Refleksi Ekonomi Mudik Lebaran
Enny Sri Hartati ;
Direktur Institute for
Development of Economics and Finance
|
KOMPAS, 04 Juli 2016
Semarak perayaan hari
raya Idul Fitri kembali terulang. Hampir seluruh masyarakat menyambut dengan
antusias dan sukacita. Ritual tahunan yang tak lepas dari Lebaran tentu
tradisi mudik.
Fenomena mudik di
Indonesia dapat dipahami karena pembangunan ekonomi terpusat di kota besar,
terutama di Pulau Jawa. Akibatnya terjadi arus migrasi besar-besaran penduduk
dari daerah yang potensi ekonominya masih belum tergarap dan berkembang. Daya
tarik kota besar yang menjanjikan berbagai fasilitas dan insentif ekonomi
besar menjadi magnet bagi tenaga kerja yang memiliki tingkat pendidikan,
keterampilan, dan keahlian. Apalagi tenaga kerja berusia muda hampir tidak
ada lagi yang mau berada di daerah atau di desa.
Menarik menilik
antusiasme tradisi mudik yang masih berlangsung dan seolah tak lekang oleh
dinamika zaman. Percepatan perkembangan telekomunikasi tidak mampu menggerus
minat pemudik. Padahal, seiring perkembangan teknologi, silaturahim tidak
lagi hanya melalui telepon, surat elektronik, bahkan melalui hubungan video.
Namun, keinginan bertemu melalui tatap muka langsung dengan sanak keluarga
mampu menghalau tantangan mudik. Biaya yang tidak sedikit dan kemacetan yang
luar biasa mengalahkan harapan untuk mendapatkan romantisisme kampung
halaman.
Dari fenomena itu,
minimal bisa disimpulkan, dalam pilihan migrasi ada trade off antara
pertimbangan ekonomi dan kuatnya aspek sosial budaya. Hampir dapat
disimpulkan, jika ada alternatif pilihan dari aspek ekonomi, bisa jadi
pilihan migrasi juga menjadi pilihan terakhir bagi banyak orang. Di sisi
lain, besarnya arus migrasi tenaga kerja berpendidikan dan terampil juga
membuat ketimpangan pembangunan justru semakin melebar.
Harapan proses
transformasi struktural perekonomian daerah atau desa juga semakin menjauh.
Daerah yang notabene memiliki sumber daya berlimpah justru ditinggalkan
tenaga kerja produktif. Akibatnya, banyak potensi sumber daya yang semestinya
dapat dikembangkan dibiarkan menganggur dan terbengkalai. Tingginya konversi
lahan pertanian disebabkan tidak ada insentif ekonomi dalam usaha pertanian.
Di samping itu, juga karena produktivitas yang rendah, belum tersentuh teknologi
baru dan benih berkualitas. Teknologi pascapanen juga terbatas. Padahal, desa
memiliki potensi sumber daya yang luar biasa, tidak hanya sektor pertanian
pangan, tetapi juga holtikultura, peternakan, perikanan/kelautan.
Jika industri pedesaan
berkembang di sentra produksi pangan dan hortikultura, maka banyak variasi
industri makanan dan minuman yang menjadi andalan daerah. Jaminan permintaan
ini menjadi insentif ekonomi bagi petani, sekaligus jaminan stabilitas harga,
terutama ketika panen raya. Apalagi, jika ada investasi untuk membuat sistem
logistik yang memadai, berbagai produk sayur mayur dan buah-buahan tidak
mudah rusak. Dengan ketersediaan sayur mayur dan buah-buahan segar,
semestinya kebutuhan restoran dan hotel berbintang pun dapat dipenuhi oleh
buah lokal dan dapat mengurangi ketergantungan pada pasokan impor.
Demikian juga jika
peternakan berkembang, tidak hanya karut-marut impor daging sapi yang dapat
diatasi. Ketergantungan pada impor susu dan impor kulit untuk industri alas
kaki pun dapat dipenuhi. Apalagi jika komitmen hilirisasi industri berbasis
perkebunan sawit, karet, kakao, dan lainnya juga konkret. Pemerintah cukup
menyediakan berbagai infrastruktur dasar dan memberikan kemudahan investasi
di daerah. Tiap-tiap daerah tidak hanya mendapatkan nilai tambah, tetapi juga
mampu mengekspor berbagai produk industri manufaktur yang memiliki daya saing
tinggi. Perluasan penciptaan lapangan kerja terjadi, impor berkurang, dan
terjadi perluasan pangsa pasar negara tujuan ekspor.
Momentum mudik Lebaran
mestinya dapat menjadi jembatan mengurai kesenjangan pembangunan desa-kota.
Dengan catatan, jika migran atau kelompok urban yang telah berhasil di kota
besar memiliki kesadaran dan dapat menangkap berbagai prospek bisnis
tersebut. Hal ini dapat dimulai melalui cara berinvestasi di kampung halaman
melalui usaha produktif dengan menggerakkan industri pedesaan.
Jika upaya ini secara
intensif dimulai, tidak tertutup kemungkinan akan menarik pemodal besar untuk
berinvestasi lebih masif di sektor pertanian dan pedesaan. Selain itu, juga
memberikan kesadaran, investasi di sektor ini akan jauh berkelanjutan
dibandingkan dengan hanya fokus berinvestasi di sektor properti.
Hal tersebut dapat
terjadi jika mudik tidak hanya dimaknai sebagai romantisisme belaka, tetapi
sekaligus dijadikan upaya mewujudkan kecintaan terhadap kampung halaman yang
lebih konkret. Salah satunya melalui upaya mengembangkan potensi ekonomi di
daerah masing-masing. Minimal dimulai dari langkah kecil dengan membeli
produksi lokal sebagai bentuk dukungan terhadap pemberdayaan ekonomi daerah.
Harapannya, pemerataan pembangunan mampu menyejahterakan masyarakat di
seluruh negeri. Selamat mudik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar