Bripka Seladi: Potret Kemandirian Polisi
Bambang Widodo Umar ;
Guru Besar Sosiologi Hukum UI;
Pengamat Kepolisian
|
KORAN SINDO, 01 Juli
2016
Menjelang peringatan
Hari Bhayangkara Ke- 70 muncul fenomena yang menantang pikiran linear polisi.
Bripka Seladi, seorang anggota Polantas Polres Malang, melakukan pekerjaan
sampingan yang nyleneh (sangat berbeda) sebagai pemulung sampah.
Langka, seorang polisi
tidak malu melakukan pekerjaan sampingan semacam itu. Suatu pekerjaan yang
dianggap hina oleh umumnya orang, mengaisngais di tempat sampah, mencari
barang-barang bekas, botol, kardus, plastik yang masih memiliki nilai jual.
Orang yang menggeluti pekerjaan itu umumnya terpaksa karena faktor ekonomi,
sulit cari kerjaan, berasal dari keluarga tidak mampu, pendidikan rendah,
tidak punya keterampilan, juga tidak punya modal untuk membuka suatu usaha.
Sebenarnya, kalau mau,
Seladi bisa saja mendapatkan uang dengan jalan pintas seperti kebanyakan
polisi. Tapi, kata hatinya lain, dia tak ingin menodai profesinya sebagai
polisi, profesi yang luhur (officium
nobile). Tercatat dalam sejarah, sungguh mulia hati nurani Bripka Seladi.
Yang jelas Seladi tak
punya niat untuk menjadi polisi teladan, juga tidak menyadari bahwa
tindakannya merefleksikan pesan yang sangat dalam bagi polisipolisi lain.
Bekerjalah secara benar dan jujur, jangan menyalahgunakan kekuasaan, carilah
tambahan penghasilan dengan cara yang halal, jangan menipu, memeras, menerima
suap, dan korupsi.
Perbuatan itu tidak
saja mencemari lembaganya, Polri, tetapi juga menyakiti hati rakyat. Melihat
fenomena itu, beda pandangan di antara aparat kepolisian tentu terjadi. Ada
yang hormat, ada yang ragu, ada yang tidak percaya, bisa jadi ada yang marah
karena tindakan Seladi dianggap memalukan korps kepolisian.
Bahkan mungkin ada
yang mengatakan tak mungkin menjadi Polantas tidak mencari materi
lewatjabatannya, bohong, sok suci, apalagi di bagian SIM. Begitulah kira-kira
komentar polisi-polisi yang cemburu. Fenomena itu perlu direnungkan dan
dianalisis oleh petinggi polisi, juga bangsa ini, bangsa Indonesia.
Bagaimana sesungguhnya
eksistensi polisi? Jangan hanya orang-orang DPR yang sering diolok-olok,
justru mereka yang mengundang dan menghargai Seladi. Kita semua diingatkan,
bisa jadi diledek oleh fenomena Bripka Seladi, pemulung sampah.
Ia tidak menggunakan
aji mumpung, pada jamane jaman edan yen
ora ngedan ora keduman, ning sak bejo-bejane sing ngedan isih bejo sing eling
lan waspodo (zamannya zaman gila,
kalau tidak ikut berbuat seperti orang gila, tidak kebagian, tapi
seuntung-untungnya yang berbuat seperti orang gila masih untung orang yang
ingat dan waspada).
Refleksi Polisi Tri Brata
Fenomena Bripka Seladi
merupakan refleksi dari substansi profesi polisi, bukan fatalisme.
Tindakannya membuka jendela- jendela yang berkiblat ke alam transendental.
Substansi itu merupakan inti di dalam dirinya, polisi. Substansi akan
menampakkan diri sejauh ia dikenali dan dihayati lebih dulu sifat-sifatnya.
Jika Tri Brata diakui
sebagai pedoman hidup polisi, keutamaan sifat-sifat itu harus menampakk a n
diri. Sebagai landasan moral kolektif, Tri Brata merupakan daya ikat perilaku
polisi untuk mencegah tindakan yang bertentangan dengan sifat-sifatnya. Kini
simbol Tri Brata tampak mulai kumuh.
Ia menjadi kumuh
karena selama ini lebih sering diikrarkan daripada dilaksanakan dalam
menjalankan tugas sebagai insan polisi. Kehidupan polisi pun semakin hari semakin
tercemar oleh budaya “materi”, mengejar duniawi dengan rasionalitas pragmatis
yang lepas dari pertimbangan dan kendali “etis”.
Sebaliknya, dunia
nilai termasuk yang di dalamnya nilai-nilai Tri Brata hanya dijadikan urusan
privat. Menjadi polisi tidaklah kemudian mengesampingkan pertimbangan
prarasional. Selama ini pendidikan yang diselenggarakan untuk mengembangkan
kemampuan polisi lemah dalam menempatkan minat pada tema “etika”. Seolah-olah
tema itu luput dari kepentingan dalam pendidikan Polri.
Jika dinyatakan Tri
Brata sebagai pedoman hidup polisi, yang isinya polisi sebagai : (1) abdi
utama daripada nusa dan bangsa; (2) warga negara teladan daripada negara; dan
(3) wajib menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat, maka untuk
menginternalisasikannya tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan
kepolisian.
Perlu ada latihan
untuk mengasah “nurani polisi” secara langsung di lapangan agar Tri Brata
meresap ke dalam jiwa dan pikirannya. Tri Brata tidak bisa diharapkan hanya
dengan cara menghafal dan mengucap sumpah. Cara itu ibarat euphemisme bagi
perbuatan menggantang asap, polisi- polisi tentu sadar bahwa penerapan Tri
Brata dalam kondisi lingkungan umum seperti sekarang ini tidak mudah.
Mengapa demikian? Tak
seorang polisi pun menyangkal akan keluhuran Tri Brata, namun tidak ada pula
yang mengingkari bahwa keluhuran itu sebenarnya tidak penting, yang lebih
penting adalah dalam ”sistem penerapan”-nya. Jika itu dilakukan, arah dan
tujuan perkembangan pendidikan untuk membentuk kepribadian polisi yang luhur
menjadi tidak jelas.
Dalam usianya yang
ke-70 tampak Polri masih mencari jati diri selaku polisi Tri Brata. Usia 70
untuk manusia itu dapat dikatakan sudah di ambang senja, namun tidak demikian
bagi organisasi. Bagi manusia, pada usia itu umumnya selalu menengok ke
belakang untuk menyisir jejak-jejak langkahnya selama hidup di dunia sebagai
persiapan kelak mempertanggungjawabkan segala tindakannya di hadapan Sang
Pencipta.
Bagi Polri, dalam usia
ke-70 seharusnya sudah tegak dalam menapakkan langkah mengemban darma sebagai
pengayom, pelindung, dan pembimbing masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu,
tampaknya jalan yang harus dilalui Polri masih terbentang panjang, terjal,
dan sarat dengan rintangan. Hingga kini metode penerapan Tri Brata belum
dilembagakan dalam organisasi kepolisian.
Tri Brata sebagai
pedoman perilaku individu maupun organisasi Polri belum terumuskan dalam
sistem pembinaan dan operasional kepolisian. Dari berbagai literatur yang ada
diketahui baru sampai pada komentar tentang sejarah dan nilai-nilainya.
Seminar atau diskusi mengenai Tri Brata kerapkali berputar-putar mengenai
petuah-petuah moral, padahal yang dibutuhkan adalah metode penerapannya dalam
organisasi kepolisian baik secara struktural maupun kultural.
Meskipun kondisinya
masih demikian, dalam mengemban tugas pokoknya Polri dituntut tetap berjalan
tegak sebagai penegak hukum, pembina ketertiban dan keamanan masyarakat.
Dalam menghadapi aral rintangan, Polri tidak boleh mundur walau setapak.
Polisi tidak boleh gentar dengan ejekan, cercaan, dan hinaan yang menyakitkan
hati.
Dalam struktur seperti
sekarang ini harus bisa memaklumi anggapan bahwa keberadaan dirinya adalah
endapan citra sebagai aparat penjamin kekuasaan yang dikonfrontasikan dengan
rakyat. Justru adanya anggapan itu harusnya menjadi pemicu untuk mengubah
dirinya. Kini dalam konteks pembenahan Polri, tantangan yang dihadapi semakin
berat, tidak sekadar masalah strategis, taktis, dan teknis kepolisian.
Lebih dari itu,
menyangkut masalah substansi. Tantangan itu meliputi; Pertama, membentuk jati
diri polisi Tri Brata. Kedua, meningkatkan profesionalismenya. Kiprah Bripka
Seladi itu selaras dengan Tri Brata. Itulah jati diri polisi yang mandiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar