Orang-Orang Hebat dan Perubahan
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 30 Juni
2016
Mungkin karena “berada
di dalam”, kita kerap tak sadar bahwa perubahan terjadi di mana-mana. Meluas
dan dalam skala yang masif. Ada perubahan yang dipicu teknologi, tapi ada
juga perubahan yang disebabkan kondisi sosial kemasyarakatan. Saya bersyukur
sebab dalam beberapa kasus perubahan itu menawarkan nilai-nilai yang positif.
Contohnya berikut ini.
Setiap kali bicara
tentang polisi jujur dan pemberani, ingatan kita langsung mengarah kepada
sosok Hoegeng, Kapolri 1968-1971. Padahal, Hoegeng—nama lengkapnya Hoegeng
Imam Santoso— sudah meninggalkan kita sejak 14 Juli 2004.
Tapi, presiden kita
yang jenaka, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, menambahkan dua lagi. Keduanya
adalah polisi tidur dan patung polisi. Sayangnya, Gus Dur juga sudah
meninggalkan kita pada 30 Desember 2009. Kalau tidak, ia pasti akan punya
tambahan daftar polisi jujur lainnya.
Siapa saja mereka?
Namanya Seladi. Ia
anggota Satlantas Polres Kota Malang, Jawa Timur, dengan pangkat brigadir
polisi kepala (bripka). Jangan lihat kata “kepala”-nya. Meski sudah 39 tahun
menjadi polisi, ia sama sekali bukan atasan di sana. Sehari-hari Bripka
Seladi bekerja di bagian pengujian SIM A. Gajinya Rp5,7 juta per bulan. Hidup
dengan tiga anak, gaji sebesar itu jelas tak cukup. Apalagi ia punya banyak
cicilan utang yang harus dibayar—di antaranya karena bisnis sebelumnya
bangkrut.
Maka Seladi menutupi
kekurangan kebutuhan keluarganya dengan menjadi pemulung. Padahal posisinya
di bagian pengujian SIM—yang menentukan lolos tidaknya seseorang saat ujian
SIM—memungkinkan Seladi mengutip dari kiri-kanan. Atau menerima suap. Tapi
Seladi tidak memilih jalan itu. Ia memilih mencari rezeki bersih dengan
menjadi pemulung. Seladi adalah sosok polisi yang jujur.
Masih ada lagi polisi
jujur lainnya. Ia Ajun Inspektur Satu (Aiptu) Mustamin. Sebagai polisi dengan
pangkat rendahan di Polsekta Ujungpandang, Sulawesi Selatan, gaji Mustamin
paspasan. Untuk menutupi kebutuhan keluarganya, selepas jam kantor, Mustamin
menjadi tukang tambal ban. Ia sudah melakoni itu selama 20 tahun.
Di Aceh ada Aiptu Ruslan.
Sehari-hari ia kanit Binmas di Polsek Pidie. Selepas jam kerja, Ruslan
bekerja sebagai tukang sol sepatu.
Tiga polisi tadi punya
sejumlah kesamaan. Mereka sudah bertahun-tahun menjadi polisi. Meski gajinya
pas-pasan, mereka tak mau menerima uang haram, uang suap, dan korupsi. Mereka
hanya mau terima uang halal meski untuk itu harus rela menjadi pemulung,
penambal ban, atau tukang sol sepatu.
Tiga Sosok Lainnya
Baiklah kita cari
orang-orang jujur dan pemberani lainnya. Di masa lalu, selain Hoegeng, nama
yang kerap disebut-sebut adalah Hakim Agung Bismar Siregar dan Jaksa Agung
Baharuddin Lopa. Keduanya adalah petinggi di lingkungan penegak hukum dan
sudah lama meninggalkan kita. Meski masuk jajaran elite negara ini, gaya
hidup keduanya sangat sederhana.
Tapi, itu dulu.
Sekarang kalau bicara orang jujur atau pemberani, referensinya sudah lain
sama sekali. Baiklah saya angkat tiga di antaranya— sosok-sosok yang mungkin
tidak Anda kenal sama sekali.
Pertama, Agus
Chaerudin, 35 tahun. Ia office boy
di Bank Syariah Mandiri Cabang Kalimalang, Bekasi. Ketika sedang melakukan
pekerjaan rapi-rapi, Agus menemukan bundel uang Rp100 juta di lantai dekat
tempat sampah. Apa yang Anda lakukan jika berada dalam posisi seperti Agus?
Saya tak ingin
berandai-andai. Silakan Anda renungkan sendiri. Saya hanya ingin menceritakan
apa yang dilakukan Agus. Ia melapor ke petugas satpam dan kemudian
menyerahkan uang tersebut ke atasannya. Mungkin saja Agus tergiur, tapi ia
kuat melawan godaan. Maka ia tak mengambil selembar pun uang dari bundel
tersebut. Ia ingat betul ajaran agamanya, Jangan ambil apa pun yang bukan
menjadi hak kamu.” Agus juga sangat terinspirasi dengan kisah Umar bin
Khattab, sahabat Nabi Muhammad SAW, yang mengutamakan kesederhanaan dan
kejujuran.
Sosok kedua bernama Mulyadi,
32 tahun. Ia bekerja sebagai petugas cleaning
service di Mal Kota Kasablanka, Jakarta. Saat membersihkan toilet mal,
Mulyadi menemukan tas tercecer. Ia mengambil tas tersebut dan menyerahkannya
ke customer service. Saat dibuka, isinya uang Rp100 juta. Lagi, apa yang Anda
lakukan jika berada dalam posisi seperti Mulyadi?
Sosok ketiga adalah
pengemudi taksi bernama Suharto, 53 tahun.
Suatu ketika ada dua
warga Australia yang naik taksinya. Setelah mengantar mereka ke tempat
tujuan, sekitar pukul 02.00, Suharto langsung kembali ke rumah. Ia sama
sekali belum sadar kalau ada tas yang tertinggal di taksinya. Beberapa jam
kemudian, Suharto pun menerima pesan pendek dari penumpangnya tadi yang
menginformasikan bahwa tasnya tertinggal di taksi. Isinya uang Rp100 juta.
Suharto kaget. Ia memeriksa taksinya. Benar, tas itu tergeletak di belakang
kursinya. Ia lalu bergegas mengantarkan tas tersebut kepada pemiliknya.
Mbah Ratmo dan Daffa
Itu tadi cerita
tentang tiga orang yang berani jujur. Mereka jelas orang-orang hebat.
Hidupnya lurus. Supaya lengkap, kali ini saya ingin menambahkan cerita
tentang orang-orang hebat dengan dua sosok yang saya nilai pemberani.
Pertama, namanya
Sumarjono, 63 tahun, kakek dengan enam cucu.
Suatu ketika saat
melintas di Jalan Suratmo di Semarang Barat, di dekat rumahnya, Sumarjono
menyaksikan seorang perempuan muda disambar sepeda motor yang sedang
melakukan balapan liar. Perempuan itu terkapar, tertindih sepeda motor.
Pelakunya kabur.
Peristiwa tersebut
menginspirasi Sumarjono. Dengan berbekal sebatang tongkat, Sumarjono dengan
berani membubarkan aksi balap liar yang sering dilakukan di jalan itu. Nyaris
setiap malam. Pernah ketika membubarkan aksi tersebut, Sumarjono dikeroyok.
Ia melawan dengan senjata tongkatnya. Pengeroyoknya bubar meski hidung
Sumarjono terluka dan berdarah. Kini, berkat aksinya yang berani, jalan
tersebut sepi dari aksi balap liar. Masyarakat setempat kemudian menjuluki
Sumarjono dengan Mbah Ratmo, sebutan yang diambil dari nama jalan tersebut.
Kalau sosok pemberani
pertama adalah seorang kakek, sosok kedua sebaliknya. Ia masih kanak-kanak.
Namanya Daffa, ia siswa kelas IV SD di Semarang. Setiap pukul 15.00, seusai
mengerjakan PR, Daffa keluar rumah. Ia memarkir sepeda di trotoar jalan untuk
mencegah sepeda motor lewat. Kalau ada pengendara sepeda motor yang ngotot , memaksa
melintas, Daffa akan lebih ngotot lagi. Daffa memang anak pemberani.
Baiklah, sekarang apa
yang bisa kita tangkap dari cerita ini? Jelas sekali, dulu contoh sosok jujur
dan pemberani datang dari kalangan elite. Kapolri, hakim agung dan jaksa agung
adalah sosok elite. Kini, terjadi perubahan. Sosok itu justru datang dari
lapisan bawah. Rakyat biasa, seperti kita semua.
Di mana teladan dari
para pemimpin? Padahal, pemimpin itu ibarat sumbu roda. Kalau dia bergerak
sedikit, lapisan bawahnya akan lebih banyak bergerak. Jadi kalau dia bisa
memberi teladan, akan banyak jajaran di bawahnya yang meniru. Kalau itu
terjadi, saya yakin tak ada negara mana pun di dunia yang mampu menandingi
kehebatan Indonesia.
Saya berharap kisah
Seladi, Mustamin, Ruslan, Mbah Ratmo dan Daffa bisa menginspirasi kita dalam
mengisi Ramadan 2016. Selamat merayakan
Idul Fitri 1437 H. Selamat mudik dan bertemu keluarga, kerabat, teman masa
kecil. Sebuah kebahagiaan yang kita miliki bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar