Kedaulatan
Digital dan Reputasi Negara Rahma
Sugihartati : Guru Besar Sains Informasi FISIP
Universitas Airlangga |
MEDIA INDONESIA, 23 Juli 2022
KEBIJAKAN
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang mewajibkan
perusahaan teknologi informasi, baik asing maupun lokal, mendaftar ke negara
sebagai penyelenggara sistem elektronik (PSE) sudah diprediksi akan
menghadapi tentangan sejumlah pihak. Hingga 21 Juli 2022, Kemenkominfo
mencatat baru 8.276 PSE yang terdiri atas 8.069 PSE domestik dan 207 PSE
asing telah melakukan pendaftaran (Media Indonesia, 22 Juli 2022). Di luar
itu, masih banyak PSE yang tetap membandel tidak mau mendaftar. Entah apa
alasan PSE yang masih enggan mendaftar mesti tenggat pendaftaran telah
ditutup. Kalau
menurut ketentuan yang berlaku, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik dan Peraturan
Menteri Kominfo Nomor 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup
Privat, sudah jelas disebutkan tentang kewajiban PSE untuk mendaftarkan diri.
Ketentuan ini diberlakukan untuk melindungi masyarakat, terutama bila timbul
masalah dengan konsumen terkait layanan PSE yang merugikan. Dengan
mengharuskan PSE terdaftar, pemerintah niscaya akan lebih mudah menyelesaikan
persoalan bila ada insiden terkait dengan keamanan siber. Situasi
problematik Reaksi
resisten dari sejumlah PSE yang menolak atau minimal enggan mendaftarkan diri
ke Kemenkominfo sebetulnya sudah bisa diduga. Pada sejumlah PSE raksasa, yang
menguasai pangsa pasar dan digunakan mayoritas masyarakat di Tanah Air, wajar
jika merasa memiliki posisi bargaining yang kuat menolak kebijakan
Kemenkominfo. Kemenkominfo sendiri hingga saat ini tetap bergeming. Pemerintah
tetap berkukuh meminta semua PSE yang beroperasi di Indonesia mendaftarkan
diri, dan jika menolak, berisiko akan diblokir. Pemerintah tampaknya sudah
bertekad untuk menerapkan kebijakan untuk mengatur kedaulatan digital di
negeri ini, karena sudah bertahun-tahun membiarkan sekian banyak PSE seolah
melanggar begitu saja tata kelola dan ketentuan yang berlaku sebagai sikap
superioritasnya. Di
Indonesia, tindakan pemerintah melakukan pemblokiran terhadap PSE tertentu
sebetulnya bukan hal baru. Pada 2017, kita tentu masih ingat bagaimana
Telegram pernah diblokir oleh Kemenkominfo karena dinyatakan mengandung
konten radikalisme dan terorisme. Padahal, pada saat itu jumlah pengguna
Telegram sudah mencapai 10 juta lebih. Pada 2018, Kemenkominfo juga
dilaporkan pernah memblokir TikTok, sebuah PSE yang sedang naik daun dan
memiliki banyak pengemar, karena diketahui mengandung konten negatif,
terutama bagi anak anak dan remaja. Pada saat itu, TikTok juga sudah memiliki
sekitar 10 juta pengguna. Menurut
kalkulasi, melakukan pemblokiran terhadap PSE yang berskala raksasa memang
akan berisiko menimbulkan keresahan di masyarakat. Akan tetapi, membiarkan
PSE-PSE tertentu bebas berkiprah tanpa harus tunduk pada regulasi pemerintah,
tentu dampaknya akan berpotensi kontraproduktif. Secara garis besar, dua
situasi problematik yang menjadi alasan kenapa kiprah PSE perlu diatur
sedemikian rupa ialah; pertama, karena kehadiran PSE yang tanpa izin ke Tanah
Air selama ini telah mengeruk keuntungan yang begitu besar. Namun, sama
sekali tidak ada iktikad baik untuk menaati hukum yang berlaku tentu suatu
ironi. Kita
paham bahwa kehadiran kapitalisme informasional tidak mungkin bisa ditolak.
Ketika sumber utama produksi terletak pada kapasitas dalam penggunaan dan
pengoptimalan faktor produksi berdasarkan informasi dan pengetahuan
(knowledge), wajar jika kemudian tumbuh ekonomi informasional global dan
bentuk organisasional baru, yaitu perusahaan jaringan (network enterprise).
Perusahaan jaringan adalah bentuk spesifik perusahaan yang sistem sarananya
dibangun dari titik temu sejumlah segmen sistem tujuan otonom. Perusahaan
jaringan ini adalah perwujudan dari kultur ekonomi informasional global yang
memungkinkan transformasi tanda-tanda ke komoditas. Saat
ini perkembangan ekonomi informasional telah menjadi kekuatan ekonomi global
yang mampu berekspansi tanpa mengenal batas, yang salah satunya dikenal
dengan ekonomi daring (Lupac, 2018). Karakter ekonomi daring (digital) yang
nondiskriminatif dan membuka kesempatan bagi siapa pun untuk terlibat, di
sisi lain memang terkesan egalitarian, tetapi bukan rahasia lagi jika hasil
akhirnya justru memperlebar kesenjangan sosial. Dampak seperti inilah tentu
yang perlu diantisipasi pemerintah. Kedua,
berkaitan dengan kontradiksi-kontradiksi yang timbul ketika kiprah PSE terus
merambah ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Di satu sisi, kita mencatat
bahwa perkembangan masyarakat informasi sering kali diandalkan dan menawarkan
banyak janji sebagai pintu masuk untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan,
dan kebebasan bagi masyarakat di era digital. Namun, sejak awal kemunculan
gagasan, konsep, teori, dan realitas tentang masyarakat informasi hingga saat
ini telah banyak pula melahirkan berbagai kontradiksi. Seperti
yang terjadi di Jepang dan negara-negara maju di Eropa Barat pada awal
1980-an, akademisi dan futuris Jepang Yoneji Masuda telah menyatakan bahwa
masa depan negara-negara akan bertumpu pada informatisasi, yakni suatu
keniscayaan dalam struktur masyarakat informasi yang dia sebut sebagai
computopia (Masuda, 1967, 1968, 1976, 1980, 1981; May, 2002). Setelah
kira-kira 20 tahun Masuda menyampaikan prediksinya, akibat perkembangan
teknologi informasi dan pemanfaatan internet yang begitu masif ternyata juga
melahirkan berbagai masalah sosial yang makin meresahkan. Alih-alih
melahirkan kehidupan sosial masyarakat yang makin sejahtera, adil, dan
demokratis, efek samping dari perkembangan masyarakat informasi justru
menyebabkan terjadinya kesenjangan digital, merebaknya disinformasi,
misinformasi, hate speech (ujaran kebencian), merebaknya cyberporn dan
penjahat cinta di dunia maya. Bahkan tidak jarang pula menyebabkan terjadinya
dehumanisasi sosial. Masyarakat informasi yang salah satunya dicirikan dengan
semakin masifnya inovasi dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi,
selain dirasakan manfaatnya, ternyata juga melahirkan fenomena yang
kontradiktif. Kedaulatan
negara Di
Indonesia, menurut data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII),
saat ini ada sekitar 210 juta jiwa pengguna internet di Indonesia. Jumlah
pengguna yang luar biasa banyak ini, yakni sekitar 77% dari total populasi,
tentu merupakan kekuatan tersendiri. Bagi pemerintah, besarnya jumlah
pengguna internet yang sekaligus pangsa pasar yang sangat potensial bagi PSE
ini, tentu bisa dijadikan posisi tawar untuk menekan agar PSE yang belum
bersedia mendaftar mau menaati hukum yang berlaku. Kedaulatan
digital negara ini jangan sampai tergadai hanya karena pemerintah tidak
bersikap konsisten. Jangan sampai kedaulatan negara tunduk oleh tekanan
kekuatan komersial raksasa yang mau bersikap seenaknya untuk mengeruk
keuntungan atas nama liberalisasi dan kebebasan ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/508856/kedaulatan-digital-dan-reputasi-negara |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar