Retrogresi
Aktivisme Yudisial di Mahkamah Konstitusi Idul
Rishan: Anggota Staf Pengajar Departemen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia |
KOMPAS, 25 Juli 2022
Jika
membaca tren putusan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi dalam
kurun tiga tahun terakhir, hakim konstitusi cenderung membatasi diri untuk
tidak membangun penafsiran secara konfrontatif dengan pembentuk undang-undang
(Presiden-DPR). Dalam perkara-perkara populis yang melibatkan kepentingan
masyarakat luas, MK lebih memilih menahan diri (self-restraint) untuk tidak
melakukan penerobosan hukum atau yang dikenal dengan istilah aktivisme
yudisial (judicial-activism). Paling
anyar putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential
threshold), yang untuk kesekian kali kembali ditolak MK. Melemahnya aktivisme
yudisial MK kerap terekam dalam dua pola. Pertama, mempersempit ruang legal
standing dalam praktik pengujian UU. Kedua, membatasi diri untuk tidak
mengadili perkara yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk UU (open legal
policy). MK
membangun persepsi konstitusionalnya sendiri dengan menyatakan bahwa perkara
yang dimohonkan bukan merupakan problem konstitusionalitas UU, melainkan
domain pembentuk UU (Presiden-DPR) yang tidak seharusnya dijangkau oleh MK. ”Legal
standing” Di
awal berdirinya MK, hakim-hakim konstitusi berhasil memutus sekat antara
institusi peradilan dan warga negara untuk beperkara di MK. MK menjadi
institusi yang inklusif dengan membuka ruang legal standing yang cukup lebar
bagi warga negara. Kerugian
konstitusional tidak harus dimaknai sebagai kerugian rill, tetapi juga
kerugian potensial yang mungkin saja dialami oleh kelompok masyarakat ataupun
perseorangan. Bahkan, melalui aktivisme yudisial para hakim konstitusi,
sebagai pembayar pajak, kelompok perseorangan ataupun masyarakat bisa menjadi
pihak yang mengalami kerugian konstitusional atas proses ataupun hasil kerja
legislasi Presiden dan DPR. Namun,
harus diakui, perubahan komposisi hakim konstitusi bisa mengubah cara pandang
MK dalam menilai kerugian konstitusional para pemohon. Pembayar pajak
kemudian diterjemahkan ulang oleh hakim konstitusi hanya pada perkara-perkara
tertentu. Saat ini, cara pandang MK kemudian kembali mengalami pergeseran.
Dalam praktik pengujian UU di MK, ruang deliberasi itu kemudian dipersempit. Legal
standing kemudian dimaknai sebagai kerugian rill pemohon atas pembentukan dan
keberlakuan sebuah undang-undang. Dalam Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 atas
perkara pengujian perubahan ketiga UUMK, MK menolak permohonan uji materil
karena kualifikasi pendidikan pemohon yang masih Strata-2 sehingga dianggap
tidak mumpuni untuk menjadi hakim konstitusi. Perkara
yang berbeda, tetapi dengan alasan yang sama terjadi ketika mahkamah menguji
ketentuan presidential threshold dalam UU Pemilu. MK menilai tidak ada
kerugian rill bagi pemohon karena pemohon tidak memiliki potensi untuk
dicalonkan sebagai seorang presiden. Pola penafsiran demikian, secara tidak
langsung menjadikan MK sebagai institusi yang eksklusif, dengan memperlebar
jarak antara masyarakat dan institusi MK sendiri. ”Open
legal” Kemudian,
yang tak kalah serius, MK juga tidak pernah mencoba untuk melakukan aktivisme
yudisial ketika perkara-perkara yang dimohonkan berada di wilayah kebijakan
terbuka pembentuk undang-undang. Sifat open legal policy bisa menjadi ancaman
dalam masa depan demokrasi konstitusional di Indonesia. Kita
bisa berkaca kepada materi muatan Perubahan UU KPK, Perubahan UU MK,
Pembentukan UU Cipta Kerja, dan UU Pemilu. Semua itu merupakan pembentukan
hukum negara yang sebagian pengaturannya tidak memiliki titik koordinat
secara langsung dengan norma-norma yang ada di dalam konstitusi, tetapi
berdampak secara luas bagi masyarakat. Misalnya,
ketentuan dewan pengawas dalam UU KPK, ketentuan syarat usia hakim
konstitusi, penerapan metode omnibus law, dan ambang batas pencalonan
presiden merupakan kebijakan terbuka, tetapi mendapat resistensi dan
penolakan karena dampaknya yang luas terhadap kepentingan masyarakat. Ironisnya,
Presiden dan DPR memilih mengedepankan jalur yuristokrasi. Delegitimasi
sosial atas cara kerja pemerintah diharapkan bisa diselesaikan dengan
cara-cara yang elegan, dalam hal ini pengujian di MK. Namun, kenyataannya,
jalur yuristokrasi kita ternyata juga tumpul. MK menolak memeriksa dan
mengadili perkara-perkara yang seharusnya menjadi domain eksekutif dan
legislatif. Kondisi
ketatanegaraan demikian melahirkan deadlock, bahkan saling lempar tanggung
jawab antara pembentuk undang-undang dan lembaga peradilan. Sebab, hakim-hakim
di MK juga tidak memilih untuk melakukan aktivisme yudisial berupa
penerobosan hukum atas kasus-kasus kompleks yang sifatnya open legal, tetapi
memiliki dampak luas dan strategis di masyarakat. Retrogresi Pada
4 Juni 2021, Profesor Sulistiyowati Irianto menuliskan pesannya di kolom
opini Kompas tentang pentingnya dimensi sosio-legal dalam putusan-putusan
pengadilan. Aktivitas penemuan hukum di lembaga peradilan tentu tidak bisa
hanya bersandar kepada norma teks dan bangunan-bangunan pasal yang ada dalam
konstitusi, tetapi juga memperhatikan pentingnya konteks pemenuhan keadilan
yang berkembang di masyarakat. Tentu
tidak bisa kami bayangkan ketika paradigma penafsiran MK menjadi relatif kaku
akibat pembatasan aktivisme yudisial. Sifat self restraint para hakim
konstitusi menjadikan mahkamah hanya sebagai institusi yang melegitimasi
kebijakan-kebijakan yang tidak populer dan cenderung meningkatkan legitimasi
pemerintah. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/23/retrogresi-aktivisme-yudisial-di-mahkamah-konstitusi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar