Quo Vadis Bahasa
Indonesia? Nuim Khaiyath : Kepala Siaran Bahasa Indonesia di
Radio Australia |
CEKNRICEK.COM, 22
Juli
2022
Kita patut
sedih bahwa kelarisan Bahasa Indonesia di kalangan para siswa-siswi di
Australia sudah sangat menurun. Sebagaimana halnya juga dengan bahasa-bahasa
asing lainnya, terutama bahasa-bahasia Asia, seperti Mandarin, Bahasa Jepang
dan Bahasa Korea. Namun, akan
halnya Bahasa Indonesia herankah kita? Rasanya tidak, mengingat di Indonesia
sendiri Bahasa Indonesia sudah begitu dianak-tirikan oleh para pemakainya,
terutama di kalangan kelas menak, seperti para pejabat dan wakil rakyat.
Termasuk juga para pengamat. Mungkin karena banyak di antara mereka pernah
belajar di luar negeri, hingga salah satu cara untuk membuktikan kenyataan
itu adalah dengan menggunakan kata-kata asing dalam banyak kesempatan,
biarpun ada padanannya dalam Bahasa Indonesia. Secara umum
dan keseluruhannya, pemakaian Bahasa Indonesia di Indonesia sendiri memang
sudah sangat sembrono, seolah para pemakai bahasa pemersatu Republik
Indonesia ini tidak pernah mempelajarinya ketika di sekolah. Saya sendiri
kurang paham bagaimana tata cara pengajaran Bahasa Indonesia sekarang ini di
sekolah-sekolah. Sejumlah dosen
dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia pernah mengeluhkan dalam suatu
seminar di Australia bahwa banyak sekali dari para mahasiswa/i yang kurang
mampu menulis skripsi dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dan sekarang
dengan begitu menjamurnya sarana pengiriman pesan-pesan singkat, seperti
lewat telepon genggam dan sejenisnya, maka bahasa Indonesia yang baik dan
benar kian tercabik-cabik dan centang perenang. Di mana Dewan Bahasa Indonesia? Salah satu
perkataan asing yang terserap ke dalam Bahasa Indonesia dan langsung menjadi
laris adalah "apresiasi" - yang artinya menghargai. Pada hal,
perkataan mengapresiasi lebih mubazir dibanding menghargai - mengapresiasi
terdiri atas 4 suku kata, menghargai hanya 3 suku kata. Aneh 'kan? Orang suka
heran kenapa kota di pesisir barat Amerika Serikat, Los Angeles, lebih sering
disingkat menjadi LA, sedangkan kota tenar Amerika Serikat di pesisir timur,
New York, disebut New York, bukan NY. Ini karena Los Angeles terdiri atas 4
suku kata, sedangkan New York hanya 2 suku kata, hingga tidak lagi perlu
dipersingkat. Di Indonesia, banyak orang meninggalkan perkataan yang lebih
hemat dan memungut/meminjam perkataan yang lebih boros. Demi apa? Tidak jarang
perkataan asing yang di "Indonesia-kan" itu menyalahi makna
aslinya. Seperti "prerogatif" - yang dalam bahasa Inggris (dieja
prerogative) berarti "hak khusus". Di Indonesia tanpa malu-malu
banyak pejabat dan politisi yang menggunakan perkataan itu dengan didahului
perkataan "hak" hingga menjadi "hak prerogatif presiden".
Seharusnya cukup prerogatif presiden atau kenapa tidak sekadar hak
kepresidenan? Pernah seorang
pimpinan sebuah partai politik yang sangat terkemuka di Indonesia, mungkin
saking geramnya mendengar banyak tokoh Muslim mengingatkan umat tentang
akhirat, menggunakan ungkapan asing (Inggris) "self fulfilling
prophecy". Ungkapan itu memang bagus, cuma penggunaannya sama sekali
tidak tepat dalam kaitan dengan soal akhirat itu. Namun tidak ada yang berani
menggugat. Maklum beliau adalah pimpinan parpol yang sangat terkenal. Banyak surat
kabar di Indonesia yang tidak lagi menggunakan nama hari dalam bahasa
Indonesia, melainkan Bahasa Inggris. Mungkin saja memang ada kalangan yang
kurang berkenan dengan kenyataan bahwa Bahasa Indonesia menyerap banyak
perkataan Arab yang kemudian disamakan dengan Islam, khusus dalam
istilah-istilah peradilan, dan hari, seperti Senin (itsnin -kedua, selasa -
salasa- ketiga dan seterusnya.). Jelas kita
menghendaki agar Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang hidup dan berkembang,
namun bukan dengan cara melupakan perkataan yang sudah ada dan
menggantikannya dengan perkataan baru yang dipungut dari bahasa asing. Adakah
kenyataan ini merupakan pencerminan dari kerendahan diri kita sebagai bangsa?
Mungkinkah kita sudah tidak lagi bangga dengan warisan nenek moyang kita?
Mungkinkah kita sudah terlanjur memandang remeh segala yang asli dari kita
dan memandang penuh ketakjuban segala yang asing, terutama dari Barat? Ketika berada
di Korea Selatan, saya sangat kagum pada kebanggaan bahkan nenek-nenek di
negara itu. Setiap kali saya ke pasar-pasar rakyat di ibukota Seoul,
misalnya, saya melihat bagaimana nenek-nenek yang menggelar dagangan celana
jinsnya di pinggir jalan, dengan bangga menunjuk dengan jempol ke dagangannya
itu seraya mengucapkan "Hankook, Hankook" - yang artinya
celana-celana tersebut adalah buatan Korea (Selatan), karenanya bagus. Kalau di
Indonesia, seorang pedagang lebih mungkin akan meyakinkan kepada kita bahwa
dagangannya itu adalah kelas satu karena "buatan luar negeri". Sebelum
digugat, saya mohon ma'af karena judul tulisan ini meminjam bahasa Latin Quo
vadis (kasarnya 'mau ke mana bahasa Indonesia'?). Wallahu
A'lam. ● |
Sumber
: https://ceknricek.com/a/quo-vadis-bahasa-indonesia/32438
Tidak ada komentar:
Posting Komentar