Pendekatan Humanistis
dalam Penegakan Hukum di Indonesia St Burhanuddin :
Jaksa Agung Republik Indonesia |
JAWA POS, 22 Juli 2022
TOLOK ukur
keberhasilan suatu negara dengan konsepsi negara hukum adalah keberhasilan
dalam penegakan hukumnya. Dikatakan berhasil apabila hukum ditegakkan sesuai
aturannya, begitu pun sebaliknya. Kurang optimalnya kepatuhan terhadap
regulasi akan berimplikasi terhadap kredibilitas para pembentuk dan pelaksana
aturan serta semua subjek norm adressat pemberlakuan aturan tersebut. Presiden Joko
Widodo dalam arahannya pernah menyampaikan bahwa kejaksaan adalah institusi
terdepan dalam penegakan hukum dan pengawal kesuksesan pembangunan nasional.
Kiprah kejaksaan adalah wajah pemerintah dalam kepastian hukum baik di mata
rakyat dan internasional. Penegakan hukum pada prinsipnya memberikan keadilan
untuk seluruh lapisan masyarakat. Namun, tidak
dapat dimungkiri, penegakan hukum di Indonesia masih belum optimal dalam
memberikan perlindungan hukum dan akses keadilan bagi rakyat kecil. Oleh
karena itu, kejaksaan merespons realitas tersebut dengan menerbitkan
kebijakan yang concern atau berpihak kepada rakyat kecil yang berhadapan
dengan hukum utamanya untuk kasus-kasus ringan. Dalam kurun
satu dekade terakhir, ada sejumlah kasus ringan yang menyita perhatian
publik. Sebut saja pencurian tiga biji kakao, getah karet, dan sandal jepit
yang nilai kerugiannya hanya belasan ribu rupiah. Jika ditilik dari
perspektif kepastian hukum, para pelaku telah memenuhi unsur-unsur pencurian
Pasal 362 KUHP. Sehingga secara legal formal terhadap pelaku ”harus”
dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Namun, saat itu masyarakat
berpendapat lain. Mereka menginginkan adanya diskresi agar hukum dapat
diterapkan secara fleksibel, tidak kaku. Sebab, pada dasarnya tujuan hukum
selain keadilan dan kepastian hukum adalah kemanfaatan hukum. Kondisi
penegakan hukum tersebut diperparah dengan rendahnya hukuman yang dijatuhkan
kepada para koruptor sehingga masyarakat tergerak, sepakat untuk melabeli
penegakan hukum di Indonesia: ”tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Sebagaimana
negara yang pernah menerapkan asas konkordansi, aturan-aturan kolonial pada
masa lalu sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat modern. Corak
penghukuman atau retributif di berbagai belahan negara sudah mulai
ditinggalkan karena dianggap telah usang dan tidak mengakomodasi kebutuhan
hukum masyarakat. Karena selain tidak mengurangi jumlah pelaku tindak pidana,
juga menambah keruwetan dalam sistem pemasyarakatan, termasuk overload di
semua lembaga pemasyarakatan. Bertolak dari
permasalahan yang timbul, dalam Kongres PBB Ke-9 Tahun 1995 ”The Prevention
of Crime and The Treatment of Offenders” (dokumen A/CONF.169/16) diungkapkan
perlunya semua negara untuk mempertimbangkan ”privatizing some law
enforcement and justice functions” dan ”alternative dispute resolution”
berupa mediasi, konsiliasi, restitusi, dan kompensasi dalam tahapan penegakan
hukum untuk menjawab masalah yang ditimbulkan dari keadilan retributif. Berdasar hal
tersebut, diperlukan ”solusi lain” yang lebih membumi dan humanistis dalam
mengentaskan persoalan penegakan hukum. Yakni dengan memberikan kesempatan
kepada korban tindak pidana untuk tidak hanya menerima putusan hakim, tapi
juga memperjuangkan nasibnya untuk mencapai keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan hukum. Caranya, dengan mendudukkan pihak yang beperkara dalam
satu forum pemecahan masalah dengan dimediatori aparat penegak hukum. Untuk
itu, merupakan tugas aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan Republik
Indonesia (RI) bersama-sama dengan stakeholders lainnya, mencari suatu
(solusi) alternatif terbaik dalam penegakan hukum di Indonesia dengan tetap
memperhatikan kebijakan yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam RPJMN
2020–2024. Pendekatan Humanisme dalam Hukum Hukum dan
humanisme bagai dua sisi mata uang. Keduanya terikat satu sama lain dan tidak
dapat dipisahkan. Meminjam pendapat Satjipto Rahardjo yang mencetuskan teori
hukum progresif, menyatakan bahwa ”hukum itu diciptakan untuk manusia, bukan
sebaliknya”. Dari pendapat tersebut dapat digarisbawahi, hukum diciptakan
adalah dalam rangka menjaga tatanan hidup manusia dalam semua lini
kehidupannya yang pada akhirnya demi mewujudkan masyarakat madani. Secara
terminologis, humanisme merupakan paham yang memosisikan manusia sebagai
pusat dari kehidupan. Sedangkan dalam arti filsafat, humanisme memandang
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat luhur, mampu
menentukan nasib sendiri, dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan
diri. Filsafat humanisme ini bukan barang baru. Ia sudah lahir sejak zaman
renaisans di Italia pada pertengahan abad ke-14. Pada masa itu, filsafat
humanisme merupakan penggerak perkembangan kebudayaan modern di Eropa. Dari
perspektif ideologis, humanisme memiliki nilai penting karena menjadi paham
yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia. Manusia dipandang
menempati posisi yang sangat tinggi, sentral, dan penting, baik dalam
perenungan teoretis-filsafati maupun dalam praktis kehidupan sehari-hari. Dalam konteks
Indonesia, humanisme memiliki tiga landasan fundamental. Sebab, pada dasarnya
humanisme tersebut ditarik dari fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Yaitu:
pertama, manusia merupakan tujuan akhir dari penciptaan. Kedua, manusia
sebagai mikrokosmos yang dalam istilah Jawa disebut ”jagat cilik”. Dan
ketiga, manusia sebagai cermin Tuhan di muka bumi. Pendapat beliau seolah
menegaskan paham humanisme yang berkembang di masa lalu, tidak lekang dan
masih sesuai untuk diterapkan di masa kini, khususnya dalam penegakan hukum
yang lebih ”memanusiakan manusia”. Perlu
dipahami, hukum yang humanistis adalah hukum yang berlandasan pada
nilai-nilai kemanusiaan, moral, dan etika yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Hal itu selaras dengan pendapat Von Savigny sebagaimana dikutip
oleh Moeljatno yaitu ”das recht ist und wird mit dem volke”. Hukum itu hidup
dan tumbuh bersama-sama dengan rakyat (Moeljatno, 1985:2). Sehingga idealnya,
hukum ditegakkan untuk kepentingan manusia, tidak menjadikan manusia sebagai
objek hukum. Penegakan
hukum di Indonesia memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah dengan
menempatkan hukum sebagai subjek, sedangkan manusia adalah sebagai objek
dalam penegakan hukum. Hal itu mengakibatkan hukum yang ditegakkan adalah
sesuai dengan apa yang diatur (as-is) tanpa memandang apa yang manusia
butuhkan seperti yang diajarkan dalam humanisme yang menjadikan manusia
sebagai subjek. Sehingga manusia dapat menentukan apa yang benar-benar mereka
butuhkan dalam penegakan hukum. Pilihan Pendekatan Humanistis dalam Keadilan Restoratif Nilai luhur
bangsa Indonesia adalah menghargai nilai yang hidup dalam masyarakat, salah
satunya ialah memanusiakan manusia, nguwongke wong (Jawa), ngamanusakeun
manusa (Sunda), ngeuwongke uwong (Palembang), atau sipakalebbi (Bugis). Nilai
tersebut merupakan cerminan humanis yang seharusnya dijadikan acuan dalam
penegakan hukum sehingga tujuan hukum dapat terwujud. Pendekatan hukum
humanistis pada prinsipnya memperhatikan keadilan dari dua aspek, yaitu dari
sisi pelaku kejahatan serta perlindungan terhadap hak-hak korban (ganti rugi,
restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi) yang selama ini kiranya kurang
diperhatikan dalam proses penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Manusia
sebagai animal educandum sekaligus animal educandus akan terus belajar dalam
mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi, termasuk dalam penegakan
hukum. Setelah menjalani trial and error, penegakan hukum yang humanistis saat
ini menjadi primadona dalam penegakan hukum di Indonesia. Keadilan
restoratif menjadi solusi dalam penegakan hukum yang humanistis dianggap
lebih pas diterapkan dalam penegakan hukum di Indonesia. Karena memberikan
ruang bagi para pihak yang beperkara dalam melaksanakan musyawarah untuk
mufakat dalam penyelesaian perkara pidana dengan menempatkan aparat penegak
hukum dalam tahapan mediasinya. Untuk keperluan itu, mufakat yang dicapai
dianggap lebih sesuai dengan keinginan korban tindak pidana yang selama ini
sebagian hak atau kepentingannya diambil oleh negara dan diwakilkan kepada
penuntut umum. Sehingga korban harus menerima apa pun putusan hakim dari
tahapan tersebut. Begitu pula terdakwa yang pada akhirnya akan menjalani
pidana karena hukum ditegakkan secara legal formal. Pendekatan
keadilan restoratif yang digaungkan pada 1977 oleh Albert Eglash tersebut
menitikberatkan pada prinsip restitutif dengan cara melibatkan korban dan
pelaku dalam proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan
rehabilitasi pelaku. Pendekatan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif
dianggap paling membumi dan humanistis dibandingkan dengan pendekatan
retributif dan distributif yang dijelaskan Eglash. Dalam hukum
Indonesia, konsep restorative justice sudah dikenal dalam hukum adat. Pranata
adat yang digunakan adalah community reparation boards (tetua adat) and
citizen’s panel (perwakilan masyarakat). Konsep mediasi ini diadopsi menjadi
falsafah bangsa dalam sila ke-4: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sebagai
jawaban atas keresahan masyarakat yang mendambakan hukum yang humanistis,
pada peringatan Hari Bhakti Adhyaksa Ke-60 tahun 2020, kejaksaan menerbitkan
Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif. Melalui aturan ini, diharapkan kejaksaan
dapat menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) dan
interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid).
Ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke pengadilan,
diharapkan akan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih
dekat dan memberikan kemanfaatan kepada seluruh pihak. Meski
demikian, tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan dengan mekanisme
restoratif, dalam beleid ini, ditentukan pelaksanaannya. Yaitu: pertama,
tersangka baru kali pertama melakukan tindak pidana. Kedua, tindak pidana
hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak
lebih dari 5 (lima) tahun. Dan ketiga, tindak pidana dilakukan dengan nilai
barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana
tidak lebih dari Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Perlu
dipahami, keadilan restoratif merupakan bentuk diskresi penuntutan
(prosecutorial discretion) oleh penuntut umum yang merupakan pengejawantahan
asas dominus litis. Berkaitan
dengan pelaksanaan penghentian penuntutan keadilan restoratif oleh Kejaksaan
RI, sejak tahun 2020 hingga Juli 2022 terdapat 1.361 perkara yang
diselesaikan melalui keadilan restoratif di seluruh Indonesia dengan
perincian 192 perkara pada tahun 2020, 388 pada tahun 2021, dan 781 hingga
Juli tahun 2022. Sebagai kelanjutan dari perwujudan keadilan restoratif,
kejaksaan juga telah meluncurkan Rumah Restorative Justice (RJ) pada 16 Maret
2022. Pembentukan Rumah RJ menjadi sarana penyelesaian perkara di luar
persidangan (afdoening buiten process) sebagai alternatif solusi memecahkan
permasalahan penegakan hukum dalam perkara tertentu. Yakni yang belum dapat
memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat seperti sebelum terjadinya
tindak pidana. Sampai dengan
7 Juli 2022 sudah terbentuk 848 Rumah RJ di seluruh Indonesia. Hal itu
diapresiasi positif oleh masyarakat, yang mana di dalam hasil survei yang
dirilis oleh Indikator Politik Indonesia (IPI) bahwa tingkat kepercayaan
publik terhadap kejaksaan mencapai 74,5 persen. Akhirnya, pendekatan humanistis
ini selaras dengan cita-cita hukum yang mengutamakan kepentingan masyarakat
serta tidak sekadar melihat keadilan secara positivistik, tetapi lebih
mengedepankan asas kemanfaatan. Mengingat, hadirnya hukum untuk
menyeimbangkan kehidupan masyarakat. Hal demikian sesuai dengan asas yang
dikenal ”restitutio in integrum” yang artinya hukum hadir untuk mengembalikan
masyarakat pada keadaan semula yang tenteram demi tercapainya keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan hukum yang humanistis. Serta mengedepankan rasa
kemanusiaan guna mengejawantahkan ”hukum yang tegas ke atas dan humanistis ke
bawah”. ● Sumber
: https://www.jawapos.com/opini/22/07/2022/pendekatan-humanistis-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar