“Izinkan saya memohon maaf kepada kau, Siti."
Jean Couteau ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 17 Juli 2016
Entah kenapa, setiap
akhir bulan Ramadhan, sejak Lebaran delapan tahun yang lalu, saya sangat
sulit mengucapkan "mohon maaf lahir batin." Masalahnya bukan segi
lahir dari maaf itu. Tinggal kirim SMS dan-lunaslah sudah kewajiban sosial
saya. Masalah muncul ketika saya "memikirkan" segi batin itu.
Setiap kali saya mencoba merenungkan artinya, saya selalu diliputi rasa pilu,
pedih, gundah. Saya mencoba mulat sarira, mawas diri, tetapi selalu terganggu
pada bayangan sosok perempuan yang pernah jadi bagian dari keseharian saya.
Terlebih apabila peruntungkan saya dibandingkan dengan nasib buruk yang
dialami perempuan yang sederhana itu.
"Kini, izinkan saya memohon maaf, secara batin, kepada kau,
Siti."
Baru sekarang ini,
delapan tahun kemudian, saya dapat memanggilmu dengan kata "kau".
Dari "rumahmu", nun jauh di sana, kau pasti mengerti, kan? . Ketika
kau pergi, pada waktu itu, kau hanya pamit mudik. Kau pulang untuk
mengunjungi tanah leluhurmu, membersihkan batu nisan suamimu, dan berdoa sejenak
dengan keyakinan ayat sucimu. Kau mencari jalinan-jalinan yang bisa
mendekatkan kau dengan anak, kerabat, tetangga, pendeknya segenap memori yang
masih kau anggap memberikan arti kepada kehidupanmu.
Namun, kau ini memang
"bodoh", Siti! Kau selalu abai mengikuti "perintah" saya
untuk memakai helm? Selain itu, bukankah kau belum terlalu pandai menaiki
sepeda motor? Apabila mengegas mesinnya, bukankah kau selalu lakukan
terlampau tiba-tiba sehingga Honda itu kerap melesat tanpa kendali. Maka, tak
mengherankan apabila mudikmu itu menjadi bencana.... Ketika melewati jembatan
kecil dari bambu, kau terjatuh.. Yang menampung tubuhmu hanyalah seonggok
batu.. Seketika darah yang menderas dari kepalamu mengalir larut dengan air
bening gunung tempat kelahiranmu.
Kala itu nasib kau memang
naas, Siti. Kau juga menjadi korban ritual kesopanan ber-Lebaran: dokter
puskesmas tempat kau digotong tidak ada. Sibuk dengan "mohon maaf lahir
batin", entah menghadap pejabat atau bersilaturahim entah ke mana. Dua
jam kemudian, dirimu adalah jasad tanpa nyawa.
Satu hari kemudian, di
sela secuil berita duka di telepon dan tangisan sana-sini, kau telah
bersanding dekat ayah-ibumu di bawah selapis tanah kering. Bagi kami
sekeluarga, kau telah tiba-tiba lenyap, tanpa kami sempat mengucapkan
"mohon maaf lahir batin".
Kini, di mana pun
arwah kau berada, ingin saya haturkan "mohon maaf" kepada kau,
Siti, meski secara batin saja. Saya baru sadar betapa awamnya saya tentang
dirimu? Sebelum peristiwa itu, nama desa kelahiran kau tak pernah saya
risaukan di mana berada! Nama putrimu saya tidak tahu, seperti pula kisah
kegagalan cintamu! Yang pernah saya tahu dari kau, Siti, hanya kopi yang kau
sajikan, celana yang kau setrika, dan kasur lusuh di mana kau rebahkan tubuh
penatmu. Rutinitas-rutinitas yang membuat kemiskinan kau tampil sebagai tanda
kekayaan saya. Ya! Memang, meskipun dulu kau hadir secara fisik, sejatinya
kau tidak "eksis" di luar tingkahku. Kau adalah pembantu, Siti.
Hanya "berhak" menampung kemarahan dan melayani kebutuhan. Tak
boleh benar-benar "memiliki", "menghendaki", atau
menertawakan apa pun. Dan, kini kamu telah hilang, nyaris tak berbekas di
kenanganku, selain pada hari Lebaran!!! Maka, inzinkanlah saya memohon maaf
kepada kau.
Apakah aku tiba-tiba
insaf? Renungan tentang nasib kau yang mati ini memunculkan di benakku
gambaran dari ratusan ribu saudarimu yang tengah berjejalan menempuh
jalan-jalan menuju kota. Pulang dari mudik. Beberapa akan mati, sebagian
besar akan hidup, tetapi hidup untuk "melayani". Melayani orang
yang, seperti aku, terus berceloteh soal keadilan sosial dan kemanusiaan,
tanpa terlalu peduli bagaimana mengamalkannya.
Maka, sekali lagi saya
mohon maaf kepada kau, Siti, dan sebagai majikan, atas nama semua majikan,
kepada semua pembantu dan wong cilik yang seolah tak eksis itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar