Pendidikan Iradah Puasa
Masduri ;
Akademisi Teologi dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya; Alumnus pesantren Nasy'atul Muta'allimin Gapura
Sumenep
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Juni 2016
PENDIDIKAN merupakan kunci ketercerahan hidup.
Itu bukan sekadar sebagai konstruksi dalam membangun kehidupan materi,
melainkan juga jiwa. Dunia pendidikan selama ini sibuk mengurusi persoalan
materi. Peserta didik seperti proyek yang secara besar-besaran digarap
menjadi pekerja dan pengabdi kepada materi. Lihat saja, betapa kehadiran
dunia pendidikan terus mengultuskan angka-angka nilai dan kesuksesan materi.
Keterdidikan semata hanya diukur dari pencapaian nilai angka.
Kesuksesan
hanya diukur dari pekerjaan dan uang yang dihasilkan. Pendidikan seperti
hilang dari khitahnya sebagai dasar dari kehidupan sejati sehingga tidak
mengherankan bila banyak orang yang pandai dan cerdas, tetapi tidak mampu
membangun kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.
Pendidikan kini telah menjadi komoditas yang
diperjualbelikan sekolah ataupun kampus. Lembaga pendidikan bukan lagi tempat
pencerahan hidup, melainkan berubah menjadi tempat produksi robot-robot yang
siap bekerja dengan paket pembelajaran yang ada di dalamnya. Mestinya,
seperti dasarnya, pendidikan menjadi upaya pengembangan potensi-potensi
manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun
karsa, sehingga potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam tindakan
riil. Pemaknaan berfungsi riil tidak saja seperti yang selama ini salah
dipahami banyak orang bahwa belajar di sekolah menjadi tempat menyiapkan diri
mencari pekerjaan sehingga mendapatkan pekerjaan diselaraskan dengan fungsi
riil dari keterdidikan.
Keterdidikan ialah bahasa universal dari
kehadiran pendidikan. Menjadi orang terdidik yang mendapatkan pekerjaan hanya
sebagian kecil makna dari kehadiran pendidikan. Lebih jauh dari itu,
pendidikan seperti lumrah dibahasakan banyak orang merupakan upaya
memanusiakan manusia.
Dasar pendidikan ialah cita-cita kemanusiaan universal.
Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan dan kesatuan
organis, harmonis, dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Karena
itu, pengingkaran terhadap nilai moralitas yang dilakukan orang yang
pintar--untuk tidak mengatakannya terdidik--merupakan penistaan terhadap
khitah pendidikan. Mestinya tidak ada lagi perbuatan koruptif, diskriminatif,
dan berbagai tindakan destruktif bila penghayatan tentang keterdidikan tidak
hanya dimaknai sebagai pencapaian pekerjaan dan materi.
Tarbiyah al-Iradah
Dalam hidup, sejatinya ada satu hal yang harus
dikendalikan, yaitu keinginan (al-iradah)
karena yang mendasari semua tindakan manu sia adalah keinginan. Pendidikan
sebagai dasar dari cita-cita universal kemanusiaan sebenarnya jika dimaknai
secara konkret merupakan jalan yang hendak melahirkan ketercerahan manusia
dalam menjalankan keinginan atau kehendak. Pendidikan formal selama ini
dinilai kurang sukses dalam menjalankan pendidikan keinginan (tarbiyah al-iradah), yang ditandai
dengan banyak orang bergelar sarjana, master, doktor, hingga profesor, tetapi
tindakan mereka tidak bisa menghadirkan keadaban hidup.
Mereka malah terlibat
korupsi, diskriminasi, pemerkosaan, dan lain sebagainya, yang itu
menggambarkan kekerdilan diri sebagai manusia yang tidak bisa mengendalikan
keinginannya.
Puasa yang kini dijalankan umat Islam seluruh
dunia dapat menjadi refleksi bersama dalam menyikapi persoalan ini. Dalam
pandangan Rasyid Ridha, puasa memiliki korelasi yang sangat nyata dengan pendidikan
keinginan.
Sebagai fitrah manusia, keinginan ternyata tidak selalu
konstruktif, tetapi juga destruktif. Karena itu, keinginan harus bisa
dikendalikan. Puasa menjadi sarana pendidikan agar manusia selalu mengarahkan
keinginannya pada jalan kebenaran dan menahan diri dari keinginan yang
destruktif. Puasa menjadi jalan spiritual yang mendidik sifat rubbubiyyah (ketuhanan) kepada manusia
agar dapat meniru sifat-sifat baik Tuhan seperti digambarkan dalam
namanamanya yang agung, misalnya berbuat kasih, sayang, adil, sabar, pemaaf,
dan perbuatan konstruktif lainnya.
Manusia melalui puasa diajak melampaui
banalitas kehidupan yang cenderung destruktif menjadi konstruktif. Puasa
menjadi laku spiritual pengendalian diri (selfcontrol)
terhadap setiap keinginan dan pilihan hidup manusia.
Ahli tafsir Indonesia, Quraish Shihab, secara
gamblang memberikan penjelasan tentang hakikat hidup manusia. Potensi
kehendak (keinginan) positif dan negatif yang diberikan Tuhan kepada manusia
sebenarnya merupakan seruan keseimbangan hidup. Potensi tersebut dengan
sendirinya menjadi pendidikan bagi manusia agar bisa mengendalikan
keinginannya sehingga dalam konteks ini, puasa sangat relevan sebagai
penyeimbang agar manusia tidak berbuat destruktif. Puasa mengarahkan manusia menjadi
pribadi yang seimbang, seperti cita-cita pendidikan guna menyiapkan pribadi
manusia dalam keseimbangan dan kesatuan organis, harmonis, dan dinamis guna
mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Kerangka pedagogis
Pendidikan formal
secara nyata belum bisa secara maksimal melakukan
hal ini. Selama ini
pembelajaran di kelas lebih banyak fokus pada legal-formal pengetahuan dan mengambaikan
makna universal dan substantif dari materi yang disampaikan. Puasa hanya
bagian dari realitas hidup yang memiliki makna universal dari keterdidikan.
Realitas lain masih sangat banyak yang bisa kita maknai sebagai proses
belajar guna menjadi orang terdidik yang sesungguhnya. Orang terdidik ialah mereka
yang kehadirannya bisa menenteramkan, menyejahterakan, dan meningkatkan kualitas
hidup lingkungannya karena orang terdidik hidupnya sudah lepas dari nafsu
destruktif, seperti keinginan menumpuk materi yang banyak
dengan mengabaikan
moralitas. Mereka hidup dalam keseimbangan
harmonis guna mencapai
kehidupan bersama yang terus baik, lebih baik,
dan sangat baik.
Pendidikan iradah
model ini sebenarnya dapat menjadi acuan pembelajaran di kelas sekaligus
meneguhkan pemahaman kepada peserta didik tentang potensi setiap pribadi
untuk bertindak konstruktif atau sebaliknya destruktif. Para pendidik bisa
memberikan pemaknaan subtantif tentang puasa sebagai model pendidikan
universal tentang kehendak dalam diri manusia. Puasa sebagai ibadah menahan
diri dari segala bentuk keinginan manusiawi, seperti makan dan seks, lebih
jauh harus diteguhkan menjadi pendidikan universal pengendali diri agar
setiap orang yang berpuasa dapat mengendalikan keinginan-keinginan manusiawi,
yang sebagian kadang tak membuat orang lain merasa nyaman.
Peserta didik akan dapat memahami dan
menangkap secara utuh makna kehadiran puasa jika yang dijelaskan para
pendidik tak hanya sekadar landasan fikih yang kering makna. Kurangnya
penghayatan makna terhadap puasa sebagai proses internalisasi nilai-nilai
konstruktif untuk menjadi pribadi ideal sebenarnya tak lepas dari model
pembelajaran yang selama ini banyak fokus pada legal-formal pengetahuan,
sedangkan substansi dari penghayatan puasa, misalnya, tak banyak diuraikan.
Sesuatu yang justru menjadi muara pengharapan Tuhan supaya manusia menjadi
orang-orang yang bertakwa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar