Bahaya Inflasi Rendah
Agus Herta Sumarto ;
Peneliti INDEF
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Juni 2016
DALAM rentang waktu
satu tahun terakhir, perekonomian Indonesia seolah-olah telah masuk suatu
babak baru. Jika pada tahun-tahun sebelumnya perekonomian Indonesia digenjot
untuk mencapai pertumbuhan yang optimal dengan angka inflasi yang relatif
tinggi, dalam rentang waktu satu tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi
Indonesia melambat dengan tingkat inflasi yang relatif rendah. Dinamika
pertumbuhan ekonomi dan inflasi ini ibarat dua hal yang tidak bisa
dipisahkan, bahkan seolah-olah telah menjadi hukum kausalitas. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi maka akan mengakibatkan inflasi juga tinggi. Sebaliknya,
pertumbuhan ekonomi yang rendah maka akan menciptakan inflasi yang rendah
pula. Dengan adanya hukum kausalitas ekonomi antara pertumbuhan dan inflasi
ini, pola pembangunan ekonomi akan sangat dipengaruhi mazhab atau orientasi
pembangunan dari pemimpinnya.
Pada pemerintahan
SBY-Boediono, perekonomian diarahkan untuk mencapai titik pertumbuhan yang
paling optimal dengan tingkat inflasi yang relatif besar. Pemerintahan rezim
SBY-Boediono mencoba untuk menciptakan margin positif dari selisih antara
pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Rezim SBY-Boediono berharap bahwa
kesejahteraan yang ditimbulkan dari pertumbuhan ekonomi masih lebih besar
daripada tergerusnya kesejahteraan karena adanya inflasi.
Hal sebaliknya yang
terjadi pada pemerintahan Jokowi-JK. Pemerintahan rezim Jokowi-JK lebih
menitikberatkan pembangunan ekonomi pada pemerataan tingkat kesejahteraan.
Pada pola pembangunan yang seperti ini maka fokus utama pembangunannya ialah
pengendalian harga guna mempertahankan daya beli masyarakat. Dengan kata
lain, pola pembangunan sepeti ini akan cenderung mempertahankan tingkat
inflasi pada level yang rendah dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang
relatif rendah juga.
Hasil dari orientasi
pembangunan rezim Jokowi-JK ini terasa pada akhir 2015, yakni tingkat inflasi
tahunan mencapai titik terendahnya, yaitu 3,35%. Angka inflasi ini ialah
angka inflasi terendah sejak 2009. Namun sebagai konsekuensinya, pertumbuhan
ekonomi pada rezim pemerintahan Jokowi-JK juga menjadi pertumbuhan ekonomi
terendah sejak enam tahun terakhir. Pada akhir 2015, pertumbuhan ekonomi
Indonesia hanya tumbuh 4,79% padahal tahun-tahun sebelumnya selalu tumbuh di
atas 5%.
Inflasi yang rendah
memang bisa menjaga daya beli masyarakat, tetapi jika selisih antara
bertambahnya kesejahteraan karena pertumbuhan ekonomi lebih kecil dari
berkurangnya daya beli akibat inflasi, bisa dipastikan secara agregat tingkat
kesejahteraan masyarakat akan berkurang. Dengan kata lain, menjaga daya beli
masyarakat dengan menahan laju inflasi serendah mungkin menjadi hal yang
sia-sia. Lalu, bagaimana dengan fenomena rendahnya inflasi pada zaman
pemerintahan rezim Jokowi-JK saat ini?
Fenomena rendahnya
inflasi pada rezim pemerintahan Jokowi-JK terjadi ketika produktivitas
agregat ekonomi Indonesia sedang mengalami penurunan. Nilai ekspor yang
menjadi salah satu indikator produktivitas ekonomi nasional sejak 2012 sampai
dengan akhir 2015 terus mengalami penurunan. Bahkan, dalam rentang 2012–2014
Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan dan pembayaran yang
diakibatkan nilai ekspor yang lebih kecil dari pada nilai impor.
Pada 2015, Indonesia
berhasil menghilangkan defisit neraca perdagangan dan pembayaran tersebut.
Namun, hilangnya defisit tersebut bukan karena kenaikan nilai ekspor,
melainkan karena penurunan nilai impor yang sangat besar yang disebabkan
melemahnya perekonomian Indonesia secara signifikan. Arus impor pada 2015,
baik barang konsumsi maupun barang bahan baku produksi mengalami penurunan
yang sangat signifikan. Dengan kata lain, positifnya neraca pembayaran
Indonesia bukan disebabkan peningkatan produktivitas sehingga kondisi
tersebut tidak berdampak pada kenaikan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Paralel dengan kondisi
ekspor yang terus mengalami penurunan, kondisi ketahanan keuangan Indonesia
juga sangat rentan. Akibat ekspor yang rendah maka cadangan devisa Indonesia
juga mengalami stagnasi yang cukup parah. Indonesia mengalami stagnansi
cadangan devisa di kisaran angka US$100–US$115 miliar. Bahkan, akhir-akhir
ini Indonesia begitu kesulitan untuk menembus angka US$110 miliar. Dalam tiga
bulan terakhir ini cadangan devisa Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup
besar. Pada April 2016, cadangan devisa Indonesia sempat menembus angka
US$107,7 miliar, tapi pada bulan berikutnya langsung anjlok kembali menjadi
US$103,6 miliar karena adanya kewajiban pembayaran utang luar negeri.
Akibat dari rentannya
sistem keuangan Indonesia, sebagian besar perusahaan besar menunda ekspansi
usahanya. Bahkan, sebagiannya melakukan berbagai langkah efisiensi dengan
mengurangi tingkat produksinya. Akibatnya, banyak para pekerja formal yang
kehilangan pekerjaannya dan beralih ke sektor informal yang lebih rentan
terhadap guncangan ekonomi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
adanya penambahan sektor informal dari 57,76% pada Agustus 2015 menjadi
58,28% pada Februari 2016.
Sebagian pekerja yang
lari ke sektor informal ini masuk ke sektor pertanian yang produktivitasnya
sangat rendah. Menurut catatan BPS, pekerja informal di Sektor Pertanian
bertambah sekitar 540 ribu dari 37,75 juta menjadi 38,29 juta. Para pekerja
yang lari ke sektor pertanian ini disinyalir hanya akan menjadi tenaga kerja
musiman selama masa musim panen di awal tahun dan akan menjadi penganggur
ketika musim panen telah lewat.
Di samping
bertambahnya pekerja di sektor informal, menurut data BPS terjadi peningkatan
orang-orang yang masuk kategori pengangguran terselubung (setengah menganggur
dan paruh waktu). Pada Februari 2016, jumlah orang setengah menganggur dan
pekerja tidak penuh ini berjumlah 25,87 juta, atau naik 1,3 juta jika
dibandingkan dengan Agustus 2015. Kondisi ini menunjukkan bahwa telah terjadi
penurunan produktivitas para pekerja di Indonesia dan tentunya berdampak pada
menurunnya tingkat pendapatan mereka.
Efek positif dari
terjaganya inflasi jauh lebih rendah daripada efek positif dari pertumbuhan
ekonomi. Bahkan, bila berkaca pada kondisi makro ekonomi Indonesia saat ini,
rendahnya inflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir ini bukanlah hasil
dari skenario dan desain pembangunan yang terorganisasi. Rendahnya inflasi
saat ini menjadi indikasi kuat bahwa pemerintah mengalami kesulitan dalam
mengendalikan dan mengarahkan pembangunan perekonomian nasional. Oleh karena
itu, pemerintah sebaiknya berusaha mengembalikan tingkat inflasi pada tingkat
normalnya dengan terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar