Terkutuk
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi
Majalah TEMPO
|
TEMPO.CO, 04 Juli
2016
KITA terbiasa dengan gambaran ini, yang
agaknya datang dari benua lain: penyair, terusir dari Kallipolis, lusuh, bau,
kelayapan, insomniak, hidup tanpa jadwal, dan memproduksi hal-hal yang tak
jelas fungsinya: sajak-sajak. Ia jarang mendapat tempat dalam sebuah
struktur. Ia di luar. Kalaupun ia ingin, Kallipolis tak akan menerimanya
kembali. Dalam kota ideal yang diangankan Plato itu, penyair adalah elemen
yang hanya berperan buat memuja para pahlawan—dan kita tahu, itu tak akan
cocok, sebab pahlawan adalah tokoh yang membeku dalam dongeng wajib. Maka ada
benarnya, meskipun agak berlebihan, bila pada 1832 Alfred de Vigny menulis
bahwa penyair adalah "kaum yang akan selalu dikutuk mereka yang berkuasa
di atas bumi".
Waktu itu kota-kota Eropa, terutama Paris,
mulai bergerak dengan desain modern yang lugas dan teratur. Di sana puisi,
dengan sifatnya yang tak terduga-duga, makin terasing. Paul Verlaine menyusun
kumpulan puisi, Les Poètes maudits, yang terbit pada 1884: karya-karya
"penyair terkutuk". Yang tergabung dalam rombongan ini Verlaine
sendiri, juga Rimbaud dan Mallarmé—untuk menyebut yang paling dikenal di luar
Prancis. Di barisan depan: Baudelaire.
Baudelaire dijatuhi hukuman setelah ia
menerbitkan Les Fleurs du mal, 25 Juni 1857. Kumpulan puisi itu dianggap
menampar "moralitas masyarakat". Baudelaire tak dipenjara, namun
didenda dan enam sajak dalam Les Fleurs du mal harus dicabut.
Seperti berulang kali terjadi, sensor adalah
ketakaburan yang bodoh: mengutuk buku berarti membuatnya ramai dicari. Pada
umur 36 tahun, Baudelaire telah menghasilkan satu karya yang paling banyak
dibicarakan dan dikagumi—meskipun ia semula datang untuk mencerca dan
dicerca.
Ia anak muda pesolek dan pemboros, pelanggan
seorang pelacur botak yang buruk muka. Kata orang, dari sini ia terkena raja
singa yang pelan-pelan membunuhnya. Mungkin tak hanya sifilis. Ia penikmat
laudanum, candu yang dilarutkan dalam alkohol. Ia mengagumi Edgar Allan Poe,
penyair Amerika pemabuk yang menurut Baudelaire menggambarkan
"kegemilangan" opium, yang muram, hitam, tapi menggugah. Sang
penyair Les Fleurs du mal juga anggota tetap Club des Hashischins, sebuah
perhimpunan sastra di Paris yang bertujuan menjelajahi kreativitas manusia
saat kesadarannya berubah karena pengaruh hashish.
Tak mengherankan bila ia ingin ada jarak,
bahkan pertentangan, antara dirinya, juga puisinya, dan ukuran-ukuran akhlak
yang lazim. "Ibu tahu," tulisnya di sepucuk surat kepada ibunya
beberapa belas tahun sebelum ia meninggal di pangkuan perempuan belahan
jiwanya itu, "bahwa aku selalu menganggap sastra dan seni mengejar
tujuan yang tak tergantung kepada moralitas."
Sajak-sajaknya memang anti-pesan-moral. Ia menyentuh
dengan akrab seks, melankoli, kematian—dengan kata-kata yang menampar. Sajak
pembuka Les Fleurs du mal, "Au lecteur" (Kepada Pembaca),
menyamakan sang pembaca seperti dirinya: hipokrit. Bila manusia berani,
tulisnya, hidup yang datar seperti "kanvas yang banal" ini
seharusnya bisa dihiasi dengan "perkosaan, racun, pisau, dan api yang
membasmi". Sebab ada yang "lebih buruk, lebih jahat, lebih
jorok" ketimbang semua yang mengancam kehidupan, dan itu adalah
"Rasa Jemu", l'Ennui.
"Penyair terkutuk" yang memusuhi
rasa jemu itu pada gilirannya jadi posisi tersendiri dalam hubungan sastra
dengan masyarakat. Di mana-mana. Seandainya kumpulan Verlaine terbit di
pertengahan abad ke-20, dan meliputi sastra seluruh dunia, ia mungkin akan
memasukkan sajak Chairil Anwar, "binatang jalang/dari kumpulannya
terbuang".
Tapi apa artinya bagi "kumpulannya",
bagi masyarakatnya?
Baudelaire menyatakan karyanya tak mengejar
"tujuan yang tergantung kepada moralitas". Tapi itu tak berarti
sajak-sajaknya tak berangkat dari konteks moral tertentu. "Semua sajak,
semua benda seni, sepenuhnya menyarankan secara wajar dan kukuh satu
moral," tulisnya. Keindahan tak cuma "abadi". Ia juga terpaut
kepada keadaan yang merupakan gabungan "zaman, cara hidup, moral, dan
gairah hati". Dengan kata lain, dalam sesuatu yang indah, ada yang tak
tersentuh ruang dan waktu; tapi sesuatu yang indah harus hadir dalam
"sesuatu", dan "sesuatu" hanya terwujud dalam dunia
manusia di mana moral dan masyarakat saling membentuk.
Tapi ia tetap mandiri: tak bisa ditaklukkan
kutukan "mereka yang berkuasa di dunia". Juga tak bisa digunakan
melayani Negara, Partai, Modal, dan Pasar. Dalam posisi itu puisi justru
menggugat. Ia menjadikan dirinya tak berguna, dan dengan itu, seperti
dikatakan Adorno, ia melawan pemujaan kepada "guna"—sebuah pemujaan
yang lupa bahwa "guna" selalu ditentukan oleh imperialisme manusia
atas benda-benda.
Di tengah imperialisme itu, puisi terkutuk,
tapi ia menunjukkan sesuatu yang lain: ada yang berarti dalam benda-benda tak
berguna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar