Kematian Brigadir
Yosua: Bukan Baku Tembak Biasa (1) Penyaji Berita : Tim Kumparan |
KUMPARAN.COM,
18 Juli 2022
“Kami
melaporkan tindak pidana pembunuhan berencana ke Bareskrim Polri dalam kasus
kematian Brigadir Yosua.” – Kamaruddin Simanjuntak, pengacara keluarga
Yosua *** Bunyi letupan terdengar
pada Jumat sore (8/7) di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Ketua RT
setempat, Mayjen (Purn) Seno Sukarto, mendengarnya jelas. Mantan Asrena
Kapolri di masa Jenderal (Purn) Kunarto pada 1991-1993 itu tak menaruh
curiga, sebab petasan kerap dinyalakan anak-anak jelang Idul Adha. Nyatanya, bunyi itu bukan
berasal dari petasan seperti yang dikira Seno, melainkan dari letupan pistol
di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo. Tiga hari kemudian, Senin
(11/7), Humas Polri baru menyatakan: ada baku tembak antara anak buah Sambo,
yakni Brigadir J dan Bharada E. Brigadir J adalah
Nofriansyah Yosua Hutabarat, sedangkan Bharada E adalah Richard Eliezer
Pudihang Lumiu. Yosua dan Richard merupakan dua di antara sekian ajudan yang
dimiliki Ferdy Sambo. Sehari setelahnya, Selasa
(12/7), Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susiantono mengatakan,
“... Di TKP, kami menemukan seseorang yang tergeletak berlumuran darah, ada
di dekat tangga, arah masuk kamar mandi di bawah tangga.” Ketika itu, menurut Budhi,
ia menghubungi Inafis untuk membantu olah tempat kejadian perkara. Jenazah
kemudian dibawa oleh Palang Hitam ke RS Polri, Kramat Jati, sementara
pemeriksaan berlangsung terhadap beberapa saksi, salah satunya R, yang
menyaksikan “duel” antara Brigadir J dan Bharada E. “Saksi R melihat Brigadir
J menembak lebih dahulu ke arah Bharada E. Dari situ kami mendalami dan
mendapati hasil pemeriksaan bahwa Brigadir J masuk ke kamar pribadi yang saat
itu [di dalamnya] ada Ibu Kadiv Propam,” kata Budhi. Istri Sambo, Putri
Candrawathi, ketika itu disebut sedang beristirahat di kamarnya di lantai
satu, usai perjalanan dari Magelang. “Setelah berada di kamar
karena lelah pulang dari luar kota, Ibu (Putri) sempat tertidur. Tiba-tiba
Brigadir J masuk dan melakukan pelecehan terhadap Ibu,” ucap Budhi. Polisi mengatakan, Putri berteriak
beberapa kali, membuat Bharada E dan K mendatangi kamarnya. Sementara
Brigadir Yosua yang ada di dalam kamar Putri, disebut panik mendengar langkah
kaki menuruni tangga. Ia bergegas keluar kamar, dan bertemu E dan K. “Melihat J keluar dari
kamar, E bertanya, ‘Ada apa?’ Tapi bukannya dijawab, malah [E] ditembak.
Tembakan tidak mengenai E, hanya kena tembok. E berlindung di balik tangga,
dan karena dia dibekali senjata, dia keluarkan senjata di pinggangnya.
Kemudian terjadi penembakan beberapa kali,” papar Budhi. Berdasarkan keterangan
polisi, ada 12 tembakan yang meletus di rumah itu. Tujuh tembakan Brigadir
Yosua ke arah Bharada E disebut meleset seluruhnya. Padahal, menurut
keluarga, ia pernah menjadi penembak jitu saat bertugas di Jambi. Sementara itu, 5 peluru
yang ditembakkan Bharada E ke Brigadir Yosua, semuanya berhasil bersarang.
Bahkan, anehnya, ada 7 bekas tembakan di tubuh Yosua. Menurut Budhi, luka pada
kelingking Yosua berasal dari peluru yang menembus badan, sehingga polisi menghitungnya
sebagai dua luka yang berasal dari satu peluru. Demikian pula ada peluru
yang masuk ke lengan bagian dalam dan tembus ke badan, sehingga dihitung pula
sebagai dua luka tembak yang berasal dari satu peluru. Dari situlah, menurut
polisi, asal dua luka tembak tambahan yang ada di tubuh Yosua. Usai tembak-menembak
itulah Budhi menerima laporan dari Sambo soal peristiwa mengerikan di
kediamannya. Ia bersama Satuan Reserse Kriminal Polres Jaksel segera meluncur
ke lokasi untuk olah TKP. Ia melihat sendiri Yosua meninggal bersimbah darah. Aroma
Anyir dari Duren Tiga Sejak kejadian itu, Polri
telah menggelar beberapa kali konferensi pers, baik oleh Mabes Polri maupun
Polres Jakarta Selatan. Namun, keterangan mereka justru menimbulkan tanda tanya.
Setumpuk kejanggalan mengemuka, terutama setelah keluarga Yosua di Jambi
menyatakan bahwa Yosua bukan hanya ditembak, tapi juga disiksa. “Begitu jenazah almarhum
tiba di Jambi, keluarga diperintahkan [polisi] untuk tidak memegang
handphone, tidak memfoto, tidak memvideokan. Setelah jenderal atau kombes
[yang mengantar jenazah] ini masuk ke rumah [keluarga Yosua], pintu langsung
ditutup, jendela atau gorden ditutup, lalu ia memerintahkan agar tidak ada
perekaman,” kata Kamaruddin Simanjuntak, kuasa hukum keluarga Yosua, kepada
kumparan, Minggu (17/7). Keluarga Yosua pun curiga.
Apalagi polisi menghalang-halangi mereka untuk membuka peti jenazah. Mereka
merasa diintimidasi. Namun, mereka tak kehabisan akal. Keluarga lantas
memanggil petugas medis untuk menyuntikkan formalin guna mengawetkan jenazah
Yosua, sebab pemakamannya baru digelar tiga hari setelah ia meninggal. Saat itulah akhirnya
keluarga berhasil membuka peti jenazah. Dan saat memeriksa jenazah, mereka
kaget bukan main. Ayah Yosua, Samuel Hutabarat, stres melihat wajah dan tubuh
anaknya penuh luka. Sementara ibu Yosua, Rosti Simanjuntak, menjerit-jerit
histeris. “Saya menangis dan
menjerit, apalagi istri saya. Itu baru lihat luka di wajah, belum lagi dibuka
kancing baju [Yosua],” kata Samuel kepada kumparan di Jambi, Jumat (15/7). Ia melihat rahang putranya
bergeser. Itu sebabnya ia menduga anaknya terlibat perkelahian, bukan hanya
diberondong tembakan seperti kata polisi. “Ini bukan
tembak-menembak,” tegas Samuel. Keluarga kemudian memotret
luka-luka itu saat polisi tak ada di ruangan, lantas pergi ke rumah kerabat
yang berjarak satu kilometer dari rumah mereka, dan mengirim foto-foto itu
kepada Kamaruddin di Jakarta menggunakan ponsel sang kerabat karena ponsel
mereka sendiri diretas. “Jari manis dan kelingking
almarhum patah. Di perut dan bawah ketiak juga ada lebam-lebam biru bekas
penganiayaan. Pundaknya hancur dan masih mengeluarkan darah. Saat dibuka
celananya, di kaki, di bawah betis, ada lagi luka tusuk karena senjata
tajam,” papar Kamaruddin sambil menunjukkan foto-foto luka pada tubuh Yosua. Pertanyaannya, sambung
Kamaruddin, “Siapa yang menyayat-nyayat Yosua? Apakah Yosua disiksa,
disayat-sayat, dan dipukuli dulu, baru ditembak? Atau ia ditembak dulu, baru
disayat-sayat? Tapi kalau sudah mati, buat apa disiksa?” “Kalau
disiksa dulu—disayat matanya, dipukuli sampai babak belur bahunya, disayat
leher dan kakinya—baru ditembak, berarti pelakunya psikopat.” - Kamaruddin Simanjuntak, pengacara keluarga
Yosua Sumber
di kepolisian mengiyakan terjadi penganiayaan terhadap Yosua. Menurutnya,
sejumlah barang bukti ditemukan di lokasi, termasuk alat yang digunakan untuk
memotong jari Yosua. “Barang
bukti ditemukan, pakai semacam ini,” ujarnya sambil mengeluarkan alat
pemotong cerutu atau cigar cutter yang tajam dari tasnya. Sumber
lain yang bersinggungan dengan polisi juga mendapat informasi serupa dari
rekannya di kepolisian. Hal
itu mengindikasikan, luka di jari Yosua bukan karena terkena peluru yang
kemudian menembus badan, tapi karena cigar cutter. Ini mengingatkan akan
tradisi potong jari yang dilakukan Yakuza, organisasi mafia Jepang, kepada
anggotanya yang melakukan pengkhianatan atau pelanggaran. Sebelumnya,
keluarga dan pengacara pun telah menyebut dua jari Yosua patah. “Tanda bekas
dianiaya. Jari manis dan kelingking ini dirusak, bukan oleh peluru,” ujar
Kamaruddin. Kabar
lantas beredar santer bahwa Sambo terlibat dalam peristiwa itu. Menurut
sumber, semua bermula ketika Sambo mulai curiga terhadap kedekatan istrinya,
Putri, dan Yosua. Selama
ini, Yosua sering bertugas menyopiri Putri. Ia juga kerap menemani Putri
pergi ke tempat-tempat hiburan. “Setiap
dibawa ke tempat-tempat itu dan bertemu teman-teman Ibu, J selalu dianggap
pacar Ibu,” ucap si sumber. Ia
melanjutkan, hal itu membuat Sambo dongkol dan memberi perintah ke Bharada E,
ajudannya yang paling junior. Bharada E pun tak bisa menolak perintah itu. Pada
hari kejadian, ujar sumber tersebut, Sambo berada di rumah dinasnya. Ia
bersembunyi di salah satu sudut. Lantas, ketika terdengar suara dari kamar
Putri, penyergapan terhadap Yosua dilakukan. “Jadi
dia disergap. [Yosua dan penyergapnya] lalu berantem, setelah itu ia disiksa,
baru dihabisi. Kejadiannya seperti di film...,” kata sumber itu. Menurutnya,
kunci pengungkapan kasus ini ada pada rekaman CCTV rumah dan kesaksian
pembantu. Padahal, dekoder CCTV di rumah dinas Sambo disebut rusak sehingga
sama sekali tak ada rekaman saat baku tembak terjadi. Pengacara
Sambo, Arman Hanis, membantah Sambo berada di rumah. “Kan sudah dijelaskan
oleh Mabes Polri, Sambo tidak ada saat kejadian.” Mabes
Polri telah menyatakan, Sambo sedang keluar rumah untuk tes PCR saat
penembakan terjadi. Namun, tidak disebut di mana persisnya ia tes PCR. Hal
itu kini menjadi salah satu materi penyelidikan tim investigasi gabungan
internal-eksternal Polri. Kadiv
Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo meminta semua pihak untuk menunggu kerja tim
khusus tersebut alih-alih berspekulasi. “Percayalah kepada tim yang dibentuk
Kapolri. Ini benar-benar tim independen yang mempunyai kualitas dapat
dipertanggungjawabkan. Kita harus sama-sama menunggu hasil
[penyelidikan]nya.” - Arman Hanis, pengacara Fredy Sambo Kasus
Brigadir Yosua jelas berdampak buruk terhadap Polri, bukan hanya secara
eksternal, tapi juga internal. Sumber lain di kepolisian menyebut, kini
sesama polisi pun saling mencurigai dan saling memeriksa. Terlebih,
Sambo merupakan pucuk pimpinan Divisi Profesi dan Pengamanan Internal Polri
yang sedianya bertugas untuk mengawasi anggota Polri agar bekerja sesuai etik
dan profesi masing-masing. Dengan demikian, Divisi Propam memiliki wewenang
untuk menindak polisi. Menurut
sumber tersebut, ia pun sempat diadang dan dimintai keterangan oleh petugas
dari Pengamanan Internal Polri yang merupakan bagian dari Propam. “Saya
sempat lewat lokasi penembakan [di rumah dinas Sambo di Duren Tiga] lepas
tengah malam, lalu dicegat Paminal,” ujarnya. “Katanya Kadiv Propam ini garda
terdepan untuk menjaga citra polisi. Tapi citra mana yang dijaga kalau
tembak-menembak kayak film koboi begitu? Prosesnya pun enggak karu-karuan.
Yang disalahkan selalu orang kecil yang tidak punya kuasa, sementara yang
bertanggung jawab seenak-enaknya saja.”
-
Johnson Panjaitan, Penasihat Indonesia Police Watch Sementara
itu, beredar kabar bahwa istri Sambo, Putri, ikut mengalami kekerasan fisik.
Namun, hal itu dibantah oleh Novita Tandry, psikolog yang ditunjuk Polda
Metro Jaya untuk mendampingi Putri. “Saya
bertemu Ibu Putri. Dia dalam kondisi fisik yang bagus,” ujarnya. Menurut
Novita, Putri mengenakan pakaian lengan pendek saat bertemu dengannya. Tak
terlihat tanda-tanda lebam di wajah dan tubuh Putri. Meski
demikian, ujarnya, kondisi psikis Putri tak baik. Ia terguncang. “Dia
belum bisa berkomunikasi dengan baik. Beberapa kali menangis. Merasa malu
karena jadi sorotan utama media pekan ini,” kata Novita. Arman
membenarkan Putri trauma berat dan dalam perawatan intensif. Ia juga
menyanggah sang istri Kadiv Propam turut mendapat kekerasan. “Tidak
benar sama sekali. Itu informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,”
ujarnya. Ketua
IPW Sugeng Teguh Santoso berpendapat, untuk mengetahui kebenaran kabar bahwa
Putri juga menerima kekerasan, ia seharusnya ikut diperiksa. IPW
menekankan, kasus kematian Brigadir Yosua harus dikawal secara profesional
karena melibatkan Sambo yang notabene jenderal bintang dua. “Bongkar
kejanggalan-kejanggalannya, terutama soal asal sayatan-sayatan [di tubuh
Yosua]. Jangan sampai ada impunitas,” tutup Sugeng. “Yang tembak-menembak polisi, yang
melaporkan polisi, yang memeriksa polisi, yang menderita orang lain. Orang
lain ini [Yosua dan keluarganya] nasibnya harus diperjuangkan.” - Johnson Panjaitan Saat
ini Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk tim gabungan untuk
mengusut kasus kematian Yosua dengan metode scientific crime investigation.
Pada tim ini, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono bertindak sebagai
penanggung jawab, dan Irwasum Polri Komjen Agung Budi Maryoto, menjadi ketua
tim. Kapolri
mengajak Komisi Kepolisian Nasional dan Komnas HAM untuk ikut dalam tim
tersebut. Menurut Listyo, “Polri akan melakukan semua proses secara objektif,
transparan, dan akuntabel. Dan temuan-temuan yang didapat tim gabungan
menjadi kesimpulan untuk melengkapi proses yang saat ini dilaksanakan
penyidik.” Sementara
Kompolnas memenuhi ajakan Kapolri untuk bergabung dalam tim penyelidik,
Komnas HAM memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri secara independen. “Secara
kelembagaan kami independen, makanya tidak bergabung di timsus, tapi saling
kerja sama,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. Polri
pun menyatakan membuka akses lebar kepada Komnas HAM untuk memastikan proses
penyelidikan berjalan lancar. Anam
menyatakan, Komnas HAM akan memeriksa siapa pun pihak yang terkait, termasuk
Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo; istrinya, Putri Candrawathi; maupun Bharada
E. Komnas HAM juga akan memeriksa langsung ke TKP. “Bertemu
dengan keluarga [Brigadir Yosua] adalah langkah pertama kami. Setelah itu
kami akan panggil teman-teman di pihak lain—polisi, dokter, siber, termasuk
Pak Irjen Sambo dan istrinya, kami harap bisa bertemu langsung,” kata Anam,
Minggu (17/7). Menurut
Anam, Komnas HAM akan menguji rilis kepolisian maupun persepsi masyarakat
untuk melihat mana yang benar. “Kami bergerak imparsial dan objektif. Semua
informasi penting akan kami ambil; semua aktor terkait akan kami minta
keterangannya.” “Pimpinan tertinggi Polri harus
menonaktifkan terlebih dahulu Irjen Ferdy Sambo dari jabatannya selaku Kadiv
Propam.” -
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso Kematian
Brigadir Yosua turut menjadi sorotan Presiden Jokowi. Ia telah menerima
laporan tertulis dari Kapolri, dan mengingatkan bahwa semua orang sama di
hadapan hukum. “Tuntaskan.
Jangan ditutupi. Buka. Jangan sampai ada keraguan dari masyarakat,” ujarnya
di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/7). Untuk
membuka kasus ini pula, kuasa hukum keluarga Yosua melaporkan tindak pidana
pembunuhan berencana dalam kasus kematian sang brigadir. Kepada kumparan, tim
pengacara membeberkan deretan fakta janggal di seputar kematian Yosua. ● Sumber :
https://kumparan.com/kumparannews/kematian-brigadir-yosua-bukan-baku-tembak-biasa-1-1yUD8MVGKJj/full |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar