Inflasi Amerika
Serikat, Pelajaran dari Sejarah The Fed, dan Respons Dunia Ronny
P. Sasmita : Analis Senior
Indonesia Strategic and Economic Action Institution |
KORAN TEMPO, 20 Juli 2022
Pada 1979, dua tahun
setelah menjabat Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter berhadapan dengan
situasi ekonomi Amerika yang pahit. Inflasi masih menggila dan bahkan
sebagian ekonom Amerika menyebutnya dengan sebutan era Great Inflation karena
kenaikan harga barang-barang tertentu sangatlah tinggi, jauh di atas core
inflation yang tercatat sampai lebih dari 20 persen. Memang, situasi ekonomi
dunia ketika itu sedang memanas, terutama setelah eliminasi “convertibility”
dolar terhadap emas oleh Nixon pada 1971, lalu main patgulipat harga minyak
dunia oleh OPEC sebagai reaksi Timur Tengah atas Perang Yom Kippur, invasi
Uni Soviet ke Angola (bersama dengan pasukan Kuba), hingga krisis Iran
setelah revolusi Islam, dan seterusnya. Pada tahun itu, Jimmy
Carter memutuskan mengganti William Miller, Gubernur Federal Reserve atau The
Fed—bank sentral Amerika—dengan Paul Volcker, yang sebelumnya sempat menjadi
Gubernur The Fed New York. Dalam beberapa minggu setelah mengambil alih
kepemimpinan The Fed, Volcker dan tim berkesimpulan bahwa aksi moneter tegas
(bold monetary policy) sangat diperlukan untuk menjinakkan inflasi. Untuk
itu, The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga jangka pendek dari sekitar
10 persen menjadi 15 persen, lalu naik lagi ke level 20-an persen,
menyesuaikan dengan tingkat inflasi kala itu (Taylor's Law). Suku bunga acuan
jangka pendek yang cukup tinggi itu bertahan sampai 1982. Inflasi akhirnya bisa
ditekan menjadi 4 persen dengan pengorbanan di sisi lain yang cukup
menyakitkan. Output industri manufaktur—Chrysler harus di-bail out pada
1980—dan pendapatan keluarga tertekan rata-rata sebesar 10 persen serta
tingkat pengangguran naik hingga hampir 11 persen. Meski demikian, angka
inflasi sekitar 4 persen bertahan sampai 20 tahun kemudian hingga memasuki
era yang disebut para ekonom sebagai era “Great Moderation” sebelum dihantam
krisis finansial pada 2008. Dengan kata lain, ada
trade off yang harus dialami ketika memilih menghadapi stagflasi dengan
pendekatan moneter. Stagflasi adalah anomali Keynesian, yang kemudian
menenggelamkan Keynesianisme itu sendiri pada 1980-an di Amerika. Menurut
Keynes, inflasi niscaya terjadi berbarengan dengan “unemployment” yang tinggi
karena inflasi adalah gambaran dari membaiknya “aggregate demand”, salah satu
kata kunci milik kubu Keynesian, dan melebarnya lapangan pekerjaan. Sementara itu, menurut
kubu moneteris, yang diwakili oleh Milton Friedman, inflasi adalah soal
"uang beredar terlalu banyak". Formula tersebut disederhanakan
dalam ungkapan terkenal Friedman, yakni "Inflation is always and
everywhere a monetary phenomenon". Dengan sudut pandang ini, cara
menghadapi inflasi adalah mengurangi jumlah uang beredar melalui mekanisme
kenaikan suku bunga dan itulah yang dilakukan oleh Paul Volcker. Langkah Volcker tersebut
akhirnya menjadi pintu masuk bagi proses finansialisasi lebih dalam ekonomi
Amerika untuk dekade-dekade selanjutnya. Suku bunga yang tinggi membuat
produk jasa keuangan berkembang pesat, dana berbondong-bondong masuk ke
sistem keuangan Amerika, dan melahirkan berbagai jenis produk investasi,
terutama produk keuangan derivatif. Amerika ketiban miliaran dolar dari
Jepang, yang mengantongi surplus dagang besar sejak 1970-an untuk menjaga
agar mata uang yen tetap lemah. Lalu, pada awal 1990-an, semakin besar dana
yang mengalir, terutama dana-dana pelarian dari reruntuhan Uni Soviet. Sejak
2000-an, terutama setelah Cina menjadi anggota WTO, dana dari Cina kian
membanjiri Negeri Abang Sam untuk menjaga mata uang yuan tetap undervalued. Kelebihan likuiditas
tersebut sering disebut dengan istilah "glut fund" dan kemudian
meledak pada krisis Long Term Capital Management (LTCM) di akhir 1990-an,
lalu meledak lagi di krisis dotcom pada awal 2000-an. Karena sektor riil
bergerak tidak secepat pergerakan modal, dana-dana akhirnya mengalir ke model
bisnis baru yang berbasis transaksi online, yang menjadi awal cerita krisis
dotcom. Gubernur The Fed yang baru ketika itu, Alan Greenspan, menanggapinya
dengan semakin melandaikan suku bunga The Fed, yang memicu dana semakin
banyak mengalir ke aset-aset keuangan berbasis kredit sektor perumahan
berisiko tinggi (supreme mortgage), seperti mortgage backed securities (MBS),
collateralized debt obligation (CDO), dan credit debt swap (CDS). Setelah
pecah gelembung LTCM dan gelembung dotcom, pada 2008 gelembung aset sampah
berbasis kredit perumahan berisiko tinggi itu pun ikut pecah. Bukan hanya Amerika yang
dibuat sakit perut, seluruh dunia pun terbawa mual-mual, termasuk dengan
tumbangnya Bank Century pada 2008. Para moneteris menyalahkan Alan Greenspan,
yang membiarkan suku bunga sangat rendah dalam rentang waktu yang lama. Alan
dituduh terlalu berpihak kepada inovasi produk-produk keuangan, dari yang
berbasis teknologi sampai pada pendalaman leverage (derivatif), yang menyebabkan
gelembung berbahaya. Namun, menurut para New Keynesian, kebijakan suku bunga
rendah Alan Greenspan sangat bisa dipahami, mengingat “aggregate demand” yang
rendah sehingga The Fed terus melonggarkan kredit agar sektor riil tetap
mendapat kelimpahan dana. Kini, Amerika kembali
berada di masa yang mirip dengan era 1970-an akhir dan 1980-an awal.
Perekonomian Amerika, setelah dibuat lunglai oleh dua tahun pandemi, kini
diterpa inflasi tinggi dan pengangguran yang juga tinggi (stagflasi). The Fed
terlihat bimbang. Berbulan-bulan sejak pertengahan tahun lalu, The Fed
mengulur-ulur waktu kenaikan suku bunga dan penghentian kebijakan
quantitative easing. Pasalnya, kondisi overheated kali ini bukan karena
peningkatan “aggregate demand”, melainkan karena kenaikan harga komoditas
dunia dan kelangkaan pasokan akibat perang dagang dan perang Rusia-Ukraina di
satu sisi serta terlalu banyaknya uang yang beredar di sisi lain akibat
kebijakan quantitative easing pada masa lalu dan menggelembungnya utang
pemerintahan Negeri Abang Sam di sisi lain (money printing). The Fed sangat tidak
mungkin mengambil langkah agresif dengan menaikkan suku bunga yang tinggi,
sebagaimana yang dilakukan oleh Paul Volcker, karena akan menekan kesempatan
kerja di satu sisi dan memperburuk performa ekonomi global di sisi lain, yang
akan merugikan ekspor dan investasi luar negeri perusahaan-perusahaan
Amerika. Namun, membiarkan ekonomi overheated pada saat “aggregate demand”
yang biasa-biasa saja akan merusak fondasi ekonomi dan industri Negeri Abang
Sam. Daya beli kelas menengah dan kelas bawah akan hancur di satu sisi dan
daya saing industri dalam negeri akan berantakan dihantam produk-produk impor
murah di sisi lain. Kehati-hatian tersebut
sangat bisa dipahami, mengingat mandat ganda yang diemban The Fed, yakni
pengendalian inflasi dan peningkatan lapangan pekerjaan. Ini agak berbeda
dengan Bank Indonesia, yang sejak beberapa tahun belakangan lebih berfokus
pada pendekatan inflation targeting framework (ITF). Meski demikian, berkaca
pada pengalaman Amerika di era Great Inflation dan kehati-hatian The Fed hari
ini, sangat wajar jika Bank Indonesia juga berhati-hati dalam mereaksi
tingkat inflasi di satu sisi dan menyikapi kebijakan The Fed baru-baru ini di
sisi lain. Inflasi Indonesia secara
komparatif tidaklah tinggi pada saat angka pengangguran yang justru agak
mengkhawatirkan. Inflasi pada Mei lalu lebih banyak disebabkan oleh
kelangkaan dan mahalnya harga komoditas di satu sisi dan tata kelola rantai
pasok di sisi lain dan bahkan besar kemungkinan juga masuk kategori
“greedflation”—meminjam istilah David Ruccio—alias inflasi akibat permainan
oligarki komoditas untuk meraup cuan sebesar-besarnya. Artinya, menaikkan
suku bunga hanya karena merespons The Fed rasanya menjadi kebijakan yang kurang
fair untuk ekonomi nasional, terutama jika dikaitkan dengan misi pelebaran
tenaga kerja dan penjagaan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain kasus Amerika pada
1970-1980-an, pengalaman Cina setelah peristiwa Tiananmen layak dijadikan
pelajaran. Inflasi Cina kala itu sampai 28 persen akibat peningkatan tajam
aggregate demand yang dipicu oleh kebijakan pintu terbuka Deng Xioping.
Secara politik, setelah peristiwa Tiananmen, pemerintahan Jiang menerapkan
martial law. Dalam aspek ekonomi, pemerintah mencekik likuiditas. Akibatnya,
pertumbuhan ekonomi Cina "nyungsep" dari 11,2 persen pada 1988
menjadi 4,2 persen pada 1989, lalu turun lagi menjadi 3,9 pada 1990.
Pertumbuhan ekonomi Cina baru kembali ke jalur awal setelah kembali ke
kebijakan liberalisasi ekonomi setelah "southern tour" Deng Xioping
pada 1992. Pada tahun itu, ekonomi Cina kembali tumbuh dua digit, 14,2
persen; tahun 1993 tumbuh 13,9 persen; tahun 1994 tumbuh 13 persen; dan tahun
1995 tumbuh 11 persen. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar