Penyaji Berita : Tim Kumparan |
KUMPARAN.COM,
18 Juli 2022
“Iya
Ma, nanti aku datang kalau ada waktu. Aku nyusul ke kampung mau ikut ziarah.” –
Ucapan terakhir Brigadir Yosua kepada ibunya, Rosti Simanjuntak *** Yuni Hutabarat sedang
asyik mengobrol bersama keluarga besarnya di Padang Sidempuan, Sumatera
Utara, Jumat malam (8/7). Sekitar pukul 22.00, ponselnya berdering. Telepon
itu dari adik bungsunya, Mahareza. Dari suaranya, ada sesuatu yang tak beres. “Adik telepon, enggak
jelas suaranya, nangis-nangis,” kata Yuni ke ayahnya, Samuel Hutabarat. Demi mendapat sinyal yang
lebih baik, Yuni bergeser dari ruang tamu ke teras rumah neneknya. Akhirnya,
ia bisa mendengar ucapan Reza dengan cukup jelas. Namun, tak disangka, kabar
buruklah yang keluar dari mulut Reza. Yuni sontak menangis
kencang, sampai Samuel menghampirinya untuk bertanya apa yang terjadi. “Adik Frian meninggal,”
kata Yuni terbata. Frian merupakan panggilan
keluarga untuk Nofriansyah Yosua Hutabarat, brigadir polisi yang tewas
ditembak di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo di Kompleks Polri
Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7). Frian atau Yosua tewas di
usia 27 tahun. Meninggal? Samuel
tersentak mendengar ucapan Yuni. Ia bertanya kepada putri
sulungnya: apa penyebab Yosua, anak keduanya itu, meninggal dunia? Yuni menggeleng bingung.
“Enggak tahu, Pak. Ini adik [Reza] telepon dari Jakarta dalam keadaan nangis.
Sekarang [Reza] di rumah sakit.” Seperti Yosua, Reza
merupakan anggota Polri yang bertugas di Jakarta. Ia pertama kali menerima
kabar kematian kakaknya, lalu meneruskannya ke keluarga. “Semua keluarga tersentak,
menjerit. Saya sampai enggak bisa nangis,” kata Samuel kepada kumparan, Jumat
(15/7). Keluarga menerima kabar
duka soal Yosua saat sedang berziarah ke kampung halaman mereka di Sumatera
Utara. Keluarga itu mengawali ziarah dari tanah kelahiran istrinya di Balige,
Kabupaten Toba; lanjut ke Paranginan di Kabupaten Humbang Hasundutan; Tarutung dan Pahae di Kabupaten Tapanuli
Utara; dan berakhir di Padangsidimpuan. Yosua sedianya ingin ikut
perjalanan ziarah itu. Namun ia masih bertugas mengawal atasannya, Irjen
Ferdy Sambo, dan istrinya, Putri Candrawathi, ke Magelang. Rencananya, Yosua
akan menyusul ke Sumut sepulangnya dari Magelang. Selama perjalanan ziarah,
keluarga Yosua kerap mengirimkan foto mereka ke grup WhatsApp keluarga. Salah
satunya foto saat mereka berada di Pemandian Air Panas Sipoholon di Tarutung. Foto itu dikirim ke grup
WhatsApp keluarga pada Jumat pagi (8/7), dan ditanggapi gembira oleh Yosua
karena ia memiliki kenangan masa kecil di sana. Namun, sore harinya
setelah pukul 17.00 WIB, Yosua yang biasa aktif di grup WhatsApp tiba-tiba
tak bisa dihubungi. Ia memblokir nomor beberapa anggota keluarganya.
Benar-benar ganjil. Rencana Yosua pulang ke
kampung halaman tinggallah rencana. Ia meregang nyawa hanya beberapa jam
setelah mengucapkan keinginan itu kepada ibunya. Polri menyebut, ia tewas
dalam baku tembak di rumah dinas atasannya di Kompleks Polri Duren Tiga,
Jakarta Selatan, karena perkara memalukan. “... Brigadir J masuk [ke
kamar istri Kadiv Propam] dan melakukan pelecehan terhadap Ibu,” ucap
Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susiantono. Ia bilang, istri Sambo,
Putri Candrawathi, berteriak sehingga ajudan lain, Bharada E, berlari
mendekat. Yosua yang disebut panik lalu melepas rentetan tembakan ke arah
Bharada E, yang segera dibalas dengan sejumlah tembakan pula oleh Bharada E.
Yosua pun tewas. Setelah menerima kabar
Yosua tewas, malam itu juga keluarganya langsung kembali ke rumah mereka di
Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, yang berjarak 20 jam lebih via jalur
darat dari Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Sabtu siang (9/7), saat
keluarganya masih dalam perjalanan pulang, jenazah Yosua diterbangkan dari
Jakarta ke Jambi, dan tiba di rumah duka sekitar pukul 14.00 WIB. Jenazah itu diterima oleh
bibinya, Rohani Simanjuntak, mewakili pihak keluarga. Orang tua dan kakak Yosua,
setelah menempuh perjalanan sekitar 800 km selama hampir 24 jam, akhirnya
tiba di kediaman mereka—yang sontak menjadi rumah duka—pada Sabtu malam,
pukul 22.30 WIB. Ayah dan ibu Yosua
histeris melihat peti mati berisi jenazah Yosua. Dalam serah terima jenazah
dari Polri ke keluarga, hadir antara lain Pemeriksa Utama Divisi Propam Polri
Kombes Leonardo Simatupang dan Kabid Propam Polda Jambi Kombes Alfonso Doly
Gilbert Sinaga. Namun, sebelum menerima
jenazah, orang tua Yosua meminta penjelasan dari perwakilan Polri mengenai
kronologi tewasnya Yosua. Keluarga juga ingin melihat tubuh Yosua. Kombes Leonardo lantas
menjelaskan insiden baku tembak yang menewaskan Yosua. “Di TKP (rumah Irjen
Sambo) ada teriakan Ibu [Putri] memanggil [dari kamarnya di lantai satu],
‘Dicky, Richard, tolong!’” ujar Kombes Leonardo mengawali ceritanya. “Yang pertama datang
Richard. Dia turun [dari lantai dua] ke bawah, dan di tangga bertemu sama
almarhum (Yosua) sedang membawa senjata. Dia bertanya ‘Ada apa, Bang?’ dan
almarhum langsung mengacungkan senjata.” “Kebetulan Richard juga
memegang senjata api. Begitu ditembak [Yosua], dia langsung mengelak dan
terjadilah tembak-menembak,” ujar Kombes Leonardo. Richard yang ia maksud
adalah Richard Eliezer atau Bharada E, ajudan Irjen Sambo yang paling junior. Cerita Kombes Leo itu
adalah keterangan pertama yang diterima keluarga mengenai penyebab tewasnya
Yosua. Sementara mengenai permintaan keluarga untuk membuka peti jenazah, Leo
menyebut hal itu tak diperlukan. Menurut nya, tak ada
gunanya melihat jenazah karena sudah diautopsi. “Kalau diautopsi, sudah
dicek satu per satu dan hasilnya ada di rumah sakit. Kalau ada keberatan dari
keluarga, silakan ke Jakarta datangi rumah sakit.” Ibu Yosua, Rosti
Simanjuntak, berkukuh melihat jenazah putranya. “Biarlah, Pak. Saya
sanggup [melihat jenazah Yosua] karena yang melahirkannya. Saya akan
dikuatkan Tuhan. Saya akan lihat dulu keadaan anak ini,” ucap Rosti. Setelah berdiskusi panjang,
akhirnya keluarga Yosua diizinkan membuka peti jenazah. Saat serah terima jenazah,
Kombes Leo bertanya kepada keluarga mengenai pemakaman Brigadir Yosua. Ibu
Yosua berharap anaknya dimakamkan dengan upacara kepolisian. Kombes Leo mengiyakan,
namun dengan inspektur upacara dari Polres Muara Jambi, bukan Mabes Polri.
Hal itu tak jadi soal bagi keluarga. Leo pun sepakat, “Yang penting
kedinasan.” Namun, saat hari
pemakaman, Senin (11/7), Kombes Leo datang lagi ke rumah duka dan
menginformasikan bahwa Brigadir Yosua tak bisa dimakamkan dengan upacara
kepolisian. Samuel pun bertanya, “Saya
bisa berubah? Alasannya apa, Pak?” Leonardo, seperti
diceritakan Samuel, menjawab bahwa “Ada perintah dari Jakarta, dari Mabes,
bahwa [pemakaman Yosua] ini tidak bisa dilakukan secara kedinasan lantaran
ada syarat-syarat administrasi yang tidak terlengkapi.” Namun, Kombes Leo tak
menjelaskan syarat administrasi apa yang dimaksud. Alhasil, keluarga
memakamkan Yosua secara adat, tanpa upacara dinas kepolisian. Penembak
Jitu yang Berakhir Ditembaki Yosua mulai berkarier
sebagai polisi, khususnya di Korps Brigade Mobil (Brimob), sejak 2012. Ia
mengikuti pelatihan di Pusat Pendidikan Brimob Watukosek, Pasuruan, Jawa
Timur, selama 7 bulan. Setelahnya, Yosua
ditugaskan di Mako Brimob Batalyon B Pelopor di Kecamatan Pamenang, Kabupaten
Merangin, Jambi, yang terhitung rawan. Di sana, menurut keluarganya, Yosua
dipercaya sebagai penembak jitu atau sniper. Tugas sebagai penembak
jitu itu pula yang ia emban saat dikirim ke Papua. Itu sebabnya, Samuel sulit
percaya bahwa 7 tembakan Yosua tak satu pun mengenai Bharada E, sedangkan 5
tembakan Bharada E seluruhnya mengenai Yosua. Yosua bertugas sekitar 3
tahun di Mako Brimob Pamenang, lalu ditarik ke Mako Brimob Polda Jambi
sebagai provos—suborganisasi dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) yang
menegakkan kedisiplinan dan ketertiban di lingkungan Polri. Bertugas 3,5 tahun di Mako
Brimob Polda Jambi, pada akhir 2019 Yosua mengabari keluarganya akan pergi ke
Jakarta untuk ikut seleksi calon ajudan perwira tinggi Polri. Setelah 3 bulan di
Jakarta, Yosua kembali ke Jambi untuk mengurus berkas mutasi dari Polda Jambi
ke Mabes Polri. Ia membawa kabar gembira. Ia diterima menjadi ajudan Ferdy
Sambo yang saat itu masih brigadir jenderal dan menjabat sebagai Direktur
Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Di mata keluarganya, Yosua
adalah anak yang baik. Samuel berkata, “Dari 4 anak saya, dia inilah yang
paling patuh. Sering saya minta dia pimpin doa waktu makan, dia enggak pernah
menolak.” Yosua tak pernah sekali
pun bercerita punya masalah selama menjadi ajudan Sambo. Setahu keluarganya,
Yosua senang dengan pekerjaannya sebagai ajudan. “Dia cerita, di sana
baik-baik. Ibu-bapak (Ferdy Sambo dan istri) sayang kepadanya selayaknya
atasan kepada bawahan. Semua teman-temannya baik. Makanya waktu [Yosua]
meninggal, kami terkejut, kok bisa terjadi begini?” kata Samuel. Bukan hanya Samuel yang
berpikir Yosua menjalani pekerjaan dan kehidupan yang baik di Jakarta.
Bibinya, Rohani Simanjuntak, pun mendapat kesan positif dari cerita-cerita
Yosua. Ketika Yosua pulang ke
Jambi pada libur Tahun Baru 2022, misalnya, Yosua bercerita bahwa Irjen Sambo
memercayakan urusan keuangan dan pengeluaran harian keluarga kepadanya. Kepada bibinya, Yosua berkata,
“Bahkan urusan keuangan saja aku dipercaya Ibu [Putri] sama Bapak [Sambo]
untuk berbelanja.” Singkatnya, Yosua selalu
menceritakan kebaikan Irjen Ferdy Sambo dan istrinya. Oleh sebab itu
keluarganya heran, mengapa setelah 2,5 tahun bekerja sebagai ajudan Sambo,
Yosua justru tewas di rumah dinas sang jenderal. Tewasnya Yosua kemudian
memunculkan rumor bahwa ia dan istri Sambo memiliki hubungan istimewa. Namun,
keluarga menilai isu tersebut tak berdasar. Mereka yakin Yosua tak mungkin
berani melakukan itu. Polri pun menampik kabar
perselingkuhan antara Brigadir Yosua dengan Putri Candrawathi. Meski
demikian, hal tersebut turut diusut dalam proses penyidikan. “Tidak ada alat bukti
ataupun bukti yang mendukung hal tersebut,” kata Kapolres Jaksel Kombes Pol
Budhi Herdi Susianto. Keluarga Yosua juga tak
percaya dengan cerita pelecehan Yosua terhadap Putri seperti yang disampaikan
Polri. “Apakah
segampang itu masuk ke kamar Ibu Jenderal? Katanya Ibu istirahat di kamar.
Apa pintunya tidak dikunci? Kita kalau di rumah, apalagi perempuan, saat di
ruangan lain banyak orang, tentu kita kunci pintu.” - Samuel Hutabarat, ayah Yosua Menikah
Tahun Depan Keluarga begitu kehilangan
sosok Yosua yang selama ini menjadi harapan besar mereka. Terlebih, tahun
depan Yosua akan menikahi kekasih yang sudah ia pacari selama 8 tahun. Yosua bertemu kekasihnya
itu saat masih bertugas di Pamenang. Kini, rencana mereka berumah tangga pun
kandas. “Kemarin kami belum sampai
rumah, pacarnya sudah di sini bersama mamanya, bapaknya, abangnya. Sampai
menginap di sini dan ikut ke pemakaman,” kata Samuel. Dalam sebuah unggahan di
media sosial, Rohani mengatakan bahwa kekasih Yosua sempat mengucapkan salam
perpisahan sebelum jenazah Yosua dibawa ke pemakaman. “Delapan
tahun kita bersama menjalin hubungan, tiga tahun Abang di Jakarta, kita
enggak pernah jumpa. Sekalinya jumpa…” ”Cincin
yang aku pakai—kado ulang tahun yang pernah Abang kasih sama aku, cincin ini
ada namanya, akan aku simpan sebagai kenang-kenangan, tanda perpisahan.
Doakanlah supaya aku bisa dapat jodoh seperti Abang.” - Kekasih Yosua Siksaan
di Sekujur Tubuh Hingga kini keluarga tak
percaya Yosua tewas karena baku tembak. Apalagi setelah melihat jenazah
Yosua, mereka menemukan luka-luka tanda penganiayaan di sekujur tubuh, dari
kepala sampai kaki. Tak hanya luka tembak,
tapi juga luka sayat di bibir, hidung, bawah mata, leher, belakang kepala,
perut, dan bawah betis. Selain itu, dua jari Yosua putus, giginya patah,
rahangnya bergeser, dan bibir serta perutnya lebam-lebam. “Ini bukan
tembak-menembak. Ini penganiayaan,” kata Samuel. Senada, Ketua Indonesia
Police Watch Sugeng Teguh Santoso menduga luka-luka sayatan di jenazah Yosua
disebabkan oleh penganiayaan. Setelahnya, barulah ia tewas karena tembakan. “Mati karena tembakan.
Tapi luka-luka [di tubuhnya] itu karena penganiayaan,” ucap Sugeng. Namun, Polres Jaksel
mengatakan bahwa berdasarkan hasil autopsi di RS Polri, luka sayat di jenazah
Yosua berasal dari luka tembak. Sementara kuasa hukum
keluarga Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, menyatakan bahwa surat hasil autopsi
yang diterima keluarga saat serah terima jenazah dari Mabes Polri tidak
merinci luka-luka Yosua. “Apa saja bekas
penyiksaannya tidak dirinci. [Surat itu] ditandatangani dalam keadaan kosong.
Hanya disebut jenazah ditemukan pukul 17.00 WIB,” kata Kamaruddin. Kapolri Jenderal Listyo
Sigit Prabowo pun membentuk tim gabungan untuk mengusut kasus ini dengan
metode scientific crime investigation. Dalam tim ini, Wakapolri Komjen Gatot
Eddy Pramono bertindak sebagai penanggung jawab, dan Irwasum Polri Komjen
Agung Budi Maryoto sebagai ketua. Kompolnas dan Komnas HAM juga diajak
bergabung. “Polri akan melakukan
semua proses ini secara objektif, transparan, dan akuntabel,” tegas Listyo
Sigit. Kompolnas menerima ajakan
Polri untuk masuk dalam tim gabungan, sedangkan Komnas HAM memutuskan untuk
melakukan penyelidikan sendiri secara independen. Hal ini disambut Polri
dengan menyebut akan membuka akses seluas-luasnya kepada Komnas HAM. “Komnas
HAM akan menguji siapa yang benar. Semua informasi yang penting dalam
struktur peristiwa ini akan kami ambil; semua aktor yang terkait di sini akan
kami minta keterangannya.” - Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam ● Sumber :
https://kumparan.com/kumparannews/kematian-brigadir-yosua-bukan-baku-tembak-biasa-1-1yUD8MVGKJj/full |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar