Etos Ilmiah Nuzulul Quran
Asep Salahudin ;
Esais; Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya;
Dosen LB FISS Universitas
Pasundan Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Juni 2016
SALAH satu kebiasaan
Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul adalah melakukan
tahannust (menyepi). Semacam kegiatan personal melakukan renungan total
tentang kondisi sosial kemasyarakatan yang ada di sekitarnya, merefleksikan
zamannya yang dalam pandangannya tengah disekap kebudayaan yang menghinakan
akal sehat yang kemudian disebut jahiliah.
Nyaris kejahiliahan
itu menimpa semua sektor kehidupan. Ekonomi dikelola hanya tertumpu pada
semangat mengejar keuntungan belaka dengan cara licik; sosial dijangkarkan
pada sentimen perkauman yang sempit dan sering kali berkobar menjadi gelaran
konflik berdarah (safak ad-dima')
walaupun pemantiknya hanya persoalan sepele. Politik benar-benar dengan
sempurna menerapkan prinsip menghalalkan segala cara, sedangkan kebudayaan
diacukan pada haluan hanya melulu menjadikan materi sebagai daulat utama.
Tentu saja kedudukan
perempuan sama sekali berada di titik nadir bahkan kelahirannya dianggap aib
bagi keluarga sehingga harus lekas dikubur hidup-hidup. Dalam sistem
keyakinan lebih parah lagi. Malah diriwayatkan ketika mereka bepergian, Tuhan
dibawa dan terus dihadirkan dalam wujud roti yang dibikinnya sendiri untuk
setiap saat disembahnya. Tatkala lapar menyergap, Tuhan itu pun menjadi
santapannya. Tuhan menjadi sekadar makanan untuk mengenyangkan perut.
Gua hira
Tempat favorit sang
nabi dalam melakukan tahannuts (menyepi) itu adalah sebuah gua yang berada di
tebing Gunung Nur (Jabal Nur). Kurang lebih 5 km arah utara dari Masjidil
Haram. Di gua itu Nabi bermeditasi, mengosongkan hati, menyatukan sukma
dengan Yang Mahakuasa, sekaligus menyampaikan seluruh keresahan jiwanya,
mengadukan persoalan sosial yang menimpa masyarakatnya.
Gua yang menjadi situs
rohaniah yang menggambarkan bagaimana Muhammad SAW seorang diri mewafakan
tubuhnya demi melakukan transformasi sosial yang diimajikannya. Naik ke
gunung batu bukan hal mudah, sekali terpeleset yang menjadi pertaruhannya
ialah nyawanya sendiri. Dalam musim terik menyengat (Ramadan artinya adalah
cuaca yang membakar), kaki itu menaiki batu demi batu menuju puncak Hira,
menyendiri, dan larut dalam hening yang menggetarkan, dalam munajat sepi yang
tak ditemani satu orang pun. Hanya dirinya dan Tuhan. Tanpa arahan wahyu
kecuali mengikuti rute suara hatinya yang bening.
Tepat pada 17 Ramadan
itulah, hijab terbuka. Tuhan mengutus Jibril menyampaikan firman-Nya. Dahsyatnya
ternyata ayat yang pertama kali turun ialah gelora agar sang Nabi itu pandai
membaca. Iqra, bacalah.
Bismi rabbik, atas nama Tuhanmu. Seruan-Nya yang pertama bukan perintah haji
berkali-kali atau umrah berulang kali, bukan pula puasa dan salat dalam
hitungan tak terbilang dan apalagi kewajiban menegakkan syariat, tapi
keniscayaan agar terampil membaca.
Dalam peradaban mana
pun juga 'membaca' adalah sebuah metafora dari pemuliaan terhadap ilmu
pengetahuan. Iqra merupakan simbol
keharusan menyiapkan sumber daya insani. Tanpa etos iqra, perubahan sosial
yang dibayangkan tidak akan pernah terwujud. Iqra yang menjadi sumbu kebudayaan itu memiliki rohnya yang
berwibawa. Seolah Tuhan hendak mengatakan bahwa kejahiliahan itu bermula
karena absennya kerja iqra dan atau
membaca itu dilakukan tapi sama sekali tidak melibatkan nilai-nilai
ketuhanan, tidak bismi rabbik.
Pengalaman spiritual
itu tentu saja sangat mengguncang dirinya. Di sebuah gua, di tepi gunung
berbatu, tiba-tiba hadir makhluk asing dengan perintahnya yang juga asing. Menjadi
beralasan sekembali ke rumahnya, istrinya disuruhnya untuk lekas
menyelimutinya. Justru ketika selimut sudah menutupi sekujur tubuhnya, Tuhan
kembali datang dengan firman susulannya, "Wahai yang berselimut bangun,
dan peringatkan. Agungkan Tuhanmu, sucikan pakaianmu, lepaskan dirimu dari
perbuatan keji."
Visi pengetahuan
Konteks turunnya
Alquran seperti itu menarik kita renungkan. Keharusan 'membaca' dan 'membuang
selimut' inilah yang tidak hadir dalam kesadaran umat Islam hari ini, dari
batang tubuh bangsa kita sekarang.
Padahal, yang menjadi
energi umat Islam mampu mencapai puncak peradaban pada abad pertengahan
sehingga melahirkan tokoh-tokoh besar semacam Ibnu Sina, al-Kindi, Al-farabi,
al-Khawarizmi, Ibnu Rusydi, yang kemudian mengilhami kebangkitan dunia Barat
yang sedang berada dalam limbo kemunduran ialah semangat membaca itu.
Seandainya membaca
melambangkan etos ilmiah, 'menyingkirkan selimut' ialah etik imperatifnya.
Wahai yang berselimut kebodohan, singkirkanlah dan bangunlah lembaga
pendidikan bermutu. Wahai yang berselimut kefakiran, singkirkan sikap malas
dan seriuslah menggumuli persoalan ekonomi. Wahai yang berselimut kerakusan,
singkirkan dan tumbuhkan kedermawanan. Wahai yang berselimut politik
kecurangan, singkirkan dan tancapkan nilai-nilai politik luhur yang
menjunjung tinggi keutamaan dan kemanusiaan.
Kalau kita simak,
nyaris sepanjang Muhammad SAW meniti karier kenabian, perhatian dan kebijakan
yang diambil selalu diorientasikan untuk sektor pendidikan, pengembangan ilmu
pengetahuan. Kita baca dalam sekian hadisnya, bagaimana laki-laki dan
perempuan dibebani kewajiban mencari ilmu jauh sebelum Kartini, Lasminingrat,
atau Dewi Sartika bikin sekolah yang khusus diperuntukkan kaum perempuan.
Belajar sepanjang
hayat dipromiskannya setiap saat, carilah ilmu dari mulai buaian bunda sampai
lubang kubur. Malah tatkala dalam sebuah pertempuran mendapatkan tawanan,
tawanan itu bisa bebas hanya dengan dua opsi: pertama, menebusnya dengan
sejumlah uang dan uang itu wajib masuk kas negara yang dikhususkan bagi dunia
pendidikan. Dan kedua, apabila tawanan itu kategorinya miskin, dia wajib
menularkan keterampilan baca tulisnya kepada anak-anak muslim yang masih buta
aksara.
Tentu saja kalau kita
membaca Alquran akan dengan mudah menemukan ayat-ayat lainnya yang senapas
dengan iqra. Alquran ialah kitab suci yang menjunjung tinggi rasionalitas. Akal
sebagai kata yang merujuk pada nalar tidak pernah dirumuskan dalam bentuk
kata benda (al-aql), tapi
seluruhnya adalah kata kerja, afala
taqilun atau afala yaqilun. Maknanya
ialah akal sebagai potensi yang harus terus didayagunakan, berpikir tidak
boleh mengenal kata khatam. Seandainya Rene Descartes sampai pada kesadaran
'aku berpikir maka aku ada' sebagai penanda modernisme-rasionalisme, dalam
jalur yang sama Nabi SAW menyerukan agama itu adalah akal, tidak beragama
mereka yang tidak pernah menggunakan akalnya. Ad-dinu huwa al-aqlu li dina li man la aqla lahu.
Inilah yang kemudian
disimpulkan Soekarno dalam Surat-Surat dari Ende bahwa Islam itu adalah agama
berkemajuan, Islam is progress. Bung
Karno menyebutkan ciri kemajuan itu ialah penghargaan terhadap rasio,
terhadap nilai-nilai modernitas.
Islam yang benar yang
disebutnya sebagai 'api Islam' ialah Islam yang belum terbenam dalam lumpur
sikap taklid dan tahayul, Islam yang sigap berdialog dengan roh zaman,
menjadi pandu bagi langkah-langkah perubahan sosial termasuk bisa membebaskan
umatnya dari sekapan kolonialisasi dan kolonialisme.
Merenungkan Nuzul
Quran ialah mengingat kembali sesuatu yang hilang dalam diri umat Islam:
pentingnya ilmu pengetahuan. Atau dalam istilah Kuntowijoyo, kita harus
menghentikan Islam mitologis dan ideologis dan kita harus mulai bergeser
masuk ranah Islam epistemologis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar