Budaya Mudik Lebaran
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Juli 2016
RASULULLAH
mengingatkan umatnya, ibarat memacu kuda maka mendekati garis finis hendaknya
larinya semakin kencang agar menjadi pemenang. Begitu pun dalam ibadah puasa
Ramadan, di 10 hari terakhir hendaknya diperbanyak ibadah karena hari-hari
itu justru akan menentukan kualitas dan keutuhan ibadah Ramadan. Namun,
rupanya yang lebih heboh ialah agenda pulang mudik. Semoga saja mudik Lebaran
pun akan tercatat sebagai ibadah.
Fenomena Lebaran telah
berakar kuat dalam masyarakat dan ini akan tetap bertahan terus terlebih
ketika urbanisasi juga semakin meningkat.
Pengamat asing
mengatakan orang Indonesia, khususnya Jawa, they are very much attached to their lands. Masyarakat kita
sangat terikat kuat dengan tanah air dan kampung halaman.
Itu terbukti, ketika
keluarga yang mengalami rumah hancur terkena tanah longsor ditawari pindah
tempat oleh pemerintah, mereka menolak pindah. Jadi, masyarakat Indonesia
bukan bangsa yang senang berdiaspora. Mangan ora mangan asal ngumpul.
Tentu saja di kalangan
generasi muda sudah mulai kendur ikatan etnik dan kedaerahan, mereka
berkarier dan hidup di rantau. Namun, sangat jauh jika dibandingkan dengan
masyarakat Tionghoa, Turki, India, dan Yahudi, yang tinggal dan membangun
komunitas di luar negeri.
Dugaan saya, kata
lebaran berasal dari bahasa Jawa, yang berarti seseorang sudah selesai
menyelenggarakan sebuah hajatan. Itulah hajatan melaksanakan perintah puasa
selama Ramadan. Dengan hadirnya Hari Lebaran, seseorang diajarkan untuk
lebur, yaitu menyatu kembali dengan sesama hamba Tuhan, apa pun status
sosialnya, setelah kembali ke fitrahnya.
Itu ditandai dengan
diselenggarakannya acara halalbihalal di lingkungan perkantoran dan
masyarakat, sebuah forum untuk saling memaafkan dan memperkukuh rajutan sosial.
Lebaran juga mendorong
munculnya sikap luber, yaitu sikap filantropis, senang berbagi rezeki,
mensyukuri anugerah Tuhan yang diterimanya selama ini. Karena itu, banyak
keluarga muslim yang mengeluarkan zakat tahunan serta sedekah sehabis
Ramadan, di luar zakat fitrah. Tradisi mudik pulang kampung juga menjadi
medium untuk mengekspresikan rasa syukur setelah puasa sebulan yang di
dalamnya terkandung semangat lebur dan luber.
Kreasi masyarakat
Tradisi yang memiliki
dimensi keagamaan sulit hilang atau dihilangkan dari masyarakat, seperti di
Bali tempat agama dan budaya telah menyatu. Di Indonesia, budaya Lebaran
justru semakin meriah dan menguat karena dampak ekonomi dan sosialnya sangat
positif bagi masyarakat dan negara.
Budaya Lebaran secara
signifikan ikut memperkukuh kohesi sosial dan mendukung pemerataan ekonomi.
Mobilitas warga yang sedemikian masif telah mendorong pembangunan
infrastruktur dan menghidupkan bisnis transportasi nasional dengan segala
turunannya. Tradisi pulang mudik yang awalnya hanya populer di kalangan
masyarakat Jawa sekarang juga menular ke luar Jawa.
Festival yang telah
mentradisi yang diciptakan negara ialah peringatan kemerdekaan 17 Agustus.
Namun, dampak sosial ekonominya tidak sebesar dan seheboh Lebaran. Begitu pun
pesta tahun baru. Gebyarnya hanya sesaat dan miskin aura keagamaannya. Namun,
suasana Ramadan yang ditutup dengan Idul Fitri sangat kental aura
religiositasnya.
Banyak orang yang
mengeluarkan zakat dan sedekah pada bulan Ramadan sehingga ketika tiba Hari
Lebaran suasana batin terasa lega. Masing-masing merasa saling memaafkan dan
dimaafkan.
Suasana yang demikian
ini bukan hasil rekayasa politik, melainkan benar-benar tumbuh dari bawah,
keluar dari hati yang selalu ingin memperbaiki kualitas hidup dan merasakan
nikmatnya kebersamaan, toleransi, dan kedamaian yang muncul dari penghayatan
iman.
Konon sejarahnya, di
Eropa hari libur Sabtu dan Minggu disebut holiday
karena diinspirasi Bibel bahwa Tuhan istirahat mengurus dunia pada Sabtu.
Karena itu, manusia juga istirahat dari kerja mengejar duniawi lalu diganti
dengan acara ritual memuja Tuhan sehingga pada holy-day, hari suci, orang pergi ke gereja atau kuil untuk memuja
Tuhan.
Namun, sekarang telah
terjadi proses sekularisasi, nilai-nilai keagamaan justru hilang pada holiday, yang menonjol ialah pesta
duniawi yang penuh hura-hura. Ketika saya jalan-jalan ke Eropa Timur masih
terdapat sisa-sisa tradisi Kristen kuno. Ketika datang Sabtu dan Minggu,
toko-toko tutup sekalipun banyak turis. Itu pengaruh metafora Bibel, bahwa
Sabtu Tuhan pun istirahat sehingga manusia juga mesti istirahat lalu diganti
dengan memperbanyak berdoa dan bekerja bakti, tidak mencari uang.
Dari sekian banyak
tradisi, jika di dalamnya ada unsur keagamaan, biasanya itu akan mampu
bertahan lama. Contoh yang fenomenal ialah masyarakat Hindu Bali, antara
ritual keagamaan dan budaya telah menyatu, bahkan menjadi daya tarik turis
yang mendatangkan devisa.
Bagi masyarakat Islam
Indonesia, selama Ramadan juga berkembang tradisi berbuka bersama. ak Jusuf
Kalla, wakil presiden, pernah berujar kepada saya, puasa itu hanya sebulan,
tapi acara berbuka puasa bisa 50 kali, karena mesti menghadiri undangan acara
buka bersama di berbagai tempat.
Ketika Lebaran tiba,
yang paling utama dari segi agama ialah mendirikan salat Idul Fitri di
lapangan atau masjid agung. Namun, yang membuat heboh ialah acara pulang
mudik kumpul keluarga, dilanjutkan dengan silaturahim saling memaafkan dan
menikmati hidangan Lebaran bersama tetangga dan sanak saudara.
Silaturahim itu juga
diselenggarakan di perkantoran, biasanya pada minggu pertama masuk kerja,
diikuti semua karyawan lintas agama.
Mengingat animo pulang
mudik tetap tinggi, syukurlah pemerintah selalu berusaha meningkatkan
kenyamanan dan keamanan acara mudik berupa perbaikan infrastruktur sehingga
budaya Lebaran semakin terasa ramah dan menggembirakan. Orang bilang, kalau
tidak mudik, Lebarannya serasa hanya separuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar