Kembali Fitri, Kembali pada Peradaban
Said Aqil Siraj ;
Ketua Umum PBNU
|
KOMPAS, 05 Juli 2016
Puasa Ramadhan telah
berakhir dan Idul Fitri kembali menyapa kita. Idul Fitri bermakna hari
kembali sucinya jiwa umat Muslim setelah bergulat dengan puasa dan rangkaian
ibadah sebulan penuh selama Ramadhan. Di negeri kita, perayaan Idul Fitri
memiliki kekhasan tersendiri, yakni sering diistilahkan dengan
"Lebaran" yang tidak saja menjadi milik umat Muslim secara
eksklusif, tetapi juga telah menjadi kultur bangsa yang unik.
Tepatlah di momen ini,
kita perlu mengudarakan kembali refleksi terhadap makna tamaddun yang berarti
keperadaban. Sebuah model masyarakat yang hendak dicitakan oleh Islam dan
telah diteladankan oleh Nabi Muhammad.
Masyarakat yang
berperadaban berarti masyarakat yang menjunjung tinggi akhlak dan martabat
serta mengelola pluralitas menjadi kekuatan yang positif. Cita-cita inilah
menjadi titik sentral misi kerasulan Nabi Muhammad lewat sabdanya,
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia menjadi
lebih mulia."
Budaya keperadaban
Pejuang-pejuang
kebangsaan Indonesia sejak dahulu semuanya mempelajari dan mempraktikkan
budaya jujur, adil, arif-bijaksana, tertib, dan disiplin, moderat dan rendah
hati. Unsur-unsur budaya beradab tersebut dipraktikkan dengan pengalaman
jatuh-bangun untuk membangun diri dan bangsa menjadi insan beradab,
bermartabat, dan terhormat.
Transformasi
berkeadaban dan bermartabat itu dilakukan melalui interaksi yang santun dan
dialog yang produktif dalam masyarakat yang plural. Di mulai dari pemahaman
perorangan, keluarga, dan masyarakat tentang perlunya cinta kasih antara
sesama, memupuk rasa keindahan, empati dalam penderitaan dan kegelisahan
orang lain, menghormati hukum dan keadilan, memiliki pandangan positif untuk
hidup bersama, mempunyai tanggung jawab dalam pengabdian, serta memiliki
harapan yang optimis dalam kehidupan.
Keadaban ini jelas
bergayut dengan kesadaran terhadap kemajemukan. Masyarakat majemuk dapat
dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata
sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan agama. Di dalam masyarakat
majemuk, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya
rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk
berkelompok dengan kelompok tertentu.
Dari sejarahnya,
masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat sudah pernah lahir sebagai
kekuatan dunia dalam kerajaan-kerajaan, seperti Sriwijaya, Majapahit, dan
kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke-15. Realitas
sejarah mengesankan kepada generasi sekarang bahwa bobot dan kualitas
berkeadaban dan bermartabat itu lahir dari rahim masyarakat yang majemuk.
Moto Bhinneka Tunggal
Ika merupakan cantelan dalam berkehidupan bermasyarakat yang beradab dan
bermartabat. Moto ini adalah cita-cita adiluhung bangsa Indonesia untuk
terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat.
Upaya untuk mencapai
kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan, dan
berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat dapat duduk sama rendah dan
tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk itulah,
diperlukan infrastruktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama.
Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan
martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya
primitif, keterbelakangan, dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian
penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak
manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama.
Sikap sadar
kemajemukan berarti pula sikap sadar terhadap multikultural. Artinya, sikap
ini menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Konsep tersebut
mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan
dengan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian, serta
menghindari sejauh mungkin konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan
sistem sosial di dalamnya.
Konsep multikultural
tidaklah hanya disamakan dengan konsep keanekaragaman yang hanya
menggambarkan bahwa kita beragam secara agama, suku bangsa, atau kebudayaan
yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk. Yang terpenting, multikultural
lebih menekankan adanya saling menghargai dan rasa memiliki dalam kesederajatan
serta meningkatkan solidaritas yang menuntut kita untuk melupakan upaya-upaya
penguatan identitas. Kehidupan multikultural adalah landasan kesadaran akan
keberadaan diri tanpa merendahkan yang lain.
Bumi kedamaian
Bangsa Indonesia
sendiri adalah bangsa yang hidup dalam suasana pluralitas dan multikultural
sehingga terbiasa dengan berbagai perbedaan, serta menerima perbedaan
tersebut dengan prinsip hidup berdampingan secara damai.
Jangan sampai dalam
mengarungi arus modernisasi dan derap perubahan sosial yang cepat, kedamaian
yang sudah berlangsung lama itu terganggu dengan munculnya konflik-konflik
sosial, radikalisme, atau terorisme dengan semangat buta pembelaan etnik dan
agama sehingga integritas keindonesiaan dan kerukunan, terutama kerukunan umat
beragama yang pernah dibanggakan bahkan diakui oleh bangsa lain, menjadi
luntur.
Kebinekaan merupakan
kekayaan. Keberadaan dan perbedaan agama jelas sebagai rahmat yang harus
disyukuri. Agama datang untuk kehidupan, demi membangun kehidupan yang tenang,
aman, dan damai. Namun, jika kehidupan ini dijadikan sebagai industri
kekerasan, tentu hidup manusia tidak akan aman.
Karena itu, perlu
dikembalikan menjadi industri kecintaan yang diharapkan tercipta suatu
kedamaian. Ada dua pilihan hidup di dunia ini. Untuk menjadikan rahmat atau
dihancurkan oleh globalisme. Supaya kita menjadi rahmat, kita harus saling
mengakui pluralitas. Di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan, penciptaan dunia
ini dan perbedaan lidah dan bahasa kita, kita harus mengembalikan integrasi
dan kerja sama sesama kita.
Bumi ini diciptakan
untuk kita semua. Semua berhak hidup
di bumi ini. Kita harus berpacu untuk memuliakan manusia demi keberlangsungan
hidup mereka. Justru yang harus kita lawan adalah kezaliman dan kekerasan
karena hanya akan melawan kefitrian. Nah, momentum Idul Fitri kali ini dapat
dijadikan sebagai peneguhan kembali dari kita semua demi membangun hidup yang
harmonis dan penuh tenggang rasa dalam berbangsa dan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar