Antara
Brotoseno, Sambo, dan Plato Ade
Alawi: Dewan
Redaksi Media Group |
MEDIA NDONESIA 19 Juli 2022
SOSOKNYA tenang bin kalem. Tidak grasah-grusuh.
Tidak pula penuh drama. Guru seni rupanya saat di SMAN 8 Yogyakarta, Suhardi,
mengatakan sosoknya tak pernah banyak tingkah. Tak pernah pula terpancing
provokasi teman-temannya dalam pergaulan ala remaja di Kota Gudeg.
Prestasinya saat di sekolah membanggakan, selalu masuk lima besar siswa
berprestasi. Itulah sosok Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Harapan mengubah potret buram Polri berada di
pundaknya. Saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR,
Rabu, 20 Januari 2021, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri ini
menawarkan 16 program prioritas dan 8 komitmen jika terpilih menjadi Kapolri.
Listyo mengajukan konsep ‘Presisi’ kepolisian masa depan. Presisi ialah
singkatan dari prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan. Semua
program dan komitmen sang jenderal tertuang dalam makalahnya berjudul
Transpormasi Polri yang Presisi. Dia juga bertekad menghapus anggapan publik
bahwa hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Para wakil rakyat yang
mengujinya pun puas. Semua tepuk tangan. Keren! Listyo layak diacungi jempol. Mantan ajudan Presiden
Joko Widodo ini ialah Kapolri termuda di Indonesia. Lulusan Akademi
Kepolisian tahun 1991 ini menjabat posisi puncak di Bhayangkara dalam usia 51
tahun. Lebih muda dari pendahulunya, Jenderal Tito Karnavian. Saat menjabat Kabareskrim, Listyo menorehkan
keberhasilan, seperti menangkap terpidana kasus Bank Bali Djoko Tjandra yang
buron selama 11 tahun. Tak hanya itu, jenderal kelahiran Ambon, Maluku, 5 Mei
1969 ini juga membongkar praktik suap terkait pelarian Djoko Tjandra yang
melibatkan Kadiv Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan
Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Prasetijo Utomo. Tak lama setelah menjabat Kapolri, Listyo juga
melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk merekrut 56 pegawai KPK
yang dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai aparatur sipil negara (ASN) di
Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai ASN di lingkungan Polri. Mantan Kapolda
Banten ini akhirnya melantik 44 orang eks pegawai KPK sebagai ASN di Polri.
Pelantikan Novel Baswedan Dkk ini dilakukan bertepatan dengan momentum Hari
Antikorupsi Se-Dunia. Kini, Polri Presisi terus mengalami ujian. Setelah
kasus AKB Raden Brotoseno, terpidana kasus suap sebesar Rp1,9 miliar dalam
perkara korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2016. Ia
dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan dinyatakan bebas bersyarat pada Februari
2020. Semula sidang komisi etik yang dilakukan Oktober
2020 tidak memecat Brotoseno, tetapi malah melindunginya dengan alasan mantan
penyidik KPK ini berprestasi. Sebuah alasan yang melecehkan akal sehat
publik. Keruan saja publik berang. Polri jadi bulan-bulanan. Jurus no viral
no justice (tak ada keadilan jika belum viral) menjadi senjata warganet untuk
melancarkan protes. Akhirnya, Kapolri menerbitkan regulasi peninjauan kembali
keputusan komisi etik. Hasilnya, Brotoseno dipecat dengan tidak hormat.
Inilah pertama kali Polri menganulir hasil sidang Komisi Etik. Kali ini Polri Presisi mengalami ujian yang tak
kalah hebatnya dalam kasus tembak-menembak sesama anggota Polri, yakni
Brigadir J dan Bharada E, di rumah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan
(Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo. Peristiwa itu tepatnya terjadi di
rumah singgah Ferdy Sambo yang berada di Kompleks Polri daerah Duren Tiga,
Pancoran, Jakarta Barat, Jumat (8/7) pukul 17.00 WIB. Brigadir J atau
Nofriansyah Yosua Hutabarat selaku pramudi dan orang yang ditugaskan
mengamankan istri Kadiv Propam tewas dalam peristiwa itu. Brigadir J diduga
melakukan pelecehan kepada istri Kadiv Propam sehingga memicu kontak senjata
dengan Bharada E yang mengetahui pelecehan tersebut. Sejumlah kejanggalan menyeruak dalam peristiwa yang
menyedot perhatian publik tersebut, misalnya saja, kenapa ada jeda tiga hari
rilis oleh polisi ke publik sejak kejadian. Keanehan lainnya warga yang
tinggal di kompleks perumahan tersebut, termasuk Ketua RT setempat tidak
mengetahui atau mendengar ada kontak senjata dengan jumlah peluru yang
dimuntahkan sebanyak 12 peluru. Dari jumlah itu, 5 peluru menembus tubuh
Brigadir J. Belum lagi keterangan antara keluarga korban dan polisi tentang
luka-luka dalam tubuh korban saling bertentangan. Tak hanya kalangan civil society yang mencium
seabrek kejanggalan. Menko Polhukam Mahfud MD juga mengendus kejanggalan
tersebut. Presiden Jokowi meminta kasus itu dibuka seterang-terangnya ke
publik. “Tuntaskan! Jangan ditutupi, terbuka. Jangan sampai ada keraguan dari
masyarakat,” kata Jokowi saat bertemu pemimpin redaksi nasional di Istana
Merdeka, Jakarta, Rabu (13/7). Alhasil, Kapolri membentuk Tim Gabungan yang
dipimpin oleh Wakil Kepala Kepolisian Negara Repubik Indonesia (Waka Polri)
Komjen Gatot Eddy Pramono dengan melibatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kasus penembakan Brigadir J tentu pertaruhan besar
bagi Polri, termasuk ujian bagi Polri Presisi, mengingat atensi yang sangat
besar bagi publik. Hukum tidak semata mengejar kepastian hukum
(rechmatigkeit), tetapi keadilan yang merupakan tujuan paling luhur dari
penegakan hukum. Plato mendefinisikan keadilan sebagai the supreme virtue of
the good state (kebajikan tertinggi dari negara yang baik). Jika keadilan
dipermainkan oleh segelintir orang, bisakah kita menilai bahwa negara ini
baik-baik saja? Tabik! ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2506-antara-brotoseno-sambo-dan-plato |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar