Mudik di Masa Paceklik
Yudi Latif ;
Pemikir Kebangsaan dan
Kenegaraan
|
KOMPAS, 05 Juli 2016
Adakah saat yang
paling dirindukan para pengembara selain menemukan momen kepulangan? Fakta
keterlemparan manusia dari "langit suci" dan kebertualangan dari
asal tumpah darah membuat sukmanya senantiasa resah-gelisah, merindukan luang
berpulang ke rahim Ilahi dan kampung halaman.
Kesibukan mengejar
kebutuhan dan kesenangan duniawi bisa membuat orang lupa diri sebagai
perantau. Al-Ghazali mengibaratkan "materi" itu laksana kuda
tunggangan bagi jiwa dalam pengembaraan jati dirinya. Sang jiwa harus
memenuhi kebutuhan tunggangannya agar bisa mencapai tujuan. Namun, jika
terlalu banyak menyita masa untuk memberi makan dan mengaguminya, sang jiwa
mengantuk, tercecer di perjalanan, tak mencapai tujuan kepulangan.
Jeda puasa diharapkan
bisa membuat sang jiwa siuman kembali. Buah dari kekhusyukan ibadah dan amal
saleh adalah membersihkan kembali cermin hati, alat pemancar roh Ilahi. Hati
yang bersih bisa memantulkan kembali cahaya Tuhan dan tumpuan manusia mengaca
diri. Dengan mengaca diri, manusia bisa mengenali siapa dirinya; dari mana
berasal dan ke mana berpulang.
Demikianlah, sepanjang
tahun para perantau bergelut mengejar nikmat, berkah langit yang turun bak
air hujan. Lewat penyadaran puasa, kedatangan Idul Fitri menjemput mereka
kembali ke kelampauan asal spiritual dan sosial, seperti akar yang meneruskan
air hujan ke sungai, lantas mengalirkannya hingga ufuk terjauh.
Seperti burung yang
riang pulang ke sarang, kita rayakan kepulangan ke rahim fitri dengan
sukacita. Kepulangan ini terasa lebih syahdu dengan senandung gema kebesaran
Tuhan serta bingkisan bagi handai tolan. Setelah setahun menyerap hujan
berkah langit, saatnya pengembara merembeskan air kebahagiaan bagi warga bumi
agar akar rumput di segala pelosok negeri bangkit kembali dari kekeringannya.
Kebahagiaan terasa
sempurna ketika kesuburan bumi terjaga berkat kerelaan berbagi. Al Quran
melukiskan nafkah yang dibagikan ibarat sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, dan setiap bulir berbuah seratus biji (QS. 2: 261). Semakin banyak
memberi, semakin banyak menerima, sehingga kesuburan dan kesejahteraan negeri
bertambah.
Menurut Deepak Chopra,
tubuh dan mental manusia senantiasa menjalin relasi saling memberi dan
menerima dengan semesta. Mencipta, mencintai, dan menumbuhkan menjamin
keberlangsungan relasi ini. Semakin banyak kita memberi makin terlibat dalam
sirkulasi energi semesta; pada gilirannya semakin banyak kita peroleh dalam bentuk
cinta, materi, dan ketenteraman.
Maka, jika kita
memberi, berilah dengan senang hati. Jika hendak diberkati, berkatilah sesama
dengan mengirimkan percikan pemikiran positif. Jika kita tak punya uang,
berikanlah pelayanan. Kita tidak pernah kekurangan dalam apa yang dapat
diberikan.
Semangat saling
mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh ini terasa kian penting saat
kehidupan negeri dilanda banyak cobaan. Menjelang Idul Fitri, berbagai tanda
kelesuan perekonomian, dekadensi politik dan kesusilaan membuat langit
kejiwaan bangsa ini diselimuti mendung pesimisme.
Menghadapi kemungkinan
musim paceklik berkepanjangan, yang kita perlukan bukanlah pesimisme atau
optimisme yang buta. Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan
rasa keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi
secara lebih akurat. Meski demikian, kita tak perlu hanyut dalam
bayang-bayang kegelapan yang akan membuat kita terpenjara dalam
ketidakberdayaan.
Lebaran harus
menghadirkan optimisme mata terbuka bahwa tiap krisis mengandung peluang
pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab mengatakan, "Betapa banyak
jalan keluar yang datang setelah kepahitan, dan betapa banyak kegembiraan
datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka kepada Pemilik Arasy,
akan memetik manisnya buah yang dipetik dari pohon berduri."
Optimisme yang
produktif haruslah berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan
komitmen hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat
kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini,
serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi
kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan, dengan
mentalitas kepemimpinan yang lebar dan lebur.
Optimisme hendaklah
bersifat realistis bahwa kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya tanpa
dijemput, tanpa diusahakan dengan pengorbanan. Dalam gundukan sampah
persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, diperlukan persenyawaan jutaan titik
embun untuk bisa menjadi gelombang kesucian yang bisa menyucikan najis
kekotoran yang melumuri jiwa kenegaraan.
Dengan Idul Fitri,
manusia mestinya bertobat (kembali) ke jalan fitrah (kemurnian asal kita
sebagai manusia dan bangsa). Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang
pertobatan kolektif, kita hadapi hadangan krisis dengan menguatkan
integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar