Politik
Sastra dalam Perang Saudara Damhuri
Muhammad: Cerpenis; Kolumnis; Pengajar Filsafat Universitas Darma
Persada Jakarta |
KOMPAS, 24 Juli 2022
Di perisai
kayu para demonstran saat berhadapan dengan polisi antihuru-hara di Kyiv,
Ukraina, dalam peristiwa Euromaidan Revolution (Februari 2014) tertera teks
pendek yang dalam terjemahan Indonesia kira-kira berbunyi: ”Berjuanglah! Dan,
kamu akan menang. Tuhan membantumu. Slogan aksi massa guna menggulingkan Viktor
Yanukovych dari kursi Presiden Ukraina itu adalah cuplikan dari puisi panjang
berjudul Kavkaz karya Taras Shevchenko (1814-1861). Versi Inggris dari puisi
itu dapat dibaca dalam Taras Shevchenko; Song out of Darkness (1961). Dalam prahara Rusia-Ukraina yang sebenarnya telah
berusia panjang sering ditegaskan bahwa Taras Shevchenko adalah Bapak
Nasionalisme Ukraina. ”Shevchenko menyatukan kita karena pesannya mewakili
seluruh Ukraina,” kata Andrei Kuzetsov, seniman Ukraina, seperti dikutip
Sabra Ayres (2014) dalam In divided Ukraine, inspiration from a poet of the
underdog. Bagi para demonstran, Shevchenko adalah pahlawan
Ukraina, yang karya-karyanya tentang bangsa dan pengabdiannya pada bahasa
Ukraina menjadi inspirasi bagi kelahiran Ukraina yang baru. ”Pemerintahan
baru ini terbentuk karena 1 juta orang datang ke Maidan, melakukan apa yang
diperintahkan Shevchenko—berjuang untuk Ukraina,” kata perdana menteri
terpilih Arseniy Yatsenyuk dalam pidato peringatan 200 tahun kelahiran Taras
Shevchenko, Maret 2014. ”Kami tidak akan menyerahkan 1 sentimeter pun dari
tanah kami. Presiden Rusia harus mengetahui hal ini,” kata Yatsenyuk,
pemimpin baru pro-Barat. Di tangan pemimpin sebelumnya, dokumen kesepakatan
dengan Uni Eropa yang tinggal selangkah lagi untuk ditandatangani tiba-tiba
dibatalkan. Yanukovych juga tidak mengesahkan hasil Referendum Krimea, di
mana tak kurang dari 2 juta warga di Semenanjung Krimea memilih untuk menjadi
bagian dari wilayah otonomi Ukraina. Atas kekalahan itu, Rusia akhirnya melakukan
intervensi militer untuk menguasai Krimea. NATO menuding aneksasi itu
bertentangan dengan Memorandum Budapes 1994 mengenai kedaulatan wilayah
Ukraina yang telah ditandatangani Rusia. https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/CO4vsWfjzgqgQrtjGi5vjyutNF4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F18%2F1853146e-5657-472a-af8f-9ba096ffc059_jpg.jpg Menggunakan puisi Kutipan puisi Shevchenko di atas sebenarnya tidak
terlalu berkaitan dengan semangat kebangsaan Ukraina. Sebab, komposisi utuh
dari Kavkaz lebih menggambarkan kuasa kekaisaran Rusia di wilayah Kaukasus.
Teks populer itu ditulis bukan untuk mendukung Ukraina, melainkan untuk
Sirkasia di Kaukasus utara yang dihancurkan oleh kekaisaran Rusia pada 1865. ”Shevchenko tidak punya tulang nasionalis di
tubuhnya,” kata Rory Finnin, Direktur Pusat Studi Ukraina di Universitas
Cambridge, sebagaimana dikutip Sabra Ayres (2014). Menurut Sabra, ini bukan pertama kali citra
Shevchenko dimanipulasi. Soviet juga menggunakan puisi Shevchenko selama
Perang Dunia II guna menginspirasi rakyat Ukraina saat berperang melawan
Jerman. Pelajar di Ukraina diajari membaca puisinya, hampir setiap kota di
Ukraina memiliki patung Shevchenko, dan namanya abadi sebagai nama jalan. Meski polemik soal politisasi karya-karya Shevchenko
dalam atmosfir perang Rusia-Ukraina terus berlangsung, tarikh kepenyairan
Shevchenko dapat memetakan kompleksitas problem kultural masa silam yang
menyulut perlawanan rakyat Ukraina atas Rusia—yang kini memuncak pada perang
terbuka. Taras Shevchenko lahir pada 9 Maret 1814 di Desa
Moryntsi, Ukraina. Orangtuanya petani-budak (serf peasant), kasta terbawah
dari masyarakat yang tunduk kepada kekaisaran Rusia. Seperti dicatat Kateryna
Martynova (2022) dalam Taras Shevchenko: Ukrainian Liberty Idol, Shevchenko
kecil yang berbakat seni beruntung hidup di bawah naungan keluarga tuan tanah
Pavlo Engelhardt. Pavlo menghargai bakat menggambar Shevchenko dan
memberinya peluang untuk belajar seni. Dari talenta yang terasah itu di usia
16 tahun, Shevchenko melahirkan lukisan perdana bertajuk The Bust of a
Woman—kini tersimpan di Museum Nasional Taras Shevchenko, Kyiv, Ukraina. Guna membesarkan reputasi Shevchenko, Pavlo membawa
seniman junior itu ke St Petersburg. Di sanalah Shevchenko berjumpa seniman
termasyhur Vasiliy Shiryaev, yang kemudian menjadi gurunya. Seniman Ukraina,
Ivan Soshenko (1807-1876), memperkenalkan Shevchenko pada komunitas pelukis
ternama, seperti Karl Brullov, Vasiliy Zhukovskiy, dan Alexei Venetsianov. Pada 1838, Karl Brullov dan Vasiliy Zhukovskiy
membebaskan Shevchenko dari status budak. Demi penebusan itu, Brullov melukis
potret Zhukovskiy, sosok seorang guru, pewaris takhta Rusia. Keluarga
kekaisaran ikut berpartisipasi dalam pelelangan itu. Setelah resmi sebagai manusia bebas, Shevchenko
dapat mencicipi pendidikan di Akademi Seni Kekaisaran. Dengan pengetahuan dan
keterampilan artistiknya, ia diterima dalam lingkar pergaulan kaum
intelektual bangsawan Rusia. Kobzar (1840) tercatat sebagai salah satu karya
penting Taras Shevchenko. Judul itu diambil dari nama grup penyair jalanan
Ukraina, kobzari. Di Ukraina ada tradisi kepenyairan, di mana sekelompok
penyair mengembara dari satu daerah ke daerah lain. Mereka menyanyikan
sajak-sajak epik dengan iringan kobza (kecapi Ukraina). Lewat Kobzar, Shevchenko mengisahkan perjalanan para
penyair yang tergabung dalam kobzari. Baginya, kobzari menempati posisi
sentral dalam identitas Ukraina, mereka menulis lirik tentang kehidupan
sehari-hari dan membahasakan perjuangan orang-orang Ukraina dalam melawan
Rusia. Kobzari telah membentuk semacam tradisi lisan dan
memberikan bahasa kepada orang Ukraina untuk mengungkapkan derita akibat
diskriminasi kekaisaran Rusia. Namun, kuasa Rusia yang terus menepikan
identitas budaya Ukraina mengakibatkan kobzari itu dilenyapkan pada 1932. Atas perintah Stalin, mereka diundang oleh Soviet ke
sebuah kongres di Kharkiv. Tak lama setelah tiba, mereka dibawa ke luar kota,
lalu ditembak mati semua. Seorang janda disalibkan untuk pajak/sementara
mereka mengemudi/Putra satu-satunya/Satu-satunya harapannya/dalam rantai
tentara/Di sana, lebih banyak yang mati daripada yang hidup/Seorang bayi
kelaparan di samping pagar/Menunggu Ibunya/dari tanah tuan feodal/Dan di
sana, kau lihat?/Mataku, mataku… Begitu penggalan puisi yang dikutip Kelly O’Neill
(2018) dari terjemahan Inggris atas buku puisi bertajuk ”Poltava” (1844).
Tentang keluarga yang dipajaki dalam kemiskinan, sementara anak laki-laki
mereka menjalani wajib militer seumur hidup. Shevchenko mengontraskan
keluarga petani-budak Ukraina dengan tuan feodal yang memperoleh kekayaan
dari derita mereka. Setelah pulang ke Kyiv, Shevchenko bergabung dengan
organisasi pembebasan Ukraina, Society of Cyril and Methodius. Pada 1847,
Shevchenko ditangkap karena puisi-puisi revolusionernya. Ia dihukum dalam
pengasingan 10 tahun dan dilarang berkarya. Kebrutalan selama menjalani
hukuman melemahkan fisik Shevchenko hingga ia meninggal di St Petersburg pada
1861. Api perlawanan yang tersulut dari karya-karya
Shevchenko membuat rakyat Ukraina sejak lama ingin lepas dari bayang-bayang
Rusia. Menjadi bagian dari Uni-Eropa dan apabila perlu mendaftarkan diri
sebagai anggota NATO. Namun, kekecewaan Rusia sejak kehilangan saudara
kecilnya (Ukraina) rupanya menyulut murka. Kota-kota di Ukraina—tempat
patung-patung pujangga idola berada—porak poranda. Namun, semakin keras amuk
Rusia, semakin membara pula gairah Ukraina untuk melenyapkan jejak kultural
Rusia di tanah air mereka. Oleksandra Koval, Direktur Institut Perbukuan
Ukraina, mengklaim akan menurunkan lebih dari 100 juta buku asal Rusia dari
rak-rak perpustakaan umum, termasuk karya-karya sastrawan besar Rusia,
Dostoyevsky dan Pushkin. Seperti dilaporkan www.mronline.org (9/6/22),
buku-buku itu akan dikirim ke pusat daur ulang kertas. Koval menjelaskan, rencana
pemusnahan buku itu adalah upaya Pemerintah Ukraina menghancurkan ”literatur
berbahaya” karena buku-buku yang berakar dari sastra Rusia adalah ”konten
anti-Ukraina”. Beberapa pekan selepas serangan Rusia ke Ukraina,
sebuah universitas di Italia membatalkan satu sesi kuliah tentang novelis
Rusia Fyodor Dostoevsky dengan dalih untuk menghindari kontroversi. ”Apakah
mungkin memisahkan teks dari negara asalnya?” tanya Maya Kokerov (2022) dalam
Banning Russian literature ignores its rich history of encouraging readers to
question tyranny. Menurut Maya, sastra telah menyatukan mereka
(Rusia-Ukraina) di masa-masa kelam, yang digambarkan sangat jernih oleh para
penulis klasik Rusia. ”Nama musuhnya Putin, bukan Pushkin, Tolstoy, atau
Akhamatova,” kata Deniz Yucel, presiden asosiasi penulis (PEN) Jerman,
menyindir politik sastra yang bersemangat saling memusnahkan itu. Otoritas Ukraina—di bawah pimpinan tokoh muda
berpikiran maju, Volodymyr Zelensky—yang hendak melenyapkan karya-karya
Puskin, Tolstoy, Dostoevsky, tentu mengingatkan kita kepada Tsar Nicholas I
yang pernah mengasingkan Taras Shevchenko dan menyumbat kebebasan
berkaryanya. Tetapi, begitulah politik sastra dalam perang
saudara Rusia-Ukraina. Tugu-tugu penghormatan atas Shevchenko di Ukraina rata
tanah akibat rudal Rusia. Pada saat yang sama, lembaran-lembaran dari buku
tebal karya pujangga Rusia, seperti War and Peace, Crime and Punishment, The
Brothers Karamasov, dibubukkan oleh mesin-mesin penghancur kertas. Perang
akan membuat yang satu jadi abu dan satunya lagi jadi arang ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/20/politik-sastra-dalam-perang-saudara |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar