Bisik-bisik Keras Dahlan Iskan : Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 19 Juli 2022
"BUNG,
Anda kan selalu ikuti berita di media. Mohon tanya: siapa media pertama yang
menulis soal tembak-menembak polisi itu?"
Itulah
pertanyaannya saya pada beberapa orang pimpinan media. Tidak satu pun ada
yang bisa menjawab.
Padahal
saya sudah siap dengan pertanyaan berikutnya: "Berita pertama di media
itu muncul sebelum atau sesudah konferensi pers resmi Mabes Polri?"
Padahal
itu pertanyaan tulus saya sebagai orang yang merasa ketinggalan berita. Saya
ingin memberi penghargaan kepada media pertama itu. Kok hebat banget.
Dari
penelusuran saya, ternyata Ny. Sambo sebenarnya sudah melapor ke polisi. Ke
Polres Jakarta selatan.
Itu
tanggal 9 Juli 2022. Berarti hanya satu hari setelah tembak-menembak.
Mengapa
Ny. Sambo sendiri yang lapor? Bukan suaminyi? Atau menyuruh anak buah?
Ini
menyangkut ketentuan pelaporan. Untuk jenis laporan yang berkaitan dengan
seks tidak boleh diwakilkan.
Ini
kan laporan masalah Ny. Sambo merasa menjadi korban pelecehan seksual. Dia
harus lapor sendiri secara pribadi. Soal apakah dia datang ke Polres atau
orang Polres yang datang ke rumahnyi itu soal lain.
Mengapa
laporan pelecehan seksual dilakukan setelah yang dilaporkan meninggal?
Itu
suka-suka yang melapor.
Dengan
adanya laporan itu seharusnya media yang ''ngepos'' di Polres Jakarta Selatan
langsung tahu. Pengaduan seperti itu harus dibuka.
Kelihatannya
wartawan memang mulai tahu. Tapi belum mau menulis. Bisa saja karena belum
berhasil mendapat konfirmasi. Atau sengaja diminta menunggu keterangan resmi.
Maka
mau tidak mau akan ada keterangan resmi.
Itulah
sebabnya Polri melakukan konferensi pers tanggal 11 Juli 2022.
Begitu
banyak pertanyaan yang tidak terjawab dari konferensi pers itu. Begitu banyak
kejanggalan di alur ceritanya.
Tapi
setidaknya wartawan sudah mulai bisa menulis. Wartawan juga mulai punya
pijakan untuk melakukan reportase.
CNN
Indonesia dan Detik mengirim wartawan ke Duren 3. Yakni ke rumah Irjen Pol
Ferdy Sambo. Mereka wawancara dengan orang-orang di situ.
Lalu
datanglah tiga orang petugas. Mereka minta HP dua wartawan itu. Dibuka.
Isinya dihapus. Yakni yang berkaitan dengan wawancara soal tembak-menembak.
Saya
pun bertanya kepada bos pemilik dua media itu. Saya ingin mewawancarai
wartawan yang langsung terjun ke lapangan.
"Namanya
jangan dibuka dulu. Kasihan mereka," kata bos di dua perusahaan media
grup CT Corp. Saya memakluminya.
Sang
bos sudah ke Mabes Polri: mengadukan perlakuan pada dua wartawannya itu.
Polri menanggapinya dengan baik. Akan diselesaikan.
Walhasil
upaya merahasiakan peristiwa besar ini sebenarnya berhasil. Awalnya. Tidak
ada media yang bisa mengklaim ''kamilah yang pertama mengungkap''.
Saya
ingat di zaman Orde Baru. Saat itu sulit sekali untuk bisa menjadi pertamax
seperti itu. Wartawan sebenarnya selalu tahu secara dini peristiwa besar.
Tapi takut menuliskannya. Tunggu keterangan resmi saja. Kadang ada. Kadang
tidak.
Wartawan
yang lebih dulu tahu biasanya hanya mampu menceritakannya kepada sesama
wartawan, setelah mereka balik ke kantor. Maka kantin di kantor media itu
asyik sekali. Wartawan yang pulang dari ''pos'' masing-masing bercerita
peristiwa apa saja yang ia dapat. Sebatas diceritakan. Tidak bisa ditulis.
Yang
dimaksud ''pos'' adalah tempat tugas si wartawan. Ada wartawan yang
''ngepos'' di istana, di Mabes Polri, di Polda, di Polres, di pelabuhan, di
kementerian keuangan dan seterusnya. Di situlah mereka ''berkantor''. Setiap
hari. Mereka tahu apa pun yang ada di ''pos'' masing-masing. Termasuk sisi
gosip-gosipnya. Bahkan media seperti PosKota sampai punya wartawan yang
''ngepos'' di Polsek-Polsek.
Karena
itu media perlu punya wartawan banyak sekali. Mahal.
Media
online tidak mau punya banyak wartawan. Penghasilan online tidak sebesar
penghasilan koran di masa jaya.
Di
zaman sekarang, ternyata cara merahasiakan peristiwa sensitif masih sama.
Termasuk soal tembak-menembak polisi itu. Sampai tiga hari kemudian pun belum
ada wartawan yang tahu.
Medsos
juga masih bungkam.
Hebat
sekali. Kalau itu di zaman Orde Baru tidak ada yang heran. Ini terjadi di
zaman medsos.
"Mungkin
karena kejadian itu di satu rumah yang berada di kompleks perumahan yang
tertutup," kilah seorang wartawan.
Itulah
sebabnya berita tembak-menembak itu baru diketahui justru dari konferensi
pers. Resmi. Di Mabes Polri. Tanggal 11 Juli 2022. Sudah tiga hari setelah
peristiwa.
TV
One termasuk yang pertama menyiarkan konferensi pers itu. Detik.com juga.
Pertanyaannya:
kalau sudah berhasil ''menyembunyikannya'' selama tiga hari mengapa dibuka
lewat konferensi pers?
Kemungkinan
pertama, sudah berkembang bisik-bisik di lingkungan terbatas di Polri. Irjen
Pol Sambo pasti sudah melapor ke atasan mengenai apa yang terjadi, versi
dirinya.
Kita
tidak tahu kapan ''lapor diri'' itu dilakukan? Sang atasan pasti melakukan
koordinasi dengan staf. Sikap harus ditentukan. Sejak itu mulailah
bisik-bisik beredar. Kian hari kian luas. Termasuk yang sudah dibumbui.
Kemungkinan
kedua, keluarga korban juga memberitahu keluarga dekat tentang kematian
Brigadir Joshua. Juga kian luas. Berikut bumbu-bumbu penyedapnya.
Tukang
bumbunya bisa siapa saja: oknum di media, oknum di keluarga korban, oknum di
instansi kepolisian. Bahkan bisa saja dari orang yang ingin menjatuhkan
seseorang.
Wartawan
tertolong oleh bisik-bisik-keras di medsos itu. Wartawan punya alasan untuk
melakukan konfirmasi ke sumber yang kompeten. Atau mengecek ke lapangan.
Jelas
dalam kasus tembak-menembak itu wartawan mengalami hambatan. Dihalangi. HP
diperiksa. Isi dihapus.
Media
sudah mengadu.
Tiga
hari kemudian giliran istri pemilik rumah mengadu ke Dewan Pers. Lewat
pengacaranya. Dia menggugat pers. Media dianggap kurang empati kepada sang
istri.
Mungkin
yang dia maksud adalah media medsos. Yang belakangan memang seru sekali.
Foto-foto polwan cantik ikut diunggah. Lengkap dengan nama dan pangkatnyi.
Juga kisah-kisahnyi. Liar sekali. Tidak mungkin media mainstream berbuat
seperti itu.
Lalu
muncul juga wajah wanita lebih berumur yang tidak normal.
Sebuah
media medsos lantas menulis. Tulisan yang ada di medsos dijadikan fakta untuk
tulisan di medsos. 'Ada netizen mengatakan.....'. Itu jadi fakta sebagai
dasar menulis.
Itulah
yang disebut fakta model baru. Di dunia media masa kini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar