MOS, Momentum Menumbuhkan Sikap Positif Siswa
Nurul Lathiffah ;
Peminat Kajian Psikologi Pendidikan
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Juli 2016
MENJELANG bergulirnya tahun ajaran baru
2016/2017, dunia pendidikan mendapat angin segar dengan terbitnya regulasi
baru mengenai masa orientasi siswa (MOS). Jika sejak dulu MOS identik dengan
perpeloncoan yang mengandung muatan bullying,
kekerasan fisik, ancaman, hukuman (punishment),
dan hal tak nyaman lainnya, kini pengenalan terhadap sekolah baru harus
dilaksanakan secara humanis. Kabar baik ini memberikan kelegaan bagi siswa,
guru, dan para orangtua. Sebab, orientasi siswa yang mengeliminasi rasa takut
siswa akan memberikan rasa aman. Bahkan, kebijakan ini dapat menutup buku
catatan merah atas sederetan siswa baru yang menjadi korban dari `keganasan'
MOS yang dilakukan senior atau orang lain di sekolah.
Harus diakui bahwa banyak siswa merasa
keberatan dengan MOS konvensional yang padat dengan sejumlah tugas berat.
Siswa baru yang semestinya beradaptasi dengan lingkungan belajar baru dan
menemukan motivasi untuk melejitkan prestasi justru mendapat kesibukan yang
pelik. Di antara penugasan klasik MOS yang (sejak dulu) penting untuk
dihapus, misalnya, mengumpulkan ratusan merica dan mencari bahan-bahan yang
`langka'. Jika siswa tak berhasil menemukannya, hukuman pun siap menanti. Di
sisi lain, para senior juga seolah menjadi sosok otoriter.
Sayangnya, kultur negatif saat MOS seolah
dimafhumi. Terkecuali siswa baru, banyak pihak abai terhadap MOS yang
`menyiksa'. Konsekuensi logisnya, suburlah budaya MOS yang sarat dengan
kekerasan, baik verbal, fisik, ataupun mental. Padahal, dampak MOS yang penuh
nuansa kecemasan sangat signifikan. Dalam jangka pendek, siswa baru akan
mendapat hambatan penyesuaian diri dan mengalami perasaan bersalah.
Hal ini
wajar sebab filosofi MOS yang banyak dianut sekolah ialah `menempa mental'.
Sayangnya, penempaan mental dimaknai dengan sangat sempit, yakni dengan
tindakan memarahi, menghukum, dan menyalahkan.
Dalam perspektif psikologi, sikap memarahi,
menghukum, dan menyalahkan dapat menjadi sumber petaka bagi orang lain.
Seseorang yang dihukum, dimarahi, dan disalahkan akan rentan memiliki
perasaan bersalah yang luar biasa. Bahkan, kemarahan yang secara repetitif
dapat menurunkan kepercayaan diri dan motivasi. Kemarahan akan menimbulkan
luka. Kenyataan ini semakin menegaskan bahwa energi negatif pada MOS yang
konvensional harus diubah menjadi energi positif. Alih-alih memberikan rasa
sakit kepada siswa baru, MOS idealnya dapat menjadi penyembuh. Penyembuh bagi
siswa atas derita emosi, mental, dan perilaku.
Poin pentingnya ialah tidak semua siswa masuk
ke sekolah baru dalam keadaan baik-baik saja. Bisa saja, mereka anak yang
lahir dari keluarga bermasalah dan tak memiliki gairah menuntut ilmu, kecuali
demi formalitas belaka. Jika guru dan pengambil kebijakan di sekolah abai
terhadap kondisi awal siswa baru, jangan heran jika di kemudian hari mereka
menjadi sumber masalah di sekolah. Sebab, anak-anak dengan permasalahan
intrapersonal yang tak selesai cenderung mela hirkan hubungan interpersonal
yang buruk dengan orang lain. Pada titik inilah, MOS semestinya
diselenggarakan dalam kerangka pengenalan dalam arti yang sebenarnya.
Dalam kegiatan orientasi siswa, pendekatan
dari hati ke hati sangat diperlukan. Guru diharapkan memiliki kepekaan dan
mampu menjalin kedekatan dengan siswa baru sehingga ketika dalam masa
orientasi siswa ada beberapa anak didik yang belum bisa mengikuti peraturan
dan ritme kegiatan, guru mesti lebih awas.
Di masa orientasi, guru perlu memanfaatkan
waktu sebaik mungkin untuk melakukan pendekatan terhadap siswa,
memperkenalkan kultur belajar, dan yang paling penting menyuntikkan semangat
baru. Sekolah baru semestinya dapat menghadirkan iklim belajar yang lebih
positif. MOS harus diubah, dari gaya konvensional menuju profesional. Sejak
awal, guru perlu membangun nuansa kenyamanan. Dengan demikian, hambatan
psikologis siswa dalam beradaptasi dengan orang-orang baru, lingkungan baru,
dan budaya belajar dapat berjalan dengan optimal.
Ibarat membuka lembaran baru, para guru mesti
mempersiapkan diri untuk menyambut siswa. Terlebih dahulu, guru perlu
membangun kesiapan mental. Mereka harus meyakini akan kemampuan dalam
mengajar dan mendidik siswa dengan baik. Di sisi lain, siswa juga perlu
membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman baru tanpa dihantui rasa takut.
Dalam mengenali siswa, ada baiknya guru juga memetakan potensi siswa.
Tantangan selanjutnya ialah mampukah guru
bersikap apresiatif atas prestasi siswa? Di sisi lain, bukan hal yang mudah
mendeteksi potensi siswa dengan prestasi yang belum tampak. Upaya ini
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sepanjang rentang waktu belajar, guru
perlu cermat memperhatikan siswa. Meski demikian, satu hal yang harus diingat
ialah setiap anak memiliki perbedaan individual yang unik sehingga guru tidak
perlu membandingkan siswa satu dengan siswa lainnya. Kepercayaan dari
pendidik bahwa semua siswa memiliki potensi dan dapat berprestasi dengan cara
masing-masing merupakan starting point
yang ideal untuk memulai tahun ajaran baru.
Tidak hanya kepada siswa, alangkah baiknya
jika masa orientasi juga diikuti dengan pengenalan orangtua terhadap sekolah,
guru, dan kultur belajar. Hal ini penting, sebab hubungan yang harmonis
antara guru dan orangtua akan berdampak pada pengajaranpengasuhan yang
seirama. Keberhasilan guru dalam menjalin kedekatan dengan siswa (sekaligus
orangtua) di masa-masa awal tahun ajaran sangatlah penting. Sebab, suatu
ketika jika anak mengalami permasalahan perilaku, keluarga menjadi partner
bagi sekolah untuk mendukung penyelesaian masalah.
Betapa banyak kasus kenakalan siswa yang tak
terpecahkan karena kegagalan komunikasi. Alhasil, siswa yang dinilai nakal
pun semakin tidak menyadari kesalahannya, bahkan semakin berada dalam taraf
keparahan yang serius. Padahal, penanganan terha dap anak-anak bermasalah
hanya akan efektif jika sekolah akrab menjalin kerja sama dengan orangtua.
Sekolah sangat perlu membangun kedekatan dengan siswa, sebagaimana orangtua
menjalin kedekatan dengan anak kandungnya. Sebab, transformasi nilai-nilai
kebajikan hanya akan efektif apabila dilakukan figur otoritas. Nah, dalam
masa orientasi siswa, sekolah harus berhasil membangun diri sebagai figur
otoritas bagi para siswa.
Kegagalan sekolah dalam mengenali siswa akan
berdampak buruk pada proses belajar dan mengajar. Tidak sedikit guru yang
ingin menyampaikan maksud baik justru ditanggapi negatif oleh siswa, demikian
pula sebaliknya. Dalam jangka panjang, situasi itu dapat menyuburkan benih
kebencian sehingga menyakitkan hubungan guru dengan siswa. Dunia pendidikan
tak hanya memerlukan guru yang cerdas saja, tapi juga yang mau dan mampu
memahami karakter siswa. Pemahaman yang baik terhadap karakter siswa dapat
membimbing guru untuk dapat mengajar dan membimbing setiap siswa dengan
metode yang paling tepat.
Pada muaranya, MOS harus menjadi momentum
untuk memulai hubungan yang harmonis antara siswa baru, kakak kelas, guru,
dan lingkungan sekolah. Sebab, tugas kependidikan yang diemban guru dan siswa
tidaklah mudah. Tugas kependidikan untuk mencerdaskan siswa dan membentuk
karakter positif hanya akan berhasil jika guru dan siswa mampu mengenal dan
menjalin hubungan yang produktif. Untuk menuju hal itu, aktivitas MOS yang
tak berkaitan dengan tujuan utama harus ditiadakan, diganti dengan kegiatan
positif yang memupuk motivasi belajar, berprestasi, dan bersikap secara
positif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar