Mikropolitik
Kuntowijoyo Seno
Gumira Ajidarma : Wartawan |
KOMPAS, 24 Juli 2022
Tiga cerita
pendek Kuntowijoyo mengungkap wacana mikropolitik. Cara kreatif seorang
sejarawan memperbincangkan politik. Dalam cerita ”Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi”
(2003), Kuntowijoyo (1943-2005) menyebutkan istilah micro-level politics,
yang penjelasannya dalam ruang sempit cerita (pendek) adalah bukan
national-level politics atau local-level politics yang menyangkut ideologi
dan partai-partai, tetapi sekadar peristiwa di tingkat desa di pinggiran Kota
Yogyakarta. Namun, ternyata bahwa politik kecil-kecilan itu tidak kalah
memusingkannya daripada politik yang gede-gede. Pelakunya harus putar otak,
pandai mengutak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya (2013, h. 126). Sebelum berlanjut menengok ceritanya, baiklah
dirujuk sebentar wacana mikropolitik yang berarti: intervensi skala-kecil
yang digunakan untuk mengatur perilaku orang banyak. Kajian atas teknik
mikropolitik mulai ketika pemikir politik modern mengalihkan perhatian, dari
kedaulatan hukum ke pengaturan ekonomi dan sistem sosial yang kompleks. Dalam realpolitik Pada awal abad ke-19, Proudhon mengamati bahwa
diatur oleh pemerintah artinya diamati dan dikontrol dalam segala aspek
kehidupan. Pengamatannya langsung menunjuk teknik mikropolitik pemerintah,
tempat perilaku dikoordinasi melalui bentuk-bentuk peraturan, pengukuran, dan
kendali atas kehidupan sehari-hari daripada melalui undang-undang. Maka, pada abad ke-20, dalam pandangan Foucault,
Deleuze, dan Guattari: mikropolitik adalah suatu tipe regulasi politik yang
terlibat dalam pemolesan pilihan, sikap, dan persepsi subyek individual.
Mikropolitik menyumbang terbentuknya hasrat, kepercayaan, kecenderungan, dan
penilaian subyek politik (Scherer dalam https://www.britannica.com/topic/micropolitics--17/07/2022). Itu teori, tetapi Kuntowijoyo mengungkap
realpolitik-nya: (mikro) politik dalam praksis, kali ini yang berlangsung
dalam micro-level politics alias politik tingkat mikro dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam ”Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi” tadi,
Sutarjo, yang berambisi jadi lurah, telah dikalahkan lawannya, pensiunan
tentara, dengan segala macam cara curang: antara lain mengungkap Sutarjo
tidak ”bersih lingkungan” (almarhum ayahnya terlibat G30S); camat memoroti
dengan merayu untuk menyewakan tanah semurah-murahnya; penasihat politiknya
lebih banyak menjerumuskan daripada menguntungkan (demi citra sebagai
”Muhammadiyah moderat”, Suteja disuruhnya merawat kuburan kakeknya); dan
seterusnya. Namun ”pelajaran pertama” justru didapat setelah
kalah karena penasihat politiknya mendorong-dorong agar Sutarjo menjadi juru
damai setelah desanya terbelah menjadi dua kubu. Betapapun, meski sudah
potong kambing, kubu lawan ternyata bikin pesta kemenangan pada jam yang
sama, lurah baru pun segera pamit. Gagal usaha membalik kekalahan jadi
kemenangan (Kuntowijoyo, op.cit., h. 125-36). Kuasa mikropolitik, memang, terbedakan dari
kekuasaan hukum karena hukum tergantung pada pelarangan, pencegahan, dan
pembatasan perilaku. Sebaliknya, teknik mikropolitik tergantung pada
penanaman nilai, penempatan, keahlian, dan kapasitas untuk membentuk
perilaku. Adapun karena mikropolitik tidak tergantung pada kekuasaan hukum,
teknik mikropolitik membolehkan negara memindahkan fungsi pemerintah kepada
jejaring administrasi lain (Scherer, op,cit.). Dalam cerita tadi, kejujuran
dalam politik tidak ada artinya dalam masyarakat yang kurang menghargai
kejujuran itu sendiri. Koalisi Peri Bentuk mikropolitik lain terungkap dalam ”Laki-laki
yang Kawin dengan Peri” (1994). Pembukaannya cukup sering dikutip, ”Mau jadi
anggota DPR? Boleh, asal dengarkan ini.” Apa ceritanya? Kromo Busuk disebutkan berbau busuk,
maka setelah orang luar desanya mengeluh, ia pindah ke tepi desa. Ternyata
semua orang sekarang membauinya juga, dan Kromo bukan hanya terbuang,
melainkan juga membuang diri. Ia tidak keberatan untuk mati. Sampai ternyata
ada perempuan yang bersedia untuk dikawininya. Namun, perempuan itu adalah peri. Setelah mati,
Kromo dipercaya telah diperbudak di dunia peri, sebagai gantinya pembalasan
Kromo terhadap penduduk desa dipenuhi: berlangsung pageblug alias wabah. Pada
akhir cerita tertulis, "Demikianlah cerita itu. Ibaratnya, jangan
disia-siakan orang lemah, dia akan bekerja sama meski dengan siluman
sekalipun.’ (Kuntowijoyo, op.cit., h. 1-8). Tentu saja ini pun keberlangsungan mikropolitik.
Kode ”mau jadi anggota DPR?” menunjuk langsung proses politik, tetapi di sini
yang mikro secara kultural menembus naratif tentang lelembut sebagai bagian
dari keseharian desa. Mikropolitiknya, ada kiai bilang kalau ada orang mati
ya mengajilah—yang politis pun jelas: jangan disia-siakan orang lemah.
Pemerintah barangkali menempatkan kiai sebagai bagian ”jejaring administrasi
lain”, tetapi narator mengambil peran penting dengan perbandingan antara
”anggota DPR” dan ”orang lemah”. Politik berasal dari kata politeia dalam bahasa
Yunani, yang berarti ’komunitas warga kota’, tetapi kemudian lebih digunakan
untuk pengertian (ikut) membentuk pemerintahan (Wikipedia, 18/7/2022). Namun,
politik sendiri berarti ‘tindakan yang tampak bernalar dan adil dalam suatu
keadaan’ (Oxford Languages, 18/7/2022), yang selangkah lagi menuju policy
atawa kebijakan. Dalam mikropolitik, sekali lagi, kebijakan dalam tindakan ini
(dapat) berlangsung dalam kehidupan sehari-hari di luar lembaga formal
politik. Dalam ”Politik Kakakku Yudo” (1971) dapat diikuti
penerapan mikropolitik dalam dunia kanak-kanak seperti berikut: menurut Yudo,
sepak bola bukan adu otot, melainkan adu otak, karenanya sepak bola adalah
politik. Begitu pula dengan bagaimana siput mengalahkan kancil dalam adu
lari, bukan siputnya yang hebat, melainkan politiknya. Yudo pun berpolitik ketika Pak Kami Tua selalu
merenung-renung di tepi sawah. Konon ia tak tahan dengan pertengkaran anak
mantu di rumah. Dampak sampingan, anak-anak desa tidak bisa mencuri timun.
Pemilik sawah, anak Pak Kami Tua yang mau kawin lagi, mengizinkan Yudo
mengambil timun sebanyak ia mau, jika berhasil mengembalikan Pak Kami Tua ke
rumah. Dengan seekor ular Lare Angon tak berbisa, Yudo
berhasil membuat Pak Kami Tua takut dan tidak muncul lagi, bahkan sakit,
sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Walau sudah mengangkut banyak timun,
Yudo menyesal mendengar kabar Pak Kami Tua sakit, dan ikut jatuh sakit.
Untungnya, Pak Kami Tua kemudian bisa sembuh. Pak Kami Tua dan Yudo
berpelukan dengan air mata bercucuran. Yudo kini tak bangga lagi dengan gagasan politik—dan
ternyata politiknya terhadap Pak Kami Tua pun gagal, karena setelah itu Pak
Kami Tua kembali suka merenung-renung, kali ini di bawah rumpun bambu
(Kuntowijoyo, 2020: 223-48). Dalam artikulasi Tentunya lebih jelas sekarang apa itu mikropolitik.
Kata kuncinya: skala kecil dan kehidupan sehari-hari. Namun, pengertian
politik di sini mendapat konotasi (baca: makna tambahan) negatif—dan
pengertiannya pun mengalami reduksi sekadar menjadi ”siasat”. Jika taktik
adalah bagian dari strategi, dan strategi adalah bagian dari kebijakan,
menjadi jelas pula bahwa kebijakan teoretis bisa berubah artikulasi dalam
praksis, dan realpolitik inilah yang dihayati pada tingkat mikro. Melahirkan
istilah di tingkat mikro yang negatif pula: ”politik-politikan”. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/23/mikropolitik-kuntowijoyo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar