Menggapai Status Layak Investasi
Abdul Hakim G Nusantara ;
Advokat, Arbiter; Pengamat
Hukum dan Ekonomi; Ketua Komnas HAM 2002-2007
|
KOMPAS, 01 Juli 2016
Pada 1 Juni 2016,
perusahaan pemeringkat kredit internasional S&P mengumumkan bahwa peringkat
utang Indonesia tetap dipertahankan di level BB+ untuk jangka panjang dan B
untuk jangka pendek.
BB+ bermakna
Pemerintah Indonesia sebagai debitur punya kemampuan cukup membayar utang,
sedangkan B berarti kewajiban membayar utang berisiko tinggi atau ada
kemungkinan gagal bayar. Penetapan peringkat oleh S&P tersebut didasarkan
pada temuan fakta kinerja fiskal belum membaik karena masalah struktural
ditunjukkan, antara lain kegagalan pemerintah mencapai target pendapatan
pajak pada tahun 2015, yaitu hanya 81,5 persen dari Rp 1.290 triliun.
Selain itu, defisit
anggaran diprediksi melebar rata-rata 3 persen dari produk domestik bruto
(PDB) sepanjang periode 2016- 2019. Dengan demikian, Indonesia gagal
memperoleh status layak investasi S&P, sebagaimana sangat diharapkan oleh
pemerintah Joko Widodo dan kalangan pelaku usaha yang berminat berinvestasi
di Indonesia.
Peringkat tinggi seperti AAA, AA+, A, dan A- yang diberikan S&P sangat diinginkan
negara- negara penerbit surat utang (SU), yang menunjukkan kualitas yang
sangat tinggi atau tinggi untuk membayar utang negara-negara tersebut. Dengan
peringkat AA+, A, atau A- memudahkan negara penerbit utang mengakses pasar
modal internasional. Kalangan investor dan kreditur internasional punya
kepercayaan diri untuk menanamkan modal di negara-negara dengan peringkat A
atau layak investasi.
Dari perspektif ini,
kekecewaan pemerintah Jokowi atas pengumuman hasil evaluasi S&P bisa
dimengerti. Sebab, peringkat tak layak investasi yang diberikan S&P bisa
jadi membuat tidak mudah bagi Indonesia untuk mengakses ke pasar modal
internasional, dengan pinjaman
berjangka panjang dan biaya bunga yang rendah bagi pembangunan ekonomi
nasional.
Kriteria pemeringkatan
Bagaimana sesungguhnya
kriteria yang digunakan perusahaan-perusahaan pemeringkat utang, seperti
S&P dan Moody's, dalam menentukan peringkat utang negara? Richard Cantor
dan Frank Peter dalam studi mereka tentang "Determinants and Impact of
Sovereign Credit Ratings" mengidentifikasi penentu peringkat kredit negara sebagai
berikut.
Pertama, pendapatan
per kapita. Semakin besar basis potensi pajak negara peminjam semakin besar
kemampuan pemerintah untuk membayar kembali utangnya. Variabel ini mewakili
tingkat stabilitas politik dan faktor penting lainnya.
Kedua, pertumbuhan
PDB. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi menandakan beban utang
negara yang ada pada saat itu akan lebih mudah untuk dilayani.
Ketiga, inflasi.
Inflasi yang tinggi menunjukkan adanya masalah struktural dalam keuangan
pemerintah. Ketika pemerintah tampak tidak mampu dan tidak hendak membayar
anggaran belanja berjalan melalui pajak dan penerbitan SU, dia harus memilih
pembiayaan inflasioner (inflationary). Ketakpuasan publik pada inflasi pada
saatnya bisa menimbulkan instabilitas politik.
Keempat, keseimbangan
fiskal. Defisit anggaran yang besar menyerap tabungan swasta domestik dan
menandakan pemerintah tak punya kemampuan dan kehendak untuk memajaki
warganya guna menutupi anggaran belanja berjalan atau untuk membayar
utangnya.
Kelima, keseimbangan
eksternal. Defisit akun yang besar menunjukkan sektor publik dan privat
sangat bergantung pada dana luar negeri, yang pada saatnya tidak
tertanggungkan.
Keenam, tingkat
pembangunan ekonomi ditandai naiknya pendapatan per kapita dan industrialisasi
di negara bersangkutan.
Ketujuh, riwayat gagal
bayar utang. Negara yang pernah gagal bayar utang secara luas dipersepsi
sebagai negara dengan risiko kredit tinggi.
Menurut Cantor dan
Packer, enam faktor memainkan peran penting dalam menentukan peringkat SU
negara, yaitu (1) pendapatan per kapita, (2) pertumbuhan PDB, (3) inflasi,
(4) utang eksternal, (5) tingkat pembangunan ekonomi, dan (6) riwayat gagal
bayar. Pendapatan per kapita tinggi, yaitu 24.000 dollar AS ke atas, inflasi
dan utang eksternal yang rendah, dan tingkat pembangunan ekonomi yang tinggi
jadi alasan untuk memberikan peringkat AA/Aa pada surat utang negara (SUN).
Sementara adanya riwayat gagal bayar membatasi peringkat utang negara pada
Baa/BBB, atau di bawahnya, yang berarti kemampuan bayar memadai. Jika
keterkaitan sistematis antara pemeringkatan dan kebijakan fiskal atau defisit
berjalan tidak ditemukan, mungkin karena endogenitas dua hal tersebut.
Bentuk penyikapan
Mencermati determinan
peringkat kredit tersebut, tampaknya Pemerintah Indonesia masih jauh dan
harus bekerja lebih keras lagi untuk menggapai peringkat layak investasi
S&P. Lalu, bagaimana kita sebagai bangsa dan negara Indonesia menyikapi
kenyataan tersebut?
Pertama, kita harus
mengakui fakta, para agen pemeringkat kredit, antara lain Moody's, S&P,
dan Fitch, berperan memberikan informasi berkenaan risiko ekonomi, politik,
dan bahkan hukum kepada para pemodal internasional yang berminat membeli
surat utang atau sekuritas lainnya yang dikeluarkan negara. Karena itu, status layak investasi yang diberikan
mereka kepada suatu negara sangat memengaruhi pasar modal internasional.
Peringkat kredit yang mereka keluarkan boleh dikatakan mewakili pandangan
pasar modal internasional yang layak dan penuh kecermatan untuk
dipertimbangkan.
Kedua, layak pula
dikritisi obyektivitas pemeringkatan kredit yang dikeluarkan para agen
pemeringkat kredit tersebut. Sebagaimana dilaporkan, para agen pemeringkat
kredit yang besar seperti S&P,
Moody's, dan Fitch adalah anak-anak perusahaan bank-bank investasi besar dan
perusahaan komersial lainnya membuat
obyektivitas mereka itu diragukan. Selain itu, fakta pasar industri
pemeringkat SU di dominasi oleh Moody's, S&P, dan Fitch menunjukkan sifat
oligopolistik pasar yang mengundang kecurigaan publik.
Kalangan akademis,
peneliti, para politisi dan jurnalis percaya, para agen pemeringkat kredit
punya tanggung jawab besar bagi
terjadinya krisis finansial global. Menurut Kongres AS, para agen
pemeringkat, termasuk bank-bank investasi, punya tanggung jawab primer bagi
penggelembungan perusahaan realestat yang kemudian diikuti runtuhnya pasar
finansial penyebab resesi global yang meluas.
Ketiga, para agen
pemeringkat kredit sesungguhnya merupakan bagian dari jaringan aparatus pasar
internasional yang sarat ideologi neoliberalisme. Di belakangnya berdiri
kokoh kekuatan modal besar yang membatasi peran intervensionis negara dan
menundukkan kebijakan ekonomi nasional, bahkan-sampai pada tahap
tertentu-mengalahkan demokrasi demi memenuhi kehendak pasar.
Kita menyaksikan
banyak kasus di mana para pemimpin negara berusaha keras menyesuaikan
kebijakan ekonomi nasionalnya dengan prioritas pasar, sambil meninggalkan
tujuan pembangunan nasionalnya. Guna menghadapi jebakan pusaran pasar
internasional yang didominasi kepentingan dan ideologi neoliberalisme, kita
sebagai bangsa dan negara harus konsisten mengupayakan pencapaian tujuan
nasional kita, yakni pemberantasan kemiskinan dengan menggunakan ukuran yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia, redistribusi sumber daya sebagai
cara untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan sosial, perlindungan hak asasi
manusia dan lingkungan hidup, serta pertumbuhan dan stabilitas politik guna
kesejahteraan rakyat seluruhnya.
Untuk itu, konsistensi
kebijakan nasional diperlukan guna menjalankan amanah konstitusi, yakni
Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar