Kunjungan Biden dan
Bahaya Iran Smith
Alhadar : Penasihat The Indonesian Society for
Middle East Studies (ISMES) |
REPUBLIKA, 20 Juli 2022
Di tengah merosotnya
popularitas di dalam negeri akibat inflasi tinggi yang dipicu kenaikan harga
gasolin, Presiden AS Joe Biden melakukan lawatan empat hari, 13-16 Juli 2022,
ke Timur Tengah. Kunjungan ini juga
berlangsung di tengah keprihatinan sekutu Israel dan Arab terkait kemungkinan
dipulihkannya kesepakatan nuklir Iran, Rencana Aksi Komprehensif Bersama
(JCPOA). Paling tidak, ada tiga
sasaran dalam lawatan ini. Pertama, Biden ingin menegaskan pada Israel, Arab
Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) khususnya, AS tetap berkomitmen menjaga
keamanan dan integritas teritorial mereka dari kemungkinan ancaman Iran,
Rusia, atau Cina. Dia perlu menegaskan ini
karena pemerintahannya lebih fokus pada kawasan Indo-Pasifik, tempat Cina
makin asertif dan agresif. Di sisi lain, terdapat pandangan berbeda AS dengan
sekutunya di kawasan menyangkut pemulihan JCPOA. Pada 2015, kekuatan dunia,
yaitu AS, Rusia, Cina, Inggris, Prancis plus Jerman dengan Iran
menandatangani JCPOA, yang membatasi program nuklir Iran dengan imbalan Iran
diizinkan untuk mengekspor energinya ke pasar global. Jadi, dalam pandangan AS,
ancaman nuklir Iran bisa direduksi hingga nol. Namun, kesepakatan itu tak
menghilangkan kekhawatiran sekutu pada Iran. Maka itu, saat Presiden Donald
Trump berkuasa, AS mundur dari kesepakatan dengan alasan JCPOA terlalu
menguntungkan Iran. Mundurnya AS diikuti
tekanan menyasar ekonomi Iran untuk memaksa Teheran merundingkan kembali
JCPOA, dengan memasukkan klausul program rudal dan perangainya di kawasan. Artinya, Iran harus
menghentikan program rudal balistiknya dan menarik diri dari negara Arab,
seperti Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Iran memiliki proksi melalui
penciptaan milisi bersenjata Syiah di sana. Sayang kebijakan Trump
gagal. Bukan saja Iran tak menyerah, melainkan juga meningkatkan pengayaan
uranium hingga 60 persen, hal yang dilarang dalam JCPOA. Lebih jauh, Iran
mendestabilisasi Teluk dengan menyerang tanker-tanker internasional dan
instalasi minyak Saudi. Sementara itu, tidak ada
cara yang efektif menghentikan Iran. Memilih perang terbuka dengan Iran
terlalu mahal, berisiko, dan AS tidak siap. Iran tentu akan kalah dalam
pertempuran, tetapi pasti AS tidak akan memenangkan perang. Malah, mengingat Iran
memiliki sejumlah persenjataan relatif canggih untuk mengobarkan api di
Teluk, perang all out hanya akan mendatangkan bencana bagi kawasan. Lagi
pula, AS tak akan mendapat pembenaran DK PBB karena Rusia dan Cina akan
memvetonya. Maka itu, di mata Biden,
sebagaimana Barack Obama, JCPOA jalan terbaik mencegah perang sekaligus
menghilangkan potensi senjata nuklir Iran. Namun, di mata Israel,
UEA, dan Saudi membiarkan Iran leluasa mengekspor minyak dan gasnya ke pasar
global, justru memperkuat perangai buruknya di kawasan dan semakin leluasa
mengembangkan rudal balistiknya, yang dapat mencapai seluruh Timur Tengah. Lebih penting dari itu,
mereka tak percaya Iran menguburkan ambisinya memiliki bom nuklir. Karena,
terdapat jejak-jejak uranium di situs-situs nuklir Iran pada 2003, yang
enggan dijelaskan Teheran sebagaimana diminta badan pengawas nuklir PBB
(IAEA). Menurut anggapan mereka,
Iran diam-diam masih mengembangkan program bom nuklir. Untuk memulihkan
JCPOA, sejak April tahun lalu lima negara penanda tangan kesepakatan,
berunding langsung dan AS melakukan perundingan tak langsung dengan Iran di
Wina, Austria. Sayang kendati mencapai
kemajuan signifikan, kesepakatan final belum dicapai karena AS bersikeras
mempertahankan pasukan elite Iran (Quds) -- cabang Korps Garda Revolusi Islam
yang bertanggung jawab menjalankan politik regional – dalam daftar pendukung
teroris. Aliansi militer AS-Israel,
ditandatangani Biden dengan PM Israel Yair Lapid yang menegaskan pilihan
militer untuk menghancurkan situs nuklir Iran dilakukan jika jalan diplomasi
buntu, untuk menenangkan Israel dan sekutu Arab sekaligus meningkatkan posisi
tawar AS dalam perundingan dengan Iran dalam waktu dekat. Kedua, lawatan Biden ke
Saudi dengan mematahkan janji kampanyenya untuk mengisolasi penguasa de facto
Pangeran Mohammad bin Salman (MBS), terkait pembunuhan jurnalis senior Jamal
Khashoggi pada 2018, punya tujuan yang tak kurang strategis. Yaitu, mengatasi
kelangkaan gasolin di AS, yang memicu inflasi sangat tinggi (lebih dari 9
persen) dalam 40 tahun terakhir. Bujukan Biden agar
perusahaan energi AS mengurangi margin keuntungan -- dengan menurunkan harga
gasolin, yang hari ini harganya melejit tajam akibat berkurangnya pasokan
minyak dan gas Rusia ke Eropa – tidak berhasil. Perang Ukraina memicu
kenaikan harga energi dan pangan dunia hingga memunculkan krisis. Tampaknya
perang ini berkepanjangan karena daya dukung ekonomi Rusia untuk perang, di
luar dugaan NATO, relatif tetap kuat. Justru Eropa dan dunia
selebihnya kelimpungan menghadapi krisis. Bila dalam tiga bulan mendatang,
saat AS menggelar pemilu sela awal November krisis gas di AS tak dapat
diatasi, hampir pasti Demokrat (partainya Biden) kehilangan kursi di DPR dan
Senat secara signifikan. Di Jeddah, Saudi, Biden
tidak saja bertemu Raja Salman bin Abdulaziz, tetapi juga MBS. Di kota yang
sama dilakukan KTT yang menghadirkan pemimpin enam negara Arab Teluk (Saudi,
Oman, UEA, Qatar, Bahrain, dan Kuwait) plus Mesir, Yordania, dan Irak, selain
Biden tentunya. Pada forum ini, sekali
lagi Biden melontarkan komitmen AS menjaga keamanan Timur Tengah dari ancaman
Iran, Rusia, dan Cina. Pembicaraan Biden-MBS menghasilkan komitmen Saudi
meningkatkan produksi minyaknya hingga 13 juta barel per hari dari 11 juta
barel. Ketiga, sebelum ke Jeddah,
Biden ke Betlehem, Tepi Barat, untuk menemui Presiden Otoritas Palestina
Mahmoud Abbas. Setelah 45 menit bertatap
muka, dalam konferensi pers Biden mengatakan, AS tetap menuntut
pertanggungjawaban atas pembunuhan Shireen Abu Akleh di Tepi Barat, 11 Mei
silam, tetapi ia tak menyebut Israel, yang menurut investigasi PBB, dilakukan
Israel. Biden juga mengatakan,
komitmennya pada cita-cita solusi dua negara tidak berubah. Rakyat Palestina, menurut dia, patut
mendapatkan negara sendiri yang independen, berdaulat, langgeng, dan
berdampingan. Sebelumnya, saat ke Yerusalem Timur, Biden mengumumkan
bantuan kemanusiaan 300 juta dolar AS kepada Palestina, yang dulu dihentikan
Trump. Ini bukan hal utama yang diharapkan Palestina dari Biden. Palestina mengharapkan
penghentian pembangunan permukiman Yahudi di tanah pendudukan Tepi Barat dan
Yerusalem Timur, menghapus politik apartheid, menghentikan pembunuhan atas
rakyat Palestina, dan menggerakkan kembali proses perdamaian yang terhenti
sejak 2014. Namun, isu-isu ini tak
muncul dari Biden karena tak mau kehilangan dukungan Israel dan lobi Yahudi
atas posisi politik dalam negerinya yang rawan. Kunjungan Biden ke Tepi
Barat terjadi di tengah rumor tentang kesehatan Abbas (87) yang memburuk.
Juga terkait popularitasnya yang terus anjlok akibat terhentinya proses
perdamaian berdasarkan Kesepakatan Oslo 1993 yang diarsitekinya. Pengganti Abbas belum ada
kecuali Marwan Barghouti yang kini dipenjara Israel. Israel enggan
melepaskannya karena ia jauh lebih populer daripada Abbas. Jadi, pertemuan
Biden-Abbas yang disertai janji bantuan finansial tak lain untuk mengangkat
legitimasi Abbas. Namun, ini tak menjamin
keamanan Timur Tengah bila Abbas meninggal dunia. Kita jadi heran, mengapa
AS membiarkan negara kecil Israel mengendalikan politik luar negerinya
kendati harus melanggar HAM dan hukum internasional yang dikhotbahkannya ke
seluruh dunia? ● Sumber :
https://www.republika.id/posts/30102/kunjungan-biden-dan-bahaya-iran |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar