Ke(tidak)sepakatan KPK–BPK
Oce Madril ;
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada;
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi
UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Juni 2016
SEPAKAT untuk tidak
sepakat. Begitulah kira-kira hasil pertemuan antara KPK dan BPK dalam rangka
menanggapi perbedaan pendapat mengenai kasus pembelian lahan RS Sumber Waras.
Silang pendapat itu bermula dari kesimpulan sementara KPK yang menyatakan
bahwa tidak terdapat tindak pidana korupsi dalam pembelian lahan tersebut.
Sementara itu, BPK melalui hasil audit investigatifnya menyimpulkan bahwa
terdapat penyimpangan dengan indikasi kerugian negara Rp191,3 miliar. Kedua
lembaga itu akhirnya bertemu dan membuat pernyataan bersama.
Ada 5 (lima)
kesepakatan antara kedua lembaga tersebut. Di antara lima kesepakatan itu,
intinya mereka tidak sepakat tentang substansi persoalan kasus Sumber Waras.
Pada intinya KPK dan BPK tetap pada pendiriannya semula. Lalu, siapa yang
harus dirujuk dalam penanganan kasus ini, BPK atau KPK?
Secara ketatanegaraan,
kedua lembaga itu memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama kuat. BPK dan
KPK merupakan organ konstitusional. BPK jelas ditegaskan dalam Pasal 23E-G
sebagai lembaga konstitusional yang bertanggung jawab untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sementara KPK, meskipun tidak
disebutkan secara jelas dalam UUD 1945, sebenarnya dibentuk berdasarkan
naungan Pasal 24 ayat 3 bahwa dibentuk badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum. KPK didirikan
dalam rangka menjalankan amanat kosntitusi tersebut, bagian dari sistem
peradilan untuk menegakkan hukum pemberantasan korupsi.
Konstitusionalitas
kewenangan KPK juga tidak perlu diragukan lagi. Sebab, telah berkali-kali
kewenangan KPK dalam memberantas korupsi diuji di Mahkamah Konstitusi dan MK
kukuh menyatakan bahwa KPK konstitusional. Jadi dari perspektif konstitusi,
BPK dan KPK punya kedudukan yang kuat untuk menjalankan kewenangan
masing-masing.
Kewenangan KPK
Perbedaan mendasar
antara kedua lembaga terletak pada kekhususan kewenangannya. BPK ialah
lembaga audit yang kewenangannya terbatas untuk melakukan audit atas keuangan
negara (pemerintah). Sementara KPK ialah lembaga penegak hukum yang
kewenangannya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara
korupsi. BPK bekerja atas dasar rezim hukum keuangan negara, untuk memeriksa
pengelolaan keuangan negara. Sementara itu, KPK bekerja atas dasar rezim
hukum tindak pidana korupsi. Jelas terdapat perbedaan pendekatan yang
dilakukan kedua lembaga itu. BPK menggunakan pendekatan hukum administrasi,
sedangkan KPK mengusut ada atau tidaknya korupsi berdasarkan unsur-unsur
pidana korupsi.
Dalam penegakan hukum
tindak pidana korupsi, KPK-lah yang berwenang. KPK secara khusus diberikan
kewenangan yang istimewa oleh UU No 30 Tahun 2002 yang bahkan tidak dimiliki
kepolisian dan kejaksaan. Dapat dikatakan bahwa KPK ialah lembaga koordinator
dalam pemberantasan korupsi, sehingga KPK dibekali dengan kewenangan koordinasi
dan supervisi. Maka terkait pertanyaan lembaga manakah yang berwenang
mengusut kasus Sumber Waras, dengan mudah dapat dijawab bahwa KPK-lah yang
berwenang, bukan BPK. Hasil penyelidikan dan penyidikan KPK-lah yang akan
digunakan di persidangan untuk mendakwa perkara korupsi berdasarkan UU
Tipikor.
Tidak ikut BPK
Lalu bagaimana dengan
hasil audit BPK? Perlu diingat bahwa audit itu dilakukan atas permintaan KPK.
Hasil audit dapat digunakan KPK untuk mengusut kasus Sumber Waras. Sebagai
salah satu bahan, maka hasil audit belum tentu akan menjawab seluruh
kebutuhan KPK untuk menyatakan ada atau tidak korupsi di kasus Sumber Waras.
Perlu juga diingat
bahwa unsur pidana korupsi tidak hanya kerugian negara, tetapi yang paling
pokok ialah adanya perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang serta
unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Dan kesemua
unsur itu harus saling terkait satu sama lain. Adanya kerugian negara belum
tentu karena korupsi. Boleh jadi karena perbuatan hukum perdata atau
administrasi. Seandainya kerugian itu terjadi karena perbuatan pidana, maka
belum tentu serta-merta akan menjadi tindak pidana korupsi. Sebab, semua
unsur korupsi dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor harus terpenuhi.
Jadi, hasil audit BPK
atas kasus Sumber Waras merupakan data yang penting bagi KPK. Namun, tidak
ada kewajiban bagi KPK untuk mengikuti logika hasil audit BPK itu. Apalagi
mengingat putusan MK, sebenarnya KPK dapat mengenyampingkan hasil audit BPK.
Dalam putusannya Nomor 31/PUU-X/2012, MK menyatakan bahwa kewenangan
perhitungan kerugian negara bukan lagi monopoli BPK.
Selain BPK, KPK dapat
berkoordinasi dengan BPKP atau instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri
di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan
meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang
sama dengan itu. Bahkan, dari pihak-pihak lain (termasuk swasta) yang dapat
menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara
atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.
Pada titik inilah
sepertinya KPK menggunakan kewenangannya untuk mengambil kesimpulannya
sendiri atas kasus sumber waras. KPK sepertinya menggunakan kewenangannya
untuk menghitung sendiri potensi kerugian negara dengan melibatkan ahli dan
pihak-pihak lainnya. Yang pada akhirnya KPK berkesimpulan belum ditemukan
cukup bukti untuk membawa kasus itu pada ranah tindak pidana korupsi. Dengan
demikian, mestinya terjawab sudah perdebatan mengenai lembaga mana yang
berwenang. Semoga BPK dan KPK konsisten untuk saling menghormati kewenangan
lembaga masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar