Citra
Yogya dan Destinasi Kekerasan Indra
Tranggono: Praktisi Budaya dan Esais,
Tinggal di Yogyakarta |
KOMPAS, 19 Juli 2022
Yogyakarta
secara administratif merupakan kota. Ia menjadi bagian dari Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), selain Kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung
Kidul. Namun
secara kultural, Yogya menjadi representator sekaligus ikon DIY. Bahkan, ia
menjadi penyangga utama atas mencorongnya keistemewaan DIY. Karena itu,
setiap peristiwa sosial, kriminal, atau kejadian yang menyentak perhatian
serta viral, nama Yogya pun selalu dikait-kaitkan. Ketika
aksi kekerasan jalanan anak muda berstatus klithih merebak, publik pun
serta-merta menyimpulkan: Yogya tidak aman. Padahal, kasus klithih yang
terjadi tak lebih dari ledakan mercon bantingan meskipun tetap mengandung
potensi bahaya: bisa jadi ledakan besar. Citra Yogyakarta pun dipertaruhkan. DIY
yang bergerak untuk menjadi provinsi modern dan ”dipaksa” mengadopsi
nilai-nilai metropolis sering diguncang berbagai pergeseran nilai akibat
desakan modernisme dan kuasa kapital serta liberalisme. Konsumerisme,
hedonisme, egoisme, individualisme, dan pragmatisme semakin menguat dan terus
berusaha mendesak nilai-nilai komunal serta kehidupan yang berorientasi pada
asketisme. Sementara
itu, kesulitan mencari penghidupan terus menyeringai merayakan kesenjangan
sosial. Konflik horizontal pun kadang terjadi karena orang-orang rebutan
”kue” yang kecil. Kekerasan dalam berbagai motif pun tergelar. Gubernur
DIY Sultan Hamengku Buwono X menolak Yogyakarta dijadikan ajang kekerasan
berbagai kelompok. Penyataan ini terkait dengan konflik antardua kelompok
yang terjadi di destinasi hiburan di daerah Sleman. Beliau juga menekankan
pentingnya pendekatan hukum yang konsisten dan tegas, selain dialog yang mendamaikan
pertikaian. Destinasi
hiburan malam gampang tergelincir menjadi destinasi kekerasan jika berbagai
kelompok kepentingan tidak mampu menjaga situasi kondusif. Umumnya hal ini
dipicu cara berpikir dan bertindak yang pendek. Amarah dan amok pun gampang
meledak. Persoalan sepele bisa jadi pemantiknya. Alkoholisme pun turut punya
andil dalam memacu emosi. Kejadian
buram seperti perkelahian antarkelompok yang ada di DIY cenderung viral di
media arus bawah (media sosial) dan media arus utama (koran, televisi).
Ujungnya, citra kultural Yogyakarta yang jadi kena getahnya. Ini
terjadi karena Yogyakarta merupakan representasi kultural yang strategis bagi
DIY. Nama kota budaya itu selalu terhubung dengan setiap kejadian yang
menyita perhatian publik meskipun peristiwanya berlangsung di
kabupaten-kabupaten di DIY. Contoh
lainnya adalah perilaku klithih. Meskipun peristiwanya terjadi di Sleman atau
di Bantul, tetap saja nama Yogyakarta disebut-sebut. Lalu beredarlah gosip:
Yogya tidak aman. Padahal, sejatinya Yogya selalu kondusif. Selama
ini Yogyakarta selalu punya citra positif baik sebagai kota budaya, pelajar,
pariwisata, ataupun kota/kawasan sosial yang toleran. Yogyakarta selalu
terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar, mengembangkan diri, menjalani profesi,
dan mencari penghidupan. Tak
sedikit para perantau itu akhirnya jatuh cinta kepada Yogyakarta karena
pertimbangan emosional (kenyamanan, kedamaian, keguyuban). Juga alasan biaya
hidup relatif murah dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya. Selain itu
juga karena kekuatan budaya Yogyakarta yang terpantul dari dinamika akademik,
komunitas, dan keraton Yogyakarta serta kadipaten Pakualaman yang menjunjung
tinggi kebinekaan kultural. Citra
sosial dan kultural yang khas, unik, dan spesifik menjadi kekuatan Yogyakarta
yang jarang dimiliki daerah-daerah atau kota-kota lain di Indonesia. Hal ini
semestinya selalu dijaga dan dirawat semua warganya. Tidak malah menciptakan
keresahan. Pragmatisme
dan hedonisme Perkembangan
kota dan kabupaten seiring dengan dinamika ekonomi yang ditopang kemajuan
teknologi telah menghadirkan tantangan bagi Yogyakarta. Salah satunya adalah
semakin menguatnya pragmatisme dalam kehidupan masyarakat. Pragmatisme,
seperti dikatakan sejarawan dan budayawan Dr Kuntowijoyo, merupakan paham
yang menganggap segala sesuatu dianggap bernilai jika punya unsur kegunaan,
terutama jangka pendek. Tak
sedikit orang menempuh jalan pragmatis demi meraih kesenangan (hedonisme) dan
keuntungan ekonomik. Mentalitas instan jadi pilihan, termasuk melabrak etika,
moral, norma, dan hukum, serta adat dan tradisi. Beberapa
akibat pun muncul, misalnya tindakan antitoleransi, anti-empati, atau
menipisnya budaya tepa selira. Tidak ada lagi liyan (the others) di dalam
ruang berpikir dan bertindak. Yang dominan adalah egoisme personal dan
kolektif. Semakin berbahaya jika egoisme itu dikapitalisasi dengan isu-isu
primordial (agama, suku) demi meraih kepentingan sesaat. Persoalan
ekonomi pun jadi tantangan yang signifikan bagi Yogyakarta. Perebutan ”kue”
yang kecil yang melibatkan banyak orang pun sering menimbulkan keonaran. Hal
ini tak lepas dari sulitnya masyarakat mencari penghidupan yang layak. Yogyakarta
yang relatif kecil secara geografis dan kemampuan ekonomik otomatis menuntut
warganya melakukan penyesuaian, terutama dalam gaya hidup. Langgam Yogya
dikenal dengan urip samadya lan sacukupe (hidup sederhana dan secukupnya;
tahu batas-batas kepantasan). Gaya hidup hedonistik berlawanan dengan langgam
Yogya. Selain
itu, kultur dan tradisi Yogya cenderung asketik (tahan godaan duniawi). Yang
diutamakan adalah mesu budi (mengasah ketajaman pikiran, perasaan, untuk
menuntun perilaku yang positif, produktif, dan kreatif). Konsep tepa selira
pun dikembangkan menjadi hamemayu buwana lan menungsa (memperindah dan menyelamatkan
dunia dan manusia). Jika
warga Yogyakarta paham dan mau menjalani konsep tersebut, hidup selaras akan
selalu menjelma. Inilah indahnya Yogyakarta yang semestinya jauh dari
destinasi kekerasan yang muncul dalam kehidupan malam yang semestinya bisa
dikelola secara kultural dan mengutamakan keguyuban dan kedamaian. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/17/citra-yogya-dan-destinasi-kekerasan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar