Relawan Politik
Ahmad Suaedy ;
Wakil Ketua Lakpesdam PBNU;
Anggota Ombudsman RI
|
KOMPAS, 04 Juli 2016
Lima hari
berturut-turut, 16-20 Mei 2016, Kompas menurunkan laporan tentang fenomena
relawan dan kerelawanan dari berbagai aspek. Mulai dari relawan kemanusiaan,
relawan perjuangan sebagaimana terjadi pada masa kemerdekaan, relawan
pemberdayaan masyarakat, hingga relawan politik.
Bangkitnya kerelawanan
dalam banyak aspek itu kini dianggap sebagai harapan bagi kebangkitan dan
tingginya partisipasi bangsa Indonesia untuk menyongsong masa depan yang
lebih baik. Namun, tulisan ini hanya akan fokus pada relawan politik atau
gerakan sosial partisan (GSP).
Relawan politik
tampaknya memiliki sejarah sendiri. Pada masa kemerdekaan, relawan politik
adalah ketika seseorang ikut dalam suatu perjuangan kemerdekaan. Sementara
pada perubahan-perubahan berikutnya, relawan politik lebih diartikan sebagai
mereka yang ikut secara sukarela dalam suatu perubahan drastis politik dan
penggulingan rezim otoriter seperti 1966 dan 1998. Pengertian itu disebabkan
konteks ketika peristiwa itu terjadi, yaitu pemerintahan yang otoritarian.
Tanpa ada penggulingan atau penggantian rezim secara total, perubahan akan
sulit dilakukan.
Di era demokrasi
sekarang ini, relawan politik memiliki arti berbeda. Bukan pergantian rezim
dalam arti sistem, melainkan lebih pada agenda perubahan dan aktor yang
diharapkan mampu membawa perubahan tersebut melalui proses normal demokrasi.
Pengertian ini setidaknya diambil dari bangkitnya gerakan relawan politik
pada relawan Jokowi-Ahok pada Pilkada Jakarta 2012 dan relawan Jokowi-JK pada
Pilpres 2014. Penulis sendiri melakukan riset pada dua event itu dan
menyebutnya sebagai gerakan sosial partisan (Kompas, 25/5/2016). Setelah dua momen itu, sejauh ini hanya
relawan Teman Ahok yang muncul menjelang Pilkada Jakarta 2017.
Dalam riset penulis,
fenomena GSP di dua peristiwa, Pilkada Jakarta 2012 dan Pilpres 2014, adalah
relawan yang membawa agenda atau aspirasi publik untuk perbaikan kualitas demokrasi
dan pelayanan publik dengan segala dimensinya: lebih transparan, akuntabel,
anti korupsi, dan perbaikan pelayanan publik. Dengan mengacu pada agenda
itulah, kemudian relawan mencari atau menemukan calon pemimpin yang memiliki
rekam jejak sesuai agenda tersebut dan tentu saja memiliki potensi elektoral
yang baik dan mumpuni secara politik. Pemimpin tersebut tidak selalu memiliki
hubungan langsung kepemimpinan dengan kelompok relawan itu sendiri.
Tidak berhenti di
situ, langkah berikutnya, relawan kemudian "memaksa" partai yang
paling dekat dengan kecenderungan calon tersebut untuk mengusungnya sesuai
persyaratan UU Pemilu dan UU Pilkada. Relawan Teman Ahok tampaknya berjalan
lebih jauh dengan meninggalkan negosiasi dengan partai politik secara cukup untuk
bertindak memenuhi persyaratan calon independen sehingga ditafsirkan oleh
sejumlah kalangan sebagai anti partai politik dan merusak tatanan demokrasi
multipartai. Lebih dari itu, kini relawan Teman Ahok juga dipersoalkan
eksistensinya, apakah ia kelanjutan fenomena kerelawanan di atas yang membawa
misi agenda perubahan atau hanya duplikasi dari kehidupan politik pada
umumnya yang dinastik dan oligarkis.
Relawan politik atau
GSP jelas berbeda dengan tim sukses dalam berbagai pemilu atau pilkada, baik
untuk seorang calon maupun parpol. Tim sukses biasanya dibiayai oleh calon
atau partai atau donor tertentu untuk meraih jabatan tertentu dan membawa
misi dari calon atau parpol tersebut, tidak peduli sesuai atau tidak dengan
aspirasi publik.
Adapun GSP lebih
mengedepankan agenda perubahan dan perbaikan, khususnya pelayanan publik,
anti korupsi, serta proses politik yang murah dengan menghindari "dagang
sapi" karena bertumpu pada kerelawanan. Dalam hal ini, tampakya, relawan
Teman Ahok kehilangan argumentasi tentang mengapa memilih Ahok sebagai calon,
sebaliknya lebih terfokus pada ketokohan Ahok itu sendiri dengan melupakan
agenda apa saja yang dicanangkannya.
Populisme?
Penulis berbeda
pendapat dengan sejumlah peneliti yang menyebut fenomena GSP sebagai populisme.
Sebaliknya, justru fenomena tersebut sebagai pertanda pemilih makin rasional
karena mereka tidak lagi bergantung pada latar belakang primordial, agama,
etnis, kelompok, dan bahkan sejarah keterlibatannya di dalam parpol. Proses
ini memberikan pendidikan politik kepada para pemilih dan juga parpol untuk
lebih berorientasi pada program atau harapan perubahan dari agenda yang
ditawarkan untuk keuntungan mereka sendiri.
Kunci dari
rasionalitas pemilih tersebut adalah kepercayaan, aspek penting yang sedang
hilang dari rakyat/pemilih terhadap para politisi ataupun partai politik.
Disebabkan adanya ketakpercayaan rakyat terhadap para politisi dan parpol,
mereka akhirnya lebih menghargai inisiatif para relawan politik atau GSP
ketimbang parpol. Namun, reaksi parpol tertentu terhadap munculnya relawan
Teman Ahok justru memperkuat ketakpercayaan itu sendiri. Hal itu disebabkan
parpol bukan mempersoalkan kelemahan Ahok dalam pelayanan publik dan anti
korupsi sebagai gubernur, melainkan lebih menonjolkan hal-hal yang
kontroversial yang menampakkan kepentingan elite ketimbang pelayanan publik
kepada rakyat banyak.
Pernyataan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa tak ada korupsi pada kasus Sumber Waras
merupakan pukulan telak bagi tuduhan-tuduhan kontroversial itu. Persaingan
dan perebutan, dan sebaliknya negosiasi dan kompromi, sebenarnya sesuatu yang
biasa dalam politik. Pengalaman dua peristiwa keterlibatan relawan politik di
atas memang memberi pengalaman pahit kepada parpol tertentu, yang memiliki
calon yang diusung bersama-sama dengan relawan, karena harus berbagi
kekuasaan dengan mereka di dalam kekuasaan dan birokrasi setelah kemenangan.
Ini belum termasuk independensi sang calon dari kepentingan-kepentingan,
khusus dari parpol pengusung.
GSP sendiri secara
ideal, juga dalam praktiknya, tidak hanya berhenti mengantarkan kandidatnya
untuk menduduki jabatan, melainkan ikut mengawal tercapainya agenda yang
telah dicanangkan. Fase berikutnya, setelah menang, adalah bertarung memberi
arah bagi perubahan di setiap bagian di dalam kekuasaan, birokrasi, dan
kebijakan politik. Termasuk di dalamnya pengisian posisi-posisi jabatan
tertentu yang menentukan arah kebijakan itu sendiri.
Masuknya para relawan
ke dalam berbagai jabatan pemerintahan dan politik sebagaimana terjadi pasca
Pilkada Jakarta 2012 ataupun Pilpres 2014 tidak selalu negatif sebagai semata
bagi-bagi jabatan, melainkan bagian dari misi agenda tersebut, sejauh mereka
menaati cara-cara dan prosedur yang berlaku secara sah dan sesuai kompetensi.
Bahkan, hal itu bisa menunjukkan adanya perbaikan rekrutmen politik dalam
jabatan-jabatan strategis tertentu dengan standar kompetensi dan rekam
jejaknya.
Oposisi
Namun, secara
kebetulan kedua pengalaman GSP itu berhasil memenangkan sang kandidat.
Pertanyaannya, bagaimana jika kalah? Dalam tradisi kepemimpinan populis,
kekalahan dalam pemilu tidak akan menyurutkan mereka untuk terus memobilisasi
massa pendukungnya guna merebut kekuasaan. Mereka juga akan terus mengganggu
kekuasaan yang sah dan mapan.
Karena belum pernah
terjadi, belum bisa diprediksi bagaimana jika calon yang diusung GSP itu
kalah. Namun, hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu karakter kepemimpinan
calon dan hubungan antara calon dan anggota GSP. Jokowi, misalnya, ketika
jadi calon gubernur Jakarta 2012 adalah wali kota Surakarta dan tidak
memiliki keterkaitan yang mendalam dan psikologis dengan rakyat Jakarta.
Karena itu, sangat mustahil jika Jokowi, juga Ahok, akan menjadi pemimpin
yang terus-menerus memobilisasi massa pendukungnya untuk mengganggu lawan
yang-seandainya-menang.
Hal yang sama bisa
dilihat pada Pilpres 2014. Seandainya pasangan Jokowi-JK kalah, hampir
mustahil menjadikan Jokowi akan terus-menerus memobilisasi pendukung dan
memainkan psikologi massa untuk merawat kesetiaan dan mengganggu penguasa
yang menang karena sejak awal memang tidak memiliki preferensi hal terebut.
Dengan kata lain, jika pun ada peluang oposisi dari fenomena GSP ini bukanlah
kepemimpinan oposisi populis, tetapi oposisi rasional.
Ada baiknya, GSP, jika
ada, termasuk relawan Teman Ahok-lepas dari harus tetap pada optimisme-harus
menyiapkan diri dengan skenario kedua jika kalah. Oposisi yang kuat,
rasional, serta berkesinambungan kini sama dibutuhkan dengan kekuasaan yang
transparan, akuntabel, dan anti korupsi.
Dalam tradisi
demokrasi yang mapan, di samping merupakan kontrol terhadap kekuasaan yang
sedang berjalan, sesungguhnya oposisi juga menyiapkan diri untuk berkuasa
sewaktu-waktu dapat memenangi pemilu, dengan struktur dan kompetensi personel
yang memadai. Dengan demikian, relawan politik atau GSP seyogianya tidak
hanya menyiapkan perubahan ketika menang, juga menyiapkan diri sebagai
oposisi yang berkelanjutan dan kompeten ketika kalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar