"Epifani" Idul Fitri
Asep Salahudin ;
Dosen di IAILM Suryalaya,
Tasikmalaya, dan di Fakultas Seni dan Sastra Universitas Pasundan, Bandung
|
KOMPAS, 04 Juli 2016
Idul Fitri secara
harfiah bermakna kembali kepada kesucian. Dirayakan sebagai ekspresi
kemenangan setelah satu bulan penuh melakukan tapabrata. Berpuasa menahan
lapar dan dahaga. Membayangkan selepas keluar dari Ramadhan, orang lahir
kembali dengan kesadaran baru. Dalam ungkapan teologis, "Seperti bayi
yang baru keluar dari rahim bundanya."
Dalam level personal,
Idul Fitri itu semestinya menginjeksikan keinsafan tentang keniscayaan
merawat interioritas jiwa agar senantiasa berada dalam atmosfer kesucian.
Sementara dalam aras sosial, Idul Fitri itu sebenarnya menyerukan kewajiban
susulan bahwa kesucian itu pada saat bersamaan harus dipantulkan dalam wujud
kesediaan membangun persahabatan dengan "liyan".
Liyan di sini tak
hanya dimaknai sebagai sosok yang sama keyakinan, tetapi berbeda haluan
mazhab, ormas, dan pemikiran; tetapi dalam liyan juga terkandung garis lintas sektoral budaya, kultur, dan
iman. Di titik pertautan inklusif seperti ini, Idul Fitri menjadi kesempatan
berharga untuk saling mendengar, saling belajar, saling memahami, dan saling
menghargai.
Maka, menjadi dapat
dipahami seandainya selepas Idul Fitri kita ditekankan satu sama lain saling
bersalaman. Bersalaman bukan sekadar persentuhan kedua telapak tangan, saling
menjabat, tetapi sesungguhnya melambangkan kehendak menanamkan sikap lapang,
saling memaafkan, dan tekad menebarkan damai kasih kepada seru sekalian alam.
Dalam praktiknya,
tidak ada orang yang bersalaman, kecuali di dalamnya terlibatkan pancaran
wajah sumringah, senyum tulus, dan gestur tubuh penuh kehangatan, bahkan ada
banyak orang yang melakukannya sambil berangkulan, bercengkrama penuh
keakraban.
Dalam tilikan filsuf
Levinas, "wajah" seperti ini sejatinya yang menjadi manifestasi
epifani ilahiah. Wajah yang mengalirkan daya metafisika untuk satu dengan
lainnya menggabungkan diri dalam persatuan otentik, dalam persahabatan lintas
batas, dan dalam kehadiran perserikatan hidup yang agung.
Wajah yang melampaui
tampilan fisik-muka. Dalam "wajah" saat Idul Fitri itu seharusnya
terbersit penyingkapan riil tentang "kesucian" (fitri) itu.
Kesucian baik hubungannya dengan sosial (kemanusiaan nondiskriminatif),
politik (tegaknya keutamaan), hukum (sebanding lurus dengan kebenaran),
ekonomi (keadilan yang terdistribusikan secara merata kepada semua pihak),
atau agama (terbebas dari tindakan menjadikan agama sekadar jubah formalitas
semata).
Inilah wajah gembira,
wajah penuh persahabatan yang dapat menghindarkan manusia dari kepribadian
yang terbelah, anonim dan impersonal. Wajah yang dapat memberikan gambaran
manusia secara utuh.
"Minal aidin wal faizin"
Maka, sesungguhnya di
titik entitas kesadaran fundamental ini, adagium yang kerap diucapkan saat
Idul Fitri, minal aidin wal faizin, menjadi bermakna. Minal aidin sebagai
pengingat bahwa kita kembali ke kehidupan sosial setelah ditempa dalam ritus
puasa vertikal kepada Tuhan. Wal faizin, artinya kita berada dalam
kebahagiaan saat persahabatan itu jadi modus eksistensial kehadiran setiap
kita, ketika persekutuan itu menjadi panggilan terdalam kaum beriman.
Bukankah tujuan
beragama (dan berpolitik) adalah ikhtiar tidak pernah mengenal henti memburu
pengalaman kebahagiaan. Dan, demokrasi disepakati sebagai sistem dalam
memilih pemimpin tidak lain dalam upaya memimpikan terbitnya kebahagiaan
lewat tangan-tangan para pemimpin terpilih, yang diharapkan bisa mengelola
kekuasaan dengan benar. Sejarah mencatat bahwa imaji tentang konsep
kedatangan "ratu adil" selalu dimulai ketika mimpi kebahagiaan itu
tidak kunjung tiba, saat keresahan menyekap masyarakat.
Ketika Aristoteles
menyampaikan gagasan tentang polis dan Al-Farabi mengarang kitab al-Madinah
al-Fadilah, sesungguhnya di dalamnya tersirat bahwa "negara" atau
"kota" hanya akan sampai pada kebahagiaan bersama. Yakni, ketika
seluruh warganya mampu membangun pertemanan sosial yang inklusif dengan etika
imperatifnya berupa sikap respek, tanggung jawab, pengagungan pikiran,
pemuliaan kemanusiaan, cinta kasih, dan penegakan hukum yang tanpa pandang
bulu.
Indeks kebahagiaan itu
sama sekali tidak ada hubungannya dengan ruang publik yang dikepung banyak taman
yang indah. Namun, secara esensial, yang menjadi acuan pokoknya adalah adanya
ruang publik terbuka tempat warga negara bisa membangun persahabatan yang
otentik, komunikasi partisipator, hadirnya demokrasi deliberatif, dan
keseriusan kaum penguasa mengelola kekuasaannya secara terbuka, logis, dan
berkeadilan.
Politik pun, di mana
manusia dibilang sebagai zoon politikon, dalam terang wajah epifani Idul
Fitri, menjadi tugas mulia, tugas kenabian, yang di dalamnya tergambarkan
jejak-jejak ketuhanan.
Di Idul Fitri,
biasanya pintu rumah-rumah kita terbuka. Sebagian pejabat malah
menyelenggarakan open house. Bagi saya, keterbukaan ini jangan berhenti
sebatas "fisik", apalagi hanya basa-basi politik pencitraan untuk
memenuhi kebiasaan penguasa semata. Akan tetapi, ia harus ditingkatkan
maqam-nya menjadi kesanggupan diri (capable
self) untuk juga bisa terbuka dalam melihat fakta keragaman, pluralisme,
dan multikulturalisme. Open house
itu adalah medan pertemuan pejabat dengan warganya untuk satu sama lain saling
menyelami kedalaman sukmanya dengan penuh kejujuran.
Hanya dalam suasana
keterbukaan (openness) seperti ini
kita dapat hidup berbangsa dan bernegara secara dewasa. Keragaman tidak lagi
dipandang sebagai ancaman, tetapi hajat pokok dalam kehidupan manusia,
sekaligus pintu masuk untuk bersatu dalam ketulusan, dalam terang wajah-wajah
yang memancarkan nyala epifani kudus ilahiah. Kehidupan dan bernegara pun
menjadi milik bersama, dihayati bersama-sama.
Akhirnya, selamat Idul
Fitri, mari ber-salam-an, saling memaafkan lahir dan batin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar