Ulah KKB di Papua Bagong
Suyanto : Dekan FISIP Universitas Airlangga |
REPUBLIKA, 19 Juli 2022
Alih-alih berakhir, tindak
kekerasan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua kembali meletup.
Eskalasi kekerasan yang diharapkan berkurang, justru malah berkembang makin
luas. Kasus terakhir, KKB
pimpinan Egianus Kogoya menewaskan 10 warga sipil tak bersalah di Kampung
Nogolait, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua, Sabtu (16/7). Egianus
Kogoya dan rekannya, Army Tabuni, memimpin 50 orang KKB yang dipersenjatai 40
pucuk senjata api. Dalam beberapa tahun
terakhir, KKB di Papua tak lagi hanya menyerang aparat kepolisian dan
keamanan tetapi makin kerap menyasar masyarakat sipil. KKB yang sehari-hari
bersembunyi di hutan, tatkala masuk ke sebuah distrik untuk mencari makanan
dan dukungan, biasanya tanpa alasan jelas menyerang warga setempat dan
pekerja proyek yang dinilai tidak mau mendukung perjuangan mereka. Masyarakat sipil korban
serangan KKB sebagian besar pekerja infrastruktur. Tujuannya, membatalkan
atau paling tidak menghambat pembangunan fasilitas sosial-ekonomi yang
bermanfaat bagi masyarakat lokal. Tidak hanya menyerang
warga sipil, di berbagai daerah KKB dilaporkan merusak dan membakar sejumlah
fasilitas publik. Apa sebetulnya akar masalah dan pemicu perkembangan ulah
KKB yang makin mencemaskan? Kesulitan Sepanjang 2022, tercatat
puluhan kali serangan KKB. Minimal 45 kali serangan antara lain di Kabupaten
Yahukimo, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, dan Nduga.
Puluhan warga sipil dilaporkan tewas. Jalan kekerasan yang dipilih KKB
tampaknya sudah bulat. Dialog yang ditawarkan
pemerintah dan imbauan tokoh serta pimpinan agama tampak tak lagi efektif. Bagi
KKB, memperjuangkan referendum dan kemerdekaan Papua tak mungkin lagi di meja
perundingan. Meski upaya dilakukan
aparat untuk mempersempit ruang gerak KKB menjalankan aksi terornya tetapi
bukan hal mudah. Secara garis besar, dua kesulitan dihadapi aparat sehingga
tak kunjung berhasil meredam KKB. Pertama, terkait dukungan
dana dan pasokan senjata api yang titik simpulnya tak juga berhasil diputus.
Sepanjang KKB masih memiliki senjata dan amunisi, konflik di Papua tak akan
berakhir dan warga tak bersalah menjadi korban. Berdasarkan data Aliansi
Demokrasi untuk Papua, di Tanah Papua perdagangan senjata melibatkan paling
tidak 51 pelaku, penyalahgunaan 52 pucuk senjata api, dan 9.605 butir
amunisi. Setidaknya, itu terjadi pada 2011 hingga 2021. Dana pembelian
mencapai Rp 7,2 miliar. Pelaku perdagangan,
berasal dari sejumlah kalangan. Selain 31 warga sipil, 20 orang di antaranya
oknum anggota TNI/Polri. Jual beli
senjata untuk KKB terjadi di Sorong, Manokwari, Biak, Serui, Nabire, Wamena,
Timika, Jayapura, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Merauke. Kedua, wilayah Papua yang
banyak hutan belantara dan pergunungan mempersulit aparat melakukan
pengamanan dan menangkap pelaku teror. Menurut data Polda Papua,
sejak 2016 hingga kini terjadi 12 kasus penyerangan pekerja yang melaksanakan
pembangunan Trans-Papua dan infrastruktur lainnya, seperti di Puncak, Nduga,
Intan Jaya, dan Yahukimo. Serangan terbesar KKB
ketika kelompok Egianus Kogoya menyerang 28 pekerja PT Istaka Karya pada 2
Desember 2018 di Bukit Kabo, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga. Sebanyak 17 orang
dilaporkan meninggal, tujuh orang selamat, dan sejumlah orang dikabarkan
belum ditemukan. Hingga kini, hampir 50 orang pekerja infrastruktur meninggal
dan 11 pekerja luka berat akibat serangan KKB. Distrust Banyak studi
memperlihatkan, persoalan dan akar kekerasan KKB di Papua tak hanya terkait
ekonomi, juga faktor historis yang
belum tuntas. Kekerasan dan pelanggaran HAM selama pendekatan keamanan di
Papua, membuat konflik tak kunjung terselesaikan. Perubahan pendekatan
operasi keamanan menjadi kesejahteraan sepertinya belum berhasil menarik
minat sekaligus menyadarkan anggota KKB agar tak menghalalkan segala cara
untuk melawan pemerintah. Secara substansial, yang
dilakukan dan berkecamuk di kalangan KKB di Papua bukan sekadar karena
ketidakpercayaan (distrust). Di mata KKB, pendekatan ekonomi kesejahteraan
belum dianggap jawaban karena bagi mereka yang terpenting kemerdekaan. Peristiwa di Kampung Nogolait, Distrik Kenyam, Nduga
memperlihatkan, KKB sepertinya memilih jalan tersendiri meski berisiko membuat orang lokal yang semula
mendukung perjuangan KKB memerdekakan Papua, kini bukan tidak mungkin
berbalik arah. KKB tampaknya tidak lagi
peduli konsekuensi yang bakal terjadi jika ulah mereka memantik reaksi kurang
simpati dari masyarakat lokal. Untuk mempersempit gerak KKB, kini aparat
harus transparan dan menggandeng penduduk lokal. Sepanjang hanya
mengandalkan pendekatan keamanan dan tak melibatkan masyarakat lokal, persoalan ketidakadilan
dan dendam masa lalu terus memicu perlawanan, baik dengan aksi damai menuntut
referendum, diplomasi di luar negeri, maupun aksi bersenjata. ● Sumber :
https://www.republika.id/posts/30041/ulah-kkb-di-papua |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar