian investasi yang cukup menggiurkan. Salah satunya
melalui peningkatan produktivitas dan nilai tambah lahan pertanian.
Lahan pertanian seharusnya tidak hanya
dikelola melalui usaha tani secara tradisonal, tetapi juga ke pertanian
modern. Misalnya dengan sistem pertanian organik untuk memenuhi kebutuhan
beras untuk kalangan menengah ke atas yang tumbuh pesat. Begitu juga
investasi untuk memperbaiki sistem logistik di sentrasentra produksi bahan
pangan yang mudah rusak seperti sayur mayur dan buah-buahan. Tentu berita
kelangkaan dan fluktuasi harga cabai tidak perlu lagi terjadi. Apalagi jika
dapat dikembangkan dengan investasi industri perdesaan yang mengolah berbagai
produk potensial di masing-masing desa tersebut. Maka slogan one village one product yang memiliki
daya saing dapat segera terwujud.
Pilihan investasi juga dapat dilakukan di
sektor peternakan. Jika ada investasi yang memadai untuk mengembangkan
industri peternakan modern dan dikelola secara profesional, kebutuhan daging
segar tidak perlu lagi harus tergantung impor. Jika populasi sapi dapat
ditingkatkan secara signifi kan, target swasembada daging sapi tentu baru bisa
terwujud. Di tengah harga daging sapi lokal yang jauh di atas harga daging
sapi impor semestinya menjadi insentif ekonomi bagi industri peternakan di
Indonesia. Di samping itu, tentu juga harus didorong masuknya investasi pada
industri pakan ternak agar terdapat kompetisi yang sehat. Juga menghilangkan
berbagai kemungkinan terjadinya praktik kartel.
Pada prinsipnya banyak potensi ekonomi daerah
pedesaan yang dapat dikembangkan menjadi usaha-usaha yang produktif dan
prospektif. Salah satu caranya ialah mendorong industrialisasi di perdesaan.
Kuncinya dibutuhkan masuknya investasi dan ditangani tenaga kerja profesional
dengan keahlian dan wawasan yang luas. Untuk itu perlu kolaborasi dengan
putra-putra daerah yang telah berhasil mengembangkan usaha di kota. Jika
keterbatasan sumber daya manuasi di daerah ini dibiarkan potensi besar daerah
tentu selamanya akan terus terbengkalai.
Jika industrialisasi pedesaan ini mampu terus
dikembangkan, lambat laun kesenjangan perekonomian desa dan kota segera dapat
direduksi. Pada akhirnya arus urbanisasi desa ke kota juga dapat dikurangi. Bahkan
desa akan menjadi basis pengembangan produksi untuk produk-produk dengan daya
saing yang tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar