Martabat Bangsa
Suwidi Tono ;
Koordinator Forum "Menjadi
Indonesia"
|
KOMPAS, 05 Juli 2016
Banyak
yang terus pamer kebodohan dengan keangkuhan
menggelikan
Banyak
yang terus pamer keberanian dengan
kebodohan mengharukan
Petikan sajak Mustofa
Bisri: "Negeri ha ha hi hi"
Di zaman serba terbuka, kita terus disuguhi parodi
tunanilai di luar batas kepatutan. Figur-figur cacat moral melenggang ke
pentas politik dan mengisi jabatan publik. Penegak hukum berulang kali
tertangkap sedang memperdagangkan keadilan.
Para "Yang Mulia" menukar sumpah jabatan demi fulus. Banyak aparat
negara menggadaikan kehormatan dan berbalik menjadi kacung
kejahatan.
Kita mengidap krisis
martabat ketika wabah berkuasa dan
rakus bersimbiosis dengan anasir jahat
dan merusak. Nilai-nilai keluhuran dan
kebajikan memunggungi kewibawaan dan
amanat. Hasrat mendominasi keyakinan berbalut fanatisme dipakai untuk menebar kebencian, mengintimidasi, dan mengoyak
persatuan. Membelah publik dalam dua
kutub diametral: pemuja dan pembenci (lovers
and haters).
Sebab-musabab krisis
moral dan keadaban ini dapat dilacak dari absennya pembelajaran bangsa dalam
waktu yang lama. Filosofi dan praktik
pendidikan ringkih dan kedodoran
membentuk watak bangsa sehingga menelurkan mentalitas lembek,
pragmatis, gaduh, dan suka menerabas. Kegagalan membumikan pesan mulia agama
membuat cahaya keilahian dan perwujudan cinta kasih memudar. Akibatnya,
realitas kehidupan keseharian bermasyarakat dilumuri kebencian, syak
wasangka, kemarahan, keputusasaan, sifat-sifat destruktif dan kebejatan (Gary Zukaf, 1990: The Seat of the Soul).
Kita juga rentan dan
kerap dilanda isu pribumi dan
nonpribumi secara dangkal. Pahlawan nasional Laksamana Muda John Lie
(1911-1998) memberi definisi lugas: "Pribumi adalah orang-orang yang
jelas-jelas membela kepentingan negara dan bangsa, sedangkan nonpribumi
adalah mereka yang korupsi, pungli,
memeras, dan melakukan subversi."
Pendidikan dan
kebudayaan semestinya jadi akar tunjang peradaban, syarat mutlak berkembang-biaknya
kemajuan dan keluhuran akal-budi. Pendidikan yang membebaskan, meneguhkan nalar. Mengembangkan sikap
skeptis, menyuburkan ekspresi dan imajinasi. Memuliakan proses "menjadi
manusia" (human being), bersumbu-alas penguasaan basis sains, sosial,
dan budaya. Ini bukan sekadar soal kurikulum, akreditasi, sertifikasi, dan
"tetek-bengek" lainnya.
Pendidikan dan riset
berkualitas memanen kreasi dan inovasi
berlimpah. Sejumlah negara, seperti Israel, Amerika Serikat, Tiongkok, dan
Korsel, gigih menyemai benih keunggulan untuk memenangi masa depan melalui penemuan dan pendaftaran ribuan hak
paten dari bisnis rintisan sampai
pendakuan advance technology. Sementara kita semakin terjerembap menjadi
bangsa konsumen.
Revolusi mental
Sejarah modern
memberi pertanda jelas bagaimana
bangsa-bangsa melakukan transformasi fundamental guna meraih kejayaan.
Barat mengawali dengan renaisans, Jepang lewat Restorasi Meiji, Tiongkok
mencetuskan Revolusi Kebudayaan berlanjut sosialisme pasar, Korsel membangkitkan
spirit Sungai Han dengan target mengungguli
Jepang yang pernah menjajahnya. Pendeknya, semua bermula dari upaya
mendarah-dagingkan kekuatan otak-watak, akal-budi unggul demi memuliakan martabat bangsa. Presiden Korsel, Park Chung-hee , tahun
1962 melecut semangat rakyatnya
setelah negeri itu luluh lantak dilanda perang saudara. "Meskipun kita
tidak bisa mencapainya pada masa hidup kita, mari bekerja keras demi anak
cucu kita agar mereka bisa hidup makmur
seperti orang-orang di bagian dunia lain."
Pelajaran pentingnya,
kemajuan tak diperoleh dan dicapai dalam waktu singkat. Harus ada "titik
berangkat" yang menjadi konsensus dan tekad bulat bersama. Presiden
Jokowi telah menggulirkan Revolusi
Mental sedari awal pemerintahannya. Sayangnya, kerangka operasi dan
determinasi untuk memandu diseminasi paradigma dan mindset ini belum kompatibel menggerakkan perubahan. Ia membutuhkan pembuktian otentik dan
perubahan signifikan terlebih dulu di
lingkup birokrasi pemerintah.
Salah satu petunjuk terdeteksi dari tidak optimalnya
peluncuran 12 paket deregulasi ekonomi
untuk menstimulus pergerakan dan pertumbuhan. Hambatannya tetap berkutat pada
lemahnya koordinasi antar-kementerian dan lembaga di pusat, serta antara
pusat dan daerah. Juga tumpang tindih regulasi yang cenderung awet menjadi
penghalang realisasi program. Problem klasik ini menunggu pemecahan radikal dan ketersediaan sejumlah pemimpin
mumpuni untuk mengurai kebuntuan.
Tugas sejarah
Saat maju sebagai
kandidat presiden AS tahun 1959, John
F Kennedy berpidato mencanangkan tapal
batas Pencapaian Baru (New Frontier)
untuk menyambut tantangan
masa depan yang disebutnya "belum
dikenal dan dipetakan". Ia
mengajak rakyat Amerika, generasi baby
boomers yang tidak mengalami
perang dan kesulitan ekonomi, melanjutkan warisan tugas presiden sebelumnya, yakni Kebebasan Baru (New Freedom) Woodrow Wilson dan
Pengaturan Baru (New Deal) Franklin D
Roosevelt.
Tiga puluh tahun
sebelum pidato Kennedy, Bung Karno menyeru kaum terpelajar Nusantara agar
bersatu memandu rakyat meraih
kemerdekaan, mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme. "Di seberang
jembatan emas kemerdekaan itu, baru kita leluasa menyusun masyarakat
Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi." (Indonesia
Menggugat, 18 Agustus 1930).
Ia berulang kali mewanti-wanti agar mewaspadai bahaya
"penjajahan berbaju baru" yang berkolaborasi dengan elite,
menghancurkan daulat rakyat dan peri-kehidupan bangsa. "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, akan
tetapi perjuanganmu kelak akan lebih sulit karena melawan bangsamu
sendiri." Tugas sejarah generasi penerus telah dipetakan oleh para
pendiri republik, yaitu memastikan pertumbuhan kecerdasan rakyat dan
meletakkan pijakan kokoh untuk menjamin berlangsungnya redistribusi
kesejahteraan secara merata. Keduanya mensyaratkan penumbuhan dan penguatan
kapasitas nasional berkelanjutan. Inilah sokoguru, resep generik bangsa
pemburu kemajuan.
Penguatan kapasitas
nasional memerlukan penciptaan level playing field yang adil
di semua jenjang pendidikan dan
lapangan usaha. Pendidikan berkualitas dan pembangunan karakter
kewirausahaan mesti disadari sebagai investasi modal manusia sehingga terhadapnya
pertimbangan cost consciousness menjadi kurang relevan. Biaya pendidikan
tinggi mahal dan minimnya riset tentu membatasi kemampuan bangsa keluar dari
ketertinggalan.
Redistribusi
kesejahteraan hanya akan bertumbuh kuat, besar, dan menyebar di atas landasan
kesempatan berusaha yang memungkinkan sebanyak mungkin pelaku ekonomi
bergiat. Fakta menunjukkan, semua negara maju dan stabil politiknya mempunyai
karakter serupa: bagian terbesar penduduknya produktif, cerdas, dan
setara. Ketimpangan, kemiskinan, dan
pengangguran akan terus menghantui
jika negara gagal membangun basis pemerataan "titik api"
sumber-sumber pertumbuhan, mengabaikan
pemihakan terstruktur terhadap pelaku usaha mayoritas dan paling membutuhkan
kesempatan. Pragmatisme dalam
menyiasati kelesuan ekonomi, mustahil menggulirkan gerak langgeng
kemajuan.
Konjungtur ekonomi
dunia di masa depan dihinggapi ketidakpastian, apalagi pasca Brexit
(keluarnya Inggris dari Uni Eropa). Mengingat skala ekonomi dan integrasi
kita ke dalam ekonomi global (mengutip Joseph Stiglitz, 1998) ibarat perahu
kecil yang mengarungi samudra bergelombang besar, pertahanan terbaik adalah
memupuk dan menguatkan struktur kemandirian agar tidak terus menderita
diempas badai krisis.
Pada era rezim-rezim
sebelumnya, aneka kebijakan dan pilihan strategi pembangunan semakin
memundurkan tapal batas kedaulatan dan kemandirian bangsa. Defisit
luar biasa neraca sosial-ekonomi berupa kemerosotan karakter bangsa,
ketidakadilan, dan kerusakan sumber
daya alam, lebih dari cukup sebagai pembelajaran berharga bagi pemegang
otoritas untuk meneguhkan visi besar
dan mengeksekusi kebijakan substansial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar