Catatan Pinggir
Bagaimana Memahami
Jakarta yang Hibrida Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
JAKARTA bukan Betawi.
Jutaan manusia yang hidup selama puluhan tahun di dalamnya, seperti saya,
merasa kota ini sebuah dunia tanpa asal-usul. Ia tumbuh, pelan atau cepat,
dalam diri saya. Pada umur 9 tahun saya
membaca Si Doel Anak Betawi di kota kelahiran saya di Jawa Tengah utara. Dari
dalam buku cerita itu saya tak hanya mendapat gambaran yang mengasyikkan
tentang anak-anak sebaya saya, tapi juga perkenalan dengan bahasa mereka,
“Betawi”. Bahasa itu saya serap
cepat. Bagi saya ia hanya salah satu versi bahasa Indonesia. Transisi
linguistik antara “Betawi” dan “Melayu/Indonesia” begitu mulus, hingga tak
aneh jika kini “dialek Jakarta”—tak lagi disebut “logat Betawi”—dipakai di
mana-mana, meluas deras berkat media massa. Bersama itu, apa yang
“Betawi” di sana tak terasa jauh “lokal” dan eksklusif. Saya lebih mudah
menirukan bahasa si Doel ketimbang bahasa Banyumas, wilayah yang tak jauh
dari kota masa kecil saya. Bahasa Betawi: satu contoh “heteroglossia”. Istilah ini pertama kali
diperkenalkan Mikhail Bakhtin, theoretikus kesusastraan Rusia yang terkenal
itu. Ia hendak menunjukkan keistimewaan bentuk karya yang menampung
percakapan sehari-hari: dialek daerah, bahasa khas satu kelompok sosial,
bahasa dengan istilah profesional, bahkan bahasa birokrasi. Bahasa Betawi demikian
pula: tak dibangun dari sebuah sistem. Ia sebuah proses dialogis, yang tak
dibentuk oleh “wacana otoritatif” yang tegak di luar dirinya. Dalam
pengalaman sosial Betawi tak ada keraton dan tata kramanya yang mapan. Tak
ada kitab-kitab paramasastra. Yang ada hanya percakapan dalam hidup
sehari-hari. Dan hidup, di masyarakat, dalam sejarah, sesungguhnya bergerak
sentrifugal, berlangsung dalam benturan dan geser-menggeser. Tak ada bentuk
yang sah secara final, tak ada “asal-usul”. Maka Betawi tak bisa
disebut sebagai sumber yang primordial. Nama “Betawi” sendiri bukan berasal
dari sejarah “pribumi” yang purba. Ia baru bermula sejak Jakarta, yang dulu
disebut “Jacatra”, diubah penguasa Belanda yang datang bercokol jadi
“Batavia”. Pada gilirannya nama itu diucapkan lidah lokal yang tak kenal
“v”—dan “Betawi” pun lahir. Penduduk yang sudah ada ketika Jan Pieterszoon
Coen dan VOC-nya mengambil alih kekuasaan menyesuaikan diri dengan logat
penduduk “baru” yang masih “asing”. Pada masa itu, sejak 1619,
orang Sunda tersingkir atau kabur. Coen menaklukkan Jacatra sembari
menghancurkan “pusat”-nya: kabupaten dan masjid. Sebagai pusat baru ia
dirikan benteng bertembok. Dalam Social World of Batavia, Jean Gelman Taylor
menyebut, penduduk Batavia, baik orang Asia maupun Eropa, adalah penduduk yang
“diimpor”. Mereka makin berjarak dari tanah asal—dan dalam batas tertentu
melupakannya. Bukan kebetulan jika
Jakarta—yang mewarisi sejarah demografi dan kebudayaan sejak abad ke-17
itu—kemudian jadi kota nasionalisme yang bertekad “melupakan” ikatan yang
primordial. Sebelum identitas agama dan daerah jadi riuh seperti sekarang,
Jakarta adalah ruang bagi “Sumpah Pemuda” 1928: “kami…berbangsa satu…”. Si Doel dalam arti
tertentu adalah anasir dalam proses itu. Ia anak Bidaracina yang menjajakan
nasi ulam dari lorong ke lorong, tapi ingin mengubah dirinya dengan masuk
sekolah, tak hanya mengaji. Pada suatu hari Lebaran, dengan bangga—dengan
bantuan ibunya—ia mengenakan pakaian padvinder: bercelana pendek (bukan
sarung), memakai topi pandu (bukan songkok), bersepatu (bukan bersandal).
Tapi sebuah antiklimaks yang tak terlupakan muncul di ujung cerita: engkong
si Doel mendamprat dan mengusir cucunya yang datang berhalalbihalal dengan
berpakaian “belanda” di hari Idul Fitri. Sedih, kaget, dan kecewa,
si Doel menangis dalam pelukan ibunya. Dari sini kita tahu di
mana buku ini berpihak: seperti novel-novel Balai Pustaka yang lain, Si Doel
Anak Betawi yang terbit di tahun 1932 mengikuti semangat yang dikumandangkan
badan penerbitan ini, yang didirikan sebagai Kantoor voor de Volkslectuur
pada 1917: mengarahkan rakyat Hindia Belanda ke dunia modern, dengan
melukiskan gelapnya kekolotan. Kita ingat Sitti Nurbaya Marah Rusli yang
terbit satu dasawarsa sebelumnya: seorang perempuan muda yang bahagia dan
penuh cita-cita dimatikan kekuatan “kuno” Datuk Maringgih. Dalam kasus si Doel,
bangku sekolah dan seragam padvinder menandai percobaannya melampaui tembok
yang kuno dan lokal juga. Penulisnya, Aman Datuk Mojoindo, lahir di Supayong,
Solok, Sumatera Barat, di tahun 1896. Ia pindah ke Jakarta dan bekerja
sebagai penerjemah buku anak-anak, khususnya dari Negeri Belanda. Generasi Aman menunjukkan
Betawi dalam pengalaman si Doel adalah sebuah negosiasi: di satu pihak ada
engkongnya yang berwibawa, di lain pihak impian padvinder-nya yang
bersemangat. Pada gilirannya, Jakarta
bukan lagi Betawi sebagai sesuatu yang dibayangkan dengan menengok ke
belakang. Kita tak bisa menyikapinya dengan nostalgia yang dibikin-bikin,
misalnya dengan mengubah nama jalan jadi “Betawi”. Sebab sejak mula Betawi
adalah Betawi yang tak “asli”; ia ruang hidup yang mengadopsi pelbagai ragam
suara yang terus-menerus berdatangan—dari mana bangsa Indonesia terbentuk. Kita bersyukur punya
Jakarta: sebuah hibrida. ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/166486/bagaimana-memahami-jakarta-yang-hibrida |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar