Oase di
Timur Tengah Dian
Wirengjurit : Analis Geopolitik dan Hubungan
Internasional |
KOMPAS, 23 Juli 2022
Ketika
perhatian dunia masih tercurah pada perang Ukraina yang hingga kini belum
jelas ujungnya, di kawasan hot spot dan zona konflik Timur Tengah justru
terdengar berita yang sedikit menyejukkan. Tidak banyak diketahui, putaran kelima pertemuan
pejabat tinggi Arab Saudi dan Iran telah berlangsung pada 22 April 2022 di
Baghdad, Irak. Rangkaian pertemuan yang dimulai sejak April 2021 itu berlangsung
di Baghdad karena dijembatani oleh Pemerintah Irak yang didukung Oman. Pertemuan difokuskan pada dua agenda utama:
normalisasi hubungan dan masalah perang di Yaman. Meski belum menghasilkan
terobosan yang signifikan, pertemuan telah menghasilkan ”memorandum” 10
butir, antara lain: 1) Saudi mengizinkan Iran untuk membuka kembali
kedutaannya di Riyadh untuk aktivitas yang terkait dengan Organisasi Kerja
Sama Islam (OIC/OKI) yang bermarkas di Jeddah; 2) Saudi mengizinkan 40.000
warga Iran menunaikan ibadah haji Juli 2022; dan 3) kedua pihak akan berkirim
delegasi dalam kurun 30 hari untuk membahas pembukaan kedutaan besar dan
konsulatnya. Hubungan Saudi-Iran Iran dan Saudi adalah dua kekuatan utama di Timteng,
khususnya sejak Revolusi Islam (1979). Persaingan untuk pengaruh, keamanan,
dan dominasi regional telah mengakibatkan perang proksi di wilayah ini,
seperti Lebanon, Irak, Suriah, dan terutama Yaman. Persaingan keduanya
berkisar pada beberapa isu kunci, seperti keyakinan (Sunni vs Syiah), sistem
kenegaraan, isu Pan-Arab seperti masalah Palestina, menguatnya pengaruh
negara besar (Amerika Serikat) di kawasan, dan kebijakan energi yang
bertentangan. Dalam konteks kekinian, Saudi memutuskan hubungan
dengan Iran pada Januari 2016 setelah pengunjuk rasa Iran merangsek Kedubes
Saudi di Teheran, sebagai jawaban atas eksekusi ulama Syiah, Nimr al-Nimr,
oleh Riyadh. Putusnya hubungan diplomatik itu bahkan diikuti pula dengan
pemutusan hubungan antara kuartet Arab (Saudi, Bahrain, UEA, dan Mesir)
dengan Iran dan Qatar. Kedua negara juga berada di pihak yang berlawanan
dalam perang mematikan lebih sejak 2015 di Yaman dan Suriah. Berlangsungnya pertemuan Saudi dan Iran dimungkinkan
dengan terjadinya serangkaian perkembangan kondusif di kawasan, di antaranya,
pertama, KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di kota Al-Ula, Saudi, Januari
2021. KTT ini menghasilkan rekonsiliasi antara kuartet Arab dan Qatar yang
dianggap memfasilitasi kelompok-kelompok teroris dan diboikot sejak Juni
2017. Selama aksi boikot kuartet itu, Qatar menjadi semakin dekat dengan
Iran, ditandai pemberian fasilitas bagi maskapai Qatar Airways menggunakan
teritorial udara Iran, sementara Saudi melarangnya. Kedua, Sidang Khusus OKI mengenai krisis kemanusiaan
di Afghanistan pada 19 Desember 2021 di Islamabad, Pakistan. Tanpa publikasi
luas, di sela-sela sidang Menlu Iran Amir Hossein Abdollahiyan mengadakan
pertemuan dengan Menlu Saudi Faisal bin Farhan al-Saud. Pembicaraan kedua
menlu mewakili perkembangan signifikan bagi dua rival regional yang telah
berperang proksi di Timteng selama lebih dari satu dekade. Ini juga
menandakan peran kunci yang dimainkan oleh dua kekuatan mediasi: Pakistan dan
China. Ketiga, perang Yaman selama delapan tahun telah
menjadi pusat konflik di antara kedua negara karena Saudi mendukung
pemerintah Presiden Rashad al-Alimi di Selatan dan Iran mendukung kelompok
Houthi yang de facto berkuasa di Utara. Kemajuan pembicaraan Iran- Saudi
terbaru terjadi ketika PBB memperpanjang dua bulan gencatan senjata di Yaman
yang telah berakhir 2 Juni. Di lain pihak, Saudi dan negara-negara Teluk juga
semakin kritis dan skeptis terhadap komitmen keamanan AS, termasuk lambatnya
kemajuan perjanjian nuklir (JCPOA), dan melihat rekonsiliasi dengan Iran
sebagai cara untuk melindungi diri dari ancaman masa depan negara Mullah
tersebut. Menlu Faisal bin Farhan al-Saud juga melihat adanya
kemajuan dalam dialog dengan Iran meski ”tak cukup”. Sejalan dengan Vision
2030, Saudi melihat masa depan ”yang dibangun di atas harapan, dibangun di
atas kemakmuran, di atas pembangunan, di atas kerja sama”. Pemenang dan pecundang Pertemuan di Islamabad dan Baghdad mewakili potensi
pemanasan (warming up), sejalan dengan tujuan strategis yang lebih luas
karena pemulihan hubungan Riyadh-Teheran dinilai merupakan kepentingan
terbaik yang saling menguntungkan (mutual benefit). Kerja sama Saudi-Iran
akan memberi kendali lebih besar atas harga minyak global karena keduanya
menyumbang 25,7 persen cadangan terbukti minyak dunia (Saudi 16,2 persen,
nomor dua; dan Iran 9,5 persen, nomor empat) atau 35,5 persen dari cadangan
minyak OPEC (www.worldometers.info, 11/7/2022). Menurut Abby Baggini dan Farah N Jan dalam artikel
”The Origins and Futures of the Budding Saudi-Iran Detènte” (Responsible
Statecraft, 11/1/2022), baik Saudi maupun Iran bergantung pada stabilitas
ekonomi untuk kelangsungan hidup mereka sehingga dapat memperoleh keuntungan
bersama dari upaya mengintensifkan peredaan ketegangan (détente) sementara. Para pemimpin di Riyadh dan Teheran mulai menyadari,
perseteruan mereka tak lagi dapat memenuhi kepentingan nasional
masing-masing. Pendekatan kembali (rapprochement) atau pemulihan hubungan
Saudi-Iran akan mengguncang tatanan politik kawasan itu secara signifikan,
dengan menciptakan kelompok pemenang dan pecundang. AS akan mengalami banyak
kerugian, sebaliknya banyak keuntungan akan didapat oleh China. Strategi ”Pivot to Asia” Presiden Barack Obama
(2012) dan melepaskan diri dari Timteng dilakukan untuk menyaingi China
secara ekonomi, militer, dan diplomatik in its own turf. Kini justru China
yang memanfaatkan momen ini sebagai peluang membangun pengaruhnya di Timteng.
Upaya ini dilakukan juga secara ekonomi, militer, dan diplomatik, termasuk
kesepakatan rudal balistik dengan Saudi dan menandatangani perjanjian kerja
sama 25 tahun dengan Iran. Posisi dan kepentingan bersama (mutual interest)
Riyadh dan Teheran semakin mirip satu sama lain terhadap Beijing, dan dinilai
menguntungkan, sehingga China dengan senang hati memfasilitasi dètente kedua
rival ini. Pembicaraan lanjutan Saudi-Iran juga sesuai dengan
Lima Butir Inisiatif (2021) Beijing untuk Timteng, intinya mendorong
penyelesaian politik untuk kawasan hotspot, dan mempromosikan perdamaian dan
stabilitas di Timteng. Peter Birgbauer dalam artikelnya ”The US Pivot to Asia
was Dead on Arrival” (The Diplomat, 31/3/2022) menyatakan, sejak diluncurkan
oleh pemerintahan Obama, ”poros” (pivot) AS ke Asia terus-menerus tergelincir
oleh keadaan darurat di tempat lain, di mana perang Ukraina menjadi contoh
terbaru. Efek ”Blackfish” Dalam politik, termasuk politik internasional,
dikenal efek Blackfish yang dipopulerkan mantan Menlu AS Condoleezza Rice dan
Amy B Zegart dalam buku Political Risk (Gramedia, 2021). Blackfish adalah
film dokumenter mengenai perlakuan buruk Sea World Entertainment (SWE)
terhadap paus Orca, yang kemudian membunuh pelatihnya; dan dirilisnya film
itu ternyata telah berdampak pada keruntuhan perusahaan hiburan besar itu. Dalam efek Blackfish, dua hal bisa saja muncul
bersamaan tanpa yang satu jadi penyebab yang lain. Namun, dalam kasus ini,
hubungan sebab-akibat sangat nyata. Menurut Rice dan Zegart, itu terjadi
karena tak diperhitungkannya risiko politik, yang bisa terjadi mulai dari
risiko tradisional, seperti geopolitik, sampai risiko politik baru yang
menembus batas-batas, misalnya ancaman siber dan terorisme. Upaya AS untuk ”memaksakan” masuknya Ukraina ke
dalam NATO dan invasi Rusia tampaknya terpisah, tetapi sebenarnya sangat
terkait dengan sebab dan akibat. Perang Ukraina yang berlarut-larut, dengan
korban manusia semakin meningkat dan kehancuran infrastruktur semakin masif,
tampaknya tidak diperhitungkan matang. Akibatnya, Washington ”terpaksa”
mengerahkan berbagai sumber daya, khususnya militer, yang amat mahal untuk
mendukung Ukraina dalam perang tersebut. Kebijakan Pivot Asia dan dominasi yang ditelantarkan
di Timteng tak disia-siakan China, yang memang sarat dengan kepentingan
ekonominya di kawasan, untuk mengambil alih peran AS. Rapprochement Saudi dan Iran jelas menjadi oase yang
menyegarkan di Timteng, terutama bagi China. Beijing akan berlomba dengan
waktu mengupayakan tercapainya perdamaian Saudi-Iran selagi perang
Rusia-Ukraina berlarut-larut. Bagi AS, selesainya perang Rusia-Ukraina bukan
berarti bisa segera mengembalikan perhatiannya dengan segera ke Timteng atau
Asia, karena Washington masih akan disibukkan dengan upaya rekonstruksi
Ukraina; sedangkan Eropa harus menata kembali ekonominya. Itulah risiko
politik yang harus ditanggungnya. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/21/oase-di-timur-tengah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar