Memperkuat Kompolnas
Farouk Muhammad ;
Wakil Ketua DPD; Guru Besar
PTIK
|
MEDIA INDONESIA,
30 Juni 2016
KOMISI Kepolisian
Nasional merupakan lembaga kepolisian nasional yang dibentuk berdasarkan
amanat UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU
Polri) dan bertanggung jawab kepada presiden. Tugas Kompolnas ada dua, yaitu
membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan memberikan
pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri
(Vide: Pasal 37 dan Pasal 38).
Dewasa ini peran
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) diusulkan semakin signifikan dalam
upaya mewujudkan Polri yang lebih independen dan profesional dalam seluruh
kebijakan dan kinerjanya. Penulis termasuk yang mengusulkan agar dilakukan
reposisi dan rekonstruksi kewenangan Kompolnas agar semakin bertaji untuk
kepentingan Polri tersebut.
Gagasan itu ialah
pentingnya memberikan kewenangan Kompolnas untuk mengangkat dan
memberhentikan Kapolri, serta kewenangan menyusun kebijakan Polri yang akan
dilaksanakan oleh Kapolri beserta seluruh jajarannya.
Capaian penting
reformasi Polri sebagaimana amanat Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 adalah pemisahan
Polri-TNI yang sebelumnya tergabung dalam ABRI. Polri diletakkan sebagai alat
negara untuk memelihara keamanan (dan ketertiban masyarakat), sedangkan TNI
sebagai alat negara dalam melaksanakan pertahanan negara.
Polri dan peran Kompolnas
Secara konstitusional,
Perubahan UUD 1945 mengatur kedudukan Polri pada Bab XII tentang Pertahanan
dan Keamanan Negara Pasal 30 Ayat (4): "Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan
hukum." Amanat UUD tersebut selanjutnya ditegaskan kembali dalam UU
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Vide: Pasal
5 Ayat (1)).
UU Polri meletakkan
kedudukan Polri di bawah presiden. Polri bertanggung jawab kepada presiden
sesuai perundang-undangan yang berlaku (Pasal 8 UU Polri) dengan kedudukan
Kompolnas sebagai pemberi pertimbangan bagi presiden dalam menetapkan arah
kebijakan Polri dan rekomendasi calon Kapolri sebelum mendapat persetujuan
DPR. Di lain pihak, UU memberikan kewenangan kepada Kapolri mulai dari
pembuatan kebijakan (penggunaan sumber daya dan teknis operasional),
perencanaan strategis serta pengawasan sampai evaluasi pelaksanaan tugas dan
program.
Karena itu, peranan
Kapolri sangat dominan dalam menentukan hitam putihnya Polri. Sejalan dengan
itu Kapolri juga berada di bawah bayang-bayang politik, baik dari presiden
yang mengangkatnya maupun DPR yang menyetuji pengangkatannya.
Sebagai catatan,
sebenarnya ketika Polri menyiapkan RUU Polri menindaklanjuti TAP MPR No VII
Tahun 2000, itu telah mengemuka dua versi RUU. Pertama, versi perubahan yang
reformis dan fundamental. Kedua, versi yang relatif status quo kecuali
mempertegas posisi Polri yang bukan lagi bagian integral dari ABRI saat itu.
Namun, usulan tersebut
hanya didukung sebagian kecil anggota panitia kerja. Alhasil UU Polri yang
saat ini berlaku, dalam pandangan penulis, memang mengandung problematik
terutama terkait kedudukan Polri dan peran/kedudukan Kompolnas. Problematik
UU Polri tersebut yang kemudian secara analitis dapat menjelaskan
permasalahan di seputar lemahnya profesionalisme Polri termasuk kerawanan kepolisian
dari intervensi dan intensi politik.
Penulis mengajukan
usul gagasan memperkuat Kompolnas dalam dua area, yaitu kewenangan mengangkat
dan memberhentikan Kapolri serta kewenangan membuat dan menetapkan arah
kebijakan Polri untuk dilaksanakan oleh Kapolri beserta jajarannya. Rekonstruksi
kewenangan Kompolnas ini menjadi solusi yang baik dalam perspektif; 1)
menghindarkan Polri dari (bias) tarikan kepentingan politik termasuk
kepentingan institusi, 2) mewujudkan good
governance dalam desain perencanaan kebijakan Polri.
UU meletakkan
kedudukan Polri di bawah presiden. Panitia adhoc I pada amendemen kedua UUD
1945 tahun 2000 meletakkan Polri di bawah presiden karena mengemban dua
amanat, yaitu sebagai pembina keamanan dan sebagai penegak hukum (investigasi).
Meski berkedudukan di
bawah presiden, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri ke depan mesti
dilakukan Kompolnas dan diajukan kepada presiden untuk secara administratif
ditetapkan dengan Keputusan presiden.
Bersifat independen
Selain mengangkat dan
memberhentikan Kapolri, komisi berwenang sebagai perumus kebijakan (policy making board) dan pengawas atas
pelaksanaan kebijakan yang dibuatnya (policy
control board). Di bidang operasional misalnya kebijakan penegakan hukum
(law enforcement policy); penahanan/penangguhan
penahanan yang dalam undang-undang sangat tidak terukur dan subjektif. Di
bidang pembinaan, misalnya, dalam pembinaan karier yang cenderung bias dan
tidak fair/objektif.
Kompolnas dengan
kewenangan yang diperkuat tersebut merupakan jawaban atas kebutuhan
pengawasan eksternal terlebih dalam kaitan menempatkan kepolisian dalam
konstruksi masyarakat sipil. Dapat dinalar, guna merumuskan aturan main yang
tidak bias kepentingan serta selaras dengan kaidah check and balances, aturan main itu semestinya disusun oleh
sebuah komisi yang beranggotakan orang-orang yang relatif lebih dapat
dipertanggungjawabkan objektivitas kerjanya.
Kepala Kepolisian,
kendati pada dasarnya dapat saja ditetapkan sebagai formulator guiding principles itu, berisiko memunculkan problem
akuntabilitas. Pemerintah dan kepala pemerintahan, yang tidak steril dari
kepentingan politik, jika hanya sepihak berperan sebagai perumus guiding principles juga dikhawatirkan
akan mengooptasi institusi kepolisian dengan menjadikannya sebagai alat
kekuasaan. Lembaga kepolisian adalah instrument
of law bukan instrument of policy (Muhammad, 2000). Apabila ini yang
terjadi, kepolisian yang pada hakikatnya juga berkedudukan sebagai formal social control agency tak pelak akan
terkebiri semata-mata menjadi state
agency.
Berkenaan dengan peran
dan kedudukan Kompolnas, di beberapa negara terdapat sejumlah model komisi
kepolisian yang dapat dipertimbangkan.
Seperti diuraikan
Muhammad (2000), di Inggris terdapat Police
Authority pada setiap provinsi (kecuali Metropolitan Police of London yang berada di bawah gubernur,
tetapi tetap independen). Swedia memadukan keanggotaan komisi dan pimpinan
kepolisian dalam wadah yang disebut National
Police Board.
Lebih spesifik,
negara-negara yang menggunakan istilah 'komisi' untuk lembaga kebijakan dan
pengawasan kepolisian nasional mereka ialah Filipina, Korea, dan Jepang. Filipina
membentuk National Police Commission
(Napolcom) yang diketuai oleh seorang menteri dan keanggotaannya diangkat
presiden. Wewenang komisi ini cukup luas, termasuk menjatuhkan tindakan
terhadap anggota kepolisian yang indisipliner. Di Korea terdapat Police
Commission yang keanggotaannya diangkat oleh presiden. Jepang punya National Public Safety Commission
(NPSC) yang dipimpin seorang menteri (bukan anggota) yang ditunjuk oleh
perdana menteri, dan beranggotakan lima orang yang ditunjuk oleh perdana
menteri atas persetujuan DPR.
Mengingat komisi ini
memiliki peran dan kedudukan yang strategis, persyaratan anggota komisi dan
proses seleksi harus benar-benar diperhatikan. Prasyarat mutlak bagi para
personelnya ialah tidak terkontaminasi politik kepentingan, antara lain;
anggota komisi dipilih dari/di antara tokoh-tokoh masyarakat ternama dan
dipercaya untuk melaksanakan tugas dan wewenang komisi, anggota Polri dan
purnawirawan Polri yang berakhir masa dinasnya kurang dari 5 (lima) tahun
tidak diperkenankan menjadi anggota komisi, pengurus dan aktivis parpol
termasuk mantan aktivitas parpol dalam 5 tahun terakhir juga tidak
diperkenankan menjadi anggota komisi.
Pemilihan anggota
komisi dilakukan oleh suatu panitia seleksi independen yang dibentuk oleh
pemerintah di antara calon yang diusulkan oleh DPR (sebagai pelaksanaan
fungsi representasi) dengan melalui proses yang transparan dan akuntabel, dan
secara proaktif melibatkan publik.
Komisi yang ditetapkan
oleh panitia seleksi disahkan pengangkatannya dengan keputusan presiden untuk
masa kerja 5 tahun, dan anggota komisi hanya dapat diangkat kembali untuk
masa kerja 5 tahun berikutnya.
Demikian elaborasi
gagasan untuk memperkuat Kompolnas yang semata-mata dimaksudkan untuk
menjamin indepensi dan profesionalitas Polri sebagai pelayan dan pelindung
masyarakat. ●
|
Halo, saya Dahlah
BalasHapusHalo dahlah, saya celupin
Hapus