Polisi dan Revolusi Mental
Boy Rafli Amar ;
Kadiv Humas Polri
|
KOMPAS, 01 Juli 2016
Salah satu persoalan
besar yang tengah dihadapi bangsa Indonesia adalah merosotnya nilai-nilai
jati diri akibat pengaruh perkembangan lingkungan lokal, regional, ataupun
global. Namun, di sisi lain, pengaruh lingkungan juga bisa berdampak positif
untuk mewujudkan karakter bangsa Indonesia yang lebih kokoh dan tangguh.
Untuk Indonesia yang
berdaulat dan berkepribadian, ada Nawacita yang salah satunya adalah revolusi
mental dalam membangun bangsa. Di lingkungan Polri, Kapolri dalam Program
Quick Wins Renstra Polri tahun 2015-2019 telah menjabarkan Nawacita dengan
agenda "Polri sebagai Penggerak Revolusi Mental dan Pelopor Tertib
Sosial di Ruang Publik".
Revolusi mental
sebagai program Nawacita ke-8 dan Program Quick Wins Polri nomor 6,
dilaksanakan melalui jalur pendidikan dan pelatihan. Di sinilah sarana
transfer pengetahuan dan keterampilan sekaligus proses pembelajaran
berkelanjutan.
Profesional dan unggul
Dalam sasaran rencana
strategis Polri 2015-2019, pada poin 2 terdapat agenda yang sejalan dengan
revolusi mental, yaitu terbangunnya Polri yang profesional, bermoral, modern,
dan unggul. Dalam kaitan dengan itu semua, patut kiranya di Hari Bhayangkara
ini, kita menjadikannya ajang otokritik kelembagaan untuk memampudayakan
seluruh sumber daya manusia (SDM) kepolisian. Anggota Polri harus kembali
kepada jati diri yang sungguh-sungguh memaknai nilai-nilai Pancasila.
Kiranya perlu
pemikiran ulang terhadap posisi polisi, baik dalam rangka menerjemahkan tugas
sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, maupun tugas-tugas
lainnya.
Dalam kesempatan yang
berharga ini perlu dimulai rejuvinasi atau upaya menghilangkan kejenuhan
untuk memulihkan kebugaran mental aparatur kepolisian. Dengan demikian, upaya
ikut mendorong terciptanya Revolusi Mental bisa dilaksanakan segenap anggota
Polri.
Kekuatan moral itu
adalah kemauan bisa "merasa" dalam perspektif luas. Merasa sebagai
bhayangkara yang terpanggil untuk melindungi segenap bangsa dan negara.
Merasa sebagai pejuang dan penegak hukum yang menjunjung tinggi keadilan.
Merasa sebagai pelayan publik yang senantiasa bekerja dengan derma tulus dan
ikhlas. Kemauan bisa merasa ini menjadi modal sosial sekaligus arsenal untuk
mewujudkan Revolusi Mental.
Rombak manusia
Seperti yang sudah
ditulis Presiden Jokowi saat masih menjadi capres (Kompas, 10 Mei 2014),
pembangunan bangsa tidak mungkin berjalan maju kalau sekadar mengandalkan
perombakan institusional tanpa merombak manusianya atau sifat mereka yang
menjalankan sistem. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia
ditangani oleh manusia dengan salah kaprah, tidak akan membawa kesejahteraan.
Menurut Jokowi, sudah
saatnya Indonesia bertindak korektif, tidak dengan menghentikan proses
reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental
yang menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan pembangunan bangsa
baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan
berkesinambungan.
Indonesia memang
memerlukan terobosan budaya politik untuk memberantas segala praktik buruk
yang sudah terlalu lama berlangsung. Kita tahu, Presiden Jokowi dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla mengangkat gagasan Trisakti Bung Karno sebagai jiwa dan
panduan revolusi mental melalui tiga prinsipnya: Indonesia yang berdaulat
secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan Indonesia
berkepribadian secara sosial budaya.
Dalam pandangan
Presiden Jokowi-JK, istilah mental dipersepsikan sebagai pola pikir, sifat,
dan kebiasaan yang menyeluruh baik individu, kelompok, maupun masyarakat
untuk bertransformasi menjadi lebih baik.
Tindak lanjut dari
konsep Presiden Jokowi-JK dijabarkan dalam tiga program, yaitu Indonesia
Ramah, Indonesia Mandiri, dan Indonesia Kita.
Pijakan baik dan bersih
Bagi Kepolisian
Republik Indonesia, revolusi mental adalah titik awal batu lompatan dalam
menciptakan polisi dan lembaga kepolisian yang baik dan bersih.
Dengan menjadikan
"bisa merasa" sebagai kekuatan moral, diharapkan seluruh insan
Polri dapat melakukan kerja-kerja extraordinary (luar biasa). "Bisa
merasa" adalah ungkapan yang memberikan dorongan untuk pertama-tama
meyakini bahwa kekuatan moral adalah pilar utama dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai aparatur bhayangkara. Dengan demikian, Polri bisa menjadi
lembaga yang menginspirasi perbuatan-perbuatan nasional.
Kepribadian adalah
modal, tidak hanya dalam bentuk aktualisasi pelaksanaan tugas, tetapi
sekaligus juga identitas utama yang harus digenggam sebagai perilaku yang
memiliki nilai-nilai kemuliaan. Insan Bhayangkara harus menjadi teladan,
kepada diri sendiri, keluarga, organisasi, dan terlebih kepada kepentingan
bangsa dan negara secara luas.
Keunggulan moral dapat
diterjemahkan sebagai berikut:
Pertama, melampaui
ruang dan waktu. Artinya, kekuatan moral sebagai sesuatu yang otentik dan
genuine bisa berlaku kapan saja dan menjadi kekuatan moral dalam pencapaian
tugas.
Kedua, kekuatan moral
sangat efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas pokok kepolisian.
Ketiga, kekuatan moral
akan memberikan inspirasi untuk menghormati tiang-tiang kebaikan berbangsa
dan bernegara.
Dengan demikian,
perjuangan keorganisasian ataupun kelembagaan didasari dengan kekuatan moral.
Kekuatan moral juga menjadi pemandu untuk menjaga pola perilaku yang prima.
Upaya pencapaian
Bagaimana mencapainya?
Perlu strategi untuk mengukur program dan kegiatan revolusi mental. Caranya,
dengan membuat cetak biru landasan kerja jangka pendek, menengah, dan panjang.
Perlu pula dibentuk Gugus Respons untuk Penerapan Revolusi Mental (GRUP
Revolusi Mental) di semua satuan Polri yang berorientasi pada pemampudayaan
sumber daya manusia kepolisian.
Semua itu menjadi
bagian dari upaya polisi berbenah, bukan karena desakan publik, tetapi karena
keberhasilan otokritik internal. Dengan demikian, kita dapat menciptakan
embrio-embrio kegiatan baik internal maupun eksternal yang melibatkan
partisipasi publik.
Sekali lagi,
"bisa merasa" adalah kekuatan moral untuk mengembangkan Prima Rasa
yang meliputi sikap-sikap profesional, responsif, berintegritas, modern, dan
mampu beradaptasi.
Penguatan Prima Rasa
perlu dukungan psychological capital yang meliputi terpeliharanya harapan
bahwa insan Polri dapat mencapai tujuan organisasi dengan terpeliharanya
optimisme dan ketangguhan mental.
Agar aplikasi Prima
Rasa membumi, dibutuhkan tagline yang bisa membantu polisi menjalankan
Revolusi Mental. Inilah yang diwujudkan dengan moto "Kerja 24 jam PLUS
(Pelayanan Lebih Upaya Solutif)".
Semoga di hari ulang
tahunnya yang ke-70, Kepolisian Negara Republik Indonesia semakin solid,
profesional, dan membanggakan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar