Menakar Implikasi Brexit
Sunarsip ;
Chief Economist PT Bank
Bukopin, Tbk
|
KORAN SINDO, 30 Juni
2016
Pada 23 Juni lalu
rakyat Inggris (Britain) sudah memutuskan akan keluar (exit) atau yang dikenal Brexit dari Uni Eropa (UE). Keputusan keluar
dari UE ini mengejutkan karena sebelumnya diprediksi Inggris akan tetap (remain) di UE.
Kemenangan Brexit ini
akhirnya menimbulkan ketidakpastian terkait masa depan Inggris dan UE. Tidak
hanya itu, implikasi Brexit ini juga akan dirasakan oleh negara lain yang
memiliki hubungan Inggris dan UE, termasuk Indonesia. Pertanyaannya, sejauh
mana implikasi Brexit ini bagi Indonesia? UE merupakan kesatuan politik dan
ekonomi yang beranggotakan 28 negara di Eropa.
Pembentukan UE telah
diinisiasi sejak 1958 melalui Perjanjian Roma (Treaty of Rome) dan secara
resmi UE efektif ketika Perjanjian Maastricht (Treaty of Maastricht) disepakati 7 Februari 1992 dan efektif
berlaku pada 1 Januari 1993. Kini UE telah berkembang menjadi pasar tunggal.
Kebijakan UE adalah menjamin pergerakan orang, barang, jasa, dan modal secara
bebas (free market) di UE.
UE juga membentuk
kesatuan moneter pada 1999 dengan memberlakukan mata uang euro. UE juga
membentuk bank sentral Eropa dan sejumlah perangkat sistem supranational lain.
Keluarnya Inggris dari UE ini menjadikan Inggris tidak lagi memiliki
kewajiban untuk mengikuti sistem hukum yang berlaku di UE.
Inggris akan
memberlakukan aturan hukum sendiri dan sistem ekonomi sendiri. Namun, saya
memiliki keyakinan bahwa Inggris tidak akan melakukan perubahan yang drastis
dan ekstrem terhadap ketentuan hukumnya yang sudah diterapkan saat masih
bersama UE. Kenapa demikian? Inggris merupakan pusat keuangan terbesar di
Eropa dan salah satu yang terbesar di dunia.
Posisi ini diperoleh
Inggris berkat kebijakannya yang mempermudah arus orang, barang, jasa, dan
modal keluar-masuk Inggris. Sehingga, bila Inggris mengambil sikap menjadi
lebih tertutup, perekonomian Inggris diperkirakan akan merugi. Hanya,
keluarnya Inggris dari UE ini memang berpotensi akan merugikan negara UE
lain. Ini mengingat selama ini Inggris dapat dikatakan sebagai salah satu the
last lending resort penting bagi negara-negara UE lain yang membutuhkan
pinjaman keuangan.
Dengan keluarnya
Inggris dari UE, sumber pendanaan bagi UE menjadi berkurang. Bank sentral
Eropa akan kehilangan salah satu pemodal terbesarnya. Hal inilah yang lantas
menimbulkan kekhawatiran terkait prospek pemulihan ekonomi di sejumlah negara
UE yang kini masih berkutat dengan krisis ekonomi seperti Yunani, Portugal,
dan Spanyol.
Bila pemulihan ekonomi
di UE berjalan lambat, tentu akan memukul pertumbuhan ekonomi dunia. Bagi
Indonesia, implikasi Brexit ini dapat melalui jalur perdagangan dan jalur
keuangan. Dari jalur perdagangan, dampak Brexit bagi kita secara langsung (first round) sebenarnya relatif kecil.
Ini mengingat ekspor kita ke Inggris hanya sekitar 1% dari total ekspor kita.
Meski demikian, dampak
lanjutan (second round) dari
terganggunya hubungan perdagangan Inggris-Eropa perlu dicermati mengingat
pangsa ekspor Indonesia ke Eropa (di luar Inggris) mencapai 9,85% (2015).
Sebagian besar ekspor Indonesia ke Eropa adalah bahan baku dan mentah.
Kita juga perlu
mencermati dampak lanjutan berupa terganggunya ekspor kita ke negara-negara
lain yang memiliki hubungan dagang dengan Inggris dan UE. Terganggunya
hubungan perdagangan Inggris-Eropa dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi UE,
Inggris, dan dunia terhambat.
Di Asia, Vietnam dan
India merupakan negara yang memiliki pangsa ekspor ke Inggris cukup besar
masing-masing sekitar 3,6% dan 3,3% dari total ekspornya. Bila ekspor India
dan Vietnam ke Inggris (dan ke UE) terganggu, hal ini berpotensi memengaruhi
kinerja ekonomi India dan Vietnam. Padahal, India dan Vietnam saat ini
menjadi salah satu ”penolong” Asia di tengah perlambatan ekonomi Asia akibat
melambatnya ekonomi China. Tahun ini India diperkirakan tumbuh sekitar 7,5%
tertinggi di Asia.
Vietnam diperkirakan
tumbuh sekitar 7%. Bila ekspor dua negara ini terganggu, pertumbuhan
ekonominya juga berpotensi terhambat. Kondisi ini dapat menyebabkan dampak
lanjutan berupa berkurangnya impor India dan Vietnam yang berasal dari negara
Asia lain sehingga ekspor Indonesia ke dua negara ini juga berpotensi
terganggu.
China sendiri memiliki
pangsa ekspor ke Inggris cukup besar, sekitar 2,6% dari total ekspornya.
Sehingga, ekspor China pun berpotensi terganggu oleh Brexit ini. Akibat itu,
laju pertumbuhan ekonomi China pun berpotensi terhambat. Terhambatnya
pertumbuhan ekonomi China dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara Asia
lain, termasuk Indonesia.
Implikasi lebih besar
dari Brexit sebenarnya berasal dari sektor keuangan, khususnya terkait
pergerakan modal jangka pendek (portfolio
investment) atau hot money. Ini
mengingat keterkaitan Brexit dengan sektor keuangan ini cukup signifikan.
Investasi portofolio Inggris ke emerging
market Asia berkisar 5-13%. Di Indonesia investor portofolio asal Inggris
memegang aset keuangan sekitar 7% dari total aset investasi portofolio di
Indonesia. Brexit telah direspons negatif oleh pelaku pasar keuangan.
Nilai tukar euro dan
poundsterling jatuh terhadap dolar Amerika (USD). Penguatan USD ini telah
menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah. Pascapengumuman Brexit, rupiah
langsung melemah menjadi Rp13.296 per USD (26 Juni) dari sebelumnya Rp13.265
per USD (23 Juni) dan kini melemah lagi menjadi Rp13.495 per USD (27 Juni).
Pelemahan terhadap rupiah inilah yang tidak kita inginkan.
Pelemahan rupiah dapat
mengganggu industri kita yang sedang berupaya pulih akibat kelesuan
permintaan di pasar global. Dalam jangka pendek, respons terhadap Brexit ini
dapat berpotensi menyebabkan capital
outflow dan mengganggu likuiditas sektor keuangan kita. Sementara dalam
jangka menengah dan panjang, Brexit sebenarnya dapat berdampak positif bagi
sektor keuangan kita.
Brexit dapat
menyebabkan investasi portofolio di UE dan Inggris kurang menarik.
Selanjutnya para pemilik modal ini akan menaruh dananya ke emerging markets,
termasuk ke Indonesia. Namun, peluang positif menengah dan panjang ini dapat
tidak diraih apabila kita tidak mampu mengendalikan efek negatif jangka
pendek berupa pelemahan rupiah di atas.
Kesimpulannya,
implikasi Brexit bagi Indonesia sebenarnya terbatas, baik di pasar keuangan
maupun kegiatan perdagangan dan investasi. Kuncinya adalah terletak pada
kemampuan otoritas kita dalam mengendalikan dampak jangka pendek yang berasal
dari sektor keuangan. Bukan tidak mungkin, bila kita mampu melewati fase
jangka pendek ini, Brexit justru berpotensi berdampak positif bagi sektor
keuangan kita dengan masuknya investasi limpahan dari UE dan Inggris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar