Malaikat CCTV R. Budijanto
: Editor Senior Jawa Pos |
JAWA POS, 24 Juli 2022
PENEMUAN
teknologi hampir selalu menimbulkan ketergantungan. Cara hidup yang lebih
mudah yang ditawarkan temuan baru bisa membuat orang kurang terampil
menjalani hidup, seperti sebelum penemuan teknologi baru itu. Kita tidak bisa
membayangkan hidup tanpa handphone, misalnya. Sampai lupa bahwa dalam banyak
kurun waktu, manusia pernah hidup tanpa handphone dan baik-baik saja. Teknologi CCTV
juga sedikit banyak menimbulkan ketergantungan. Sebelum closed circuit
television populer sebagai peranti keamanan, para aparat hukum bisa menguak
banyak kasus. Tanpa bantuan rekaman visual sebagai petunjuk, karena memang belum
ditemukan atau tak tersedia. Dengan metode ilmiah dan tata cara pemeriksaan
yang berkembang saat itu, banyak kasus besar bisa terkuak. Kejahatan rumit
tetap bisa ditaklukkan dengan gairah penegakan keadilan. Penggunaan
CCTV atau ’’televisi saluran tertutup’’ memang dapat memudahkan dalam memberi
petunjuk suatu kejadian. Bahkan bisa mencegah terjadinya pelanggaran atau
kejahatan. Pelanggaran lalu lintas sekarang mulai dibuktikan dengan rekaman
visual CCTV. Dan, untuk menjerat para pelanggar itu, perangkat yang terdiri
atas kamera, DVR (perekam video digital), dan monitor tersebut makin akurat.
CCTV juga bisa merekam wajah pengemudi saat malam. Bahkan, teknologi pada
CCTV yang dilengkapi inframerah diklaim dapat menembus kaca film mobil yang
digelapkan. Pelanggar pada
akhirnya sulit mengelak ketika perilaku berkendaranya terekam CCTV. Mau tak
mau harus menuruti proses hukum. Tak bisa mereka berharap, misalnya, CCTV
kebetulan mati dua pekan sebelumnya atau CCTV tersambar petir sehingga tak
terekam pelanggarannya. CCTV makin
akrab menjadi metode pengawasan melekat, pelengkap pengawasan malaikat. Kita
lihat rumah-rumah ibadah juga banyak memasang CCTV. Padahal, orang-orang
beriman itu haqqul yaqin segala gerak-gerik siapa pun terawasi oleh malaikat,
bahkan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam sendiri. Namun,
pemasangan CCTV tetap diperlukan. Sebab, informasi hasil pengawasan malaikat
tidak bisa diunduh seketika. Baru bisa dilihat di akhirat kelak. Padahal,
kalau ada yang mencuri motor atau kotak amal, perlu informasi segera untuk
menangkap pelakunya. Maka, ’’malaikat’’ CCTV bisa diandalkan. Dan kita lihat
di medsos, banyak unggahan rekaman kejahatan atau perilaku unik yang bisa
terkuak gara-gara CCTV. Hakikatnya
CCTV itu netral. Merekam apa saja yang melintas di depannya. Si pemasang
bermaksud mengawasi orang lain yang mungkin berbuat tidak baik. Di sini CCTV
memang bertujuan mengontrol orang lain. Dan, ’’kebetulan’’ CCTV generasi awal
dikembangkan di Rusia pada 1927. Diperagakan di hadapan Joseph Stalin, tiran
besar yang paranoid ingin mengontrol semua rakyatnya. Kini semua
bangsa memanfaatkan CCTV, dipacu oleh teknologi digital yang efisien. Tahun
lalu, tercatat ada 1 miliar CCTV di seluruh dunia. Kalau penduduk dunia 8
miliar, berarti setara 8 orang diawasi 1 CCTV. CCTV sudah menjadi ’’Bung
Besar’’ (Big Brother) yang diramalkan George Orwell dalam novel 1984 yang
terbit pada 1948. Upaya mengontrol perilaku manusia (lewat mata elektronik)
benar-benar terjadi saat ini. Kadang si
pemasang CCTV lupa bahwa dirinya pun bisa berbuat tidak baik. Memasang CCTV
bisa saja terhindar dari kejahatan orang lain, tetapi tidak dari kejahatan
diri sendiri. Pada saat berbuat, bisa saja justru tersorot oleh CCTV yang
dipasangnya sendiri. Ketika dia tersorot saat berbuat keji dan mungkar, maka
dirinya-lah yang ’’terkontrol’’. Memasang CCTV, tepercik gambar ke muka
sendiri. Tentu saja
ironi itu harus dihindari oleh si pemasang. Maka saat melakukan perbuatan
yang tidak patut, CCTV dimatikan. Kalau lupa mematikan saat perbuatan
dilakukan, tinggal hapus rekamannya. Tapi, menghapus rekaman bisa
mencurigakan. Kalau dalam periode waktu tertentu, misal rekaman lancar lalu
hilang selama 2–3 jam, kemudian lancar lagi, malah tidak logis. Maka, bisa
saja bilang CCTV kena petir beberapa waktu sebelumnya (berkilah pun memang
harus tampak logis; akan lebih sulit menjelaskan kalau mengaku CCTV mati,
misalnya, kena banjir atau ditabrak tokek). Orang
baik-baik tentu tak khawatir dengan CCTV, termasuk CCTV-nya sendiri. CCTV
justru bisa memberi manfaat apabila harus membuktikan ketidakbersalahannya.
Bisa menjadi alibi atau dia berada di tempat lain saat kejahatan terjadi.
Rekaman CCTV bisa menyelamatkannya dari tuduhan. Kalau perlu,
cari bantuan rekaman CCTV di sekitar tempat tinggalnya. Sebab, selain rumah
pribadi atau dinas, kini banyak sekolah, kantor, pasar, mal, supermarket,
apartemen, rumah sakit, bahkan lingkungan RT/RW yang memasang ’’malaikat’’
CCTV. CCTV dari sekitar lingkungannya bisa menunjukkan bahwa dia memang tak
ada di sekitar tempat kejahatan saat kejahatan terjadi. Itu kalau orang
baik-baik. Kalau mencari CCTV lain untuk
dibungkam juga, tentu semakin mencurigakan. Justru dari rangkaian CCTV yang
mati ’’tersambar petir’’, lalu membungkam CCTV lingkungannya, bisa memberi
petunjuk sebaliknya. Bahwa memang ada wajah-wajah yang ingin disembunyikan
dari ’’malaikat’’ elektronik itu saat kejahatan terjadi. ● Sumber
: https://www.jawapos.com/opini/24/07/2022/malaikat-cctv/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar