Parsel
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior
TEMPO
|
TEMPO.CO, 01 Juli
2016
Sebuah pesan WhatsApp saya terima kemarin
sore. Isinya singkat: "Terima kasih parselnya sudah diterima."
Pengirim pesan adalah kawan saya di kampung, Cak Dul panggilannya. Profesinya
tukang cukur, satu-satunya pencukur di kecamatan kami karena banyak orang
beralih cukur rambut di salon.
Cak Dul tergolong generasi ketiga warga muslim
yang tinggal di desa saya. Ayahnya seangkatan dengan saya, pernah menjadi
guru di SMA Muhammadiyah Singaraja, kini sudah tiada. Dan kakek Cak Dul
adalah warga legendaris di desa saya. Panggilannya Pak Sukri, penjual sate
ayam Madura. Keluarga Pak Sukri berbaur dengan warga kampung, ikut gotong
royong memperbaiki selokan, rajin begadang di tempat orang yang ada kematian.
Orang-orang desa menyebut mereka nyama selam. Nyama artinya warga, dan selam
merujuk pada agamanya, Islam. Yang kemudian menjadi unik dari istilah ini,
jika ada warga desa yang tidak makan daging babi, mereka disebut nyelam—seperti
selam. Misalnya, dalam suatu hajatan di kampung, selalu ada pemberitahuan,
bagi yang nyelam silakan ke tempat khusus yang telah disediakan, agar makanan
tidak bercampur. Saya tak pernah bertanya di mana Pak Sukri dikuburkan.
Mendiang ibu saya sangat dekat dengan keluarga
Pak Sukri. Menjelang Lebaran—biasa disebut galungan selam—ibu membawa ketupat
yang sudah dimasak ke rumah Pak Sukri. Kadang-kadang disertai seekor-dua
ekor ayam hidup dari hasil ternak rumahan. Kenapa ayam hidup? "Nanti dia
yang sembelih, kan doanya beda," ujar ibu saya, setelah saya terjemahkan
dari bahasa Bali. Adapun ketupat itu, kata ibu, konon ibu juga mengutip dari
Pak Sukri, "sudah umum dipakai semua orang Bali dan Jawa". Kata
Jawa di sini bukan saja merujuk pada "luar Bali", tapi juga
"yang bukan Hindu". Kata ibu lagi (barangkali juga mengutip dari
Pak Sukri), "ketupat itu tak beragama, bahannya sama, cara membuatnya
sama, memasaknya sama."
Belakangan anak Pak Sukri—saya lupa menyebut
tadi, namanya Zaenal Airifin—menambahkan, "Kalau ketupat dipotong saat
makan-makan Idul Fitri jadilah kupat Lebaran. Kalau dibawa ke pura, jadilah
kupat persembahan." Memang, kalau hari raya Galungan, keluarga Pak Sukri
pun membawa bingkisan ke rumah kami, lengkap dengan ketupat.
Tradisi saling mengantar bingkisan makanan di
antara warga berbeda agama ini menjadi hal yang biasa di kampung yang
berpenduduk campuran. Bahkan di kampung Islam Desa Pegayaman (Bali Utara) dan
di kampung Islam Desa Kepaon (Bali Selatan), tradisi ini diwariskan turun-temurun.
Masyarakat menyebut dengan istilah ngejot—saling berbagi.
Sepeninggal Pak Sukri dan ibu saya,
keharmonisan hubungan berlanjut, diteruskan adik-adik saya dan anak Pak
Sukri. Yang berbeda, sudah mulai masuk "jajanan toko" dan malah itu
yang dominan, dibungkus kardus. Nah, pada generasi ketiga Cak Dul—saya tak
paham kenapa memilih jadi tukang cukur di desa—bingkisan kue dan minuman
kaleng ini oleh anak saya dikemas rapi memakai kertas kado yang sudah umum di
desa. Jadilah seperti parsel.
"KPK melarang pejabat menerima parsel.
Untung kita bukan pejabat," begitu pesan Cak Dul lagi lewat WhatsApp.
Saya maklum, parsel di kalangan pejabat dan para pengusaha sudah disusupi
pamrih, ada godaan, mungkin juga keterpaksaan. Beda dengan bingkisan dalam
tradisi ngejot, muncul dari hati untuk menjaga silaturahmi, perekat yang
membuat guyub berbilang tahun. Saya tak membalas pesan Cak Dul soal parsel,
saya hanya menulis: selamat menyongsong Idul Fitri, maaf lahir batin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar