Kekerasan
terhadap Anak di Keluarga yang Menikah di Usia Anak Bagong
Suyanto : Guru Besar Sosiologi FISIP
Universitas Airlangga |
KOMPAS, 23 Juli 2022
Kasus
pernikahan usia anak di Indonesia masih mencemaskan. Indonesia menduduki
peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan
usia anak. Sekitar 22 dari 34 provinsi di Tanah Air memiliki angka perkawinan
usia anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Koalisi Perempuan Indonesia (2019) dalam studinya,
”Girls Not Brides”, menemukan bahwa 1 dari 8 remaja putri Indonesia menikah
sebelum usia 18 tahun. Berdasarkan data Bappenas (2021), perkawinan usia anak
dapat membawa dampak ekonomi yang menyebabkan kerugian ekonomi negara sekitar
1,7 persen dari pendapatan kotor negara (PDB). Dalam berbagai kasus pernikahan usia anak, sering
terjadi anak perempuan tiba-tiba harus beradaptasi dengan situasi baru
tatkala mereka hamil dan memiliki anak. Tentu hal ini bukan tanpa risiko. Tidak sedikit kasus memperlihatkan,
keluarga-keluarga muda yang belum siap secara psikologis untuk menikah dan
memiliki anak akhirnya kesulitan ketika harus mengasuh anak dalam usia muda.
Anak yang dilahirkan, yang seharusnya disayangi, bukan tidak mungkin justru
dianggap sebagai perintang dan beban tersendiri (Lo Camilla et al, 2017). Beban baru Studi yang dilakukan penulis di Provinsi Jawa Timur
(2021) menemukan, kalangan ibu muda mengakui, mengasuh anak bukanlah hal yang
mudah. Pada saat mereka masih tergolong kanak-kanak dan belum sepenuhnya puas
menghabiskan waktu bermain bersama teman-teman, tiba-tiba mereka harus
menanggung beban baru sebagai ibu muda yang bertanggung jawab mengasuh
anaknya. Daripada bersabar dan mendidik anaknya dengan kasih
sayang tanpa kekerasan, tidak jarang sebagian responden memilih jalan pintas.
Dari 300 responden yang diteliti, sebanyak 38 persen mengaku terkadang harus
membentak anak yang dinilai nakal, dan bahkan 6,7 persen responden mengaku
sering membentak anak mereka yang dinilai nakal. Ketika ulah anak sudah dinilai kelewatan, sebanyak
45 persen responden mengaku terkadang mencubit anaknya, dan bahkan sebanyak
16,7 persen responden mengaku sering mencubit anaknya jika dinilai nakal. Studi ini menemukan, sebanyak 21 persen responden
mengaku terkadang memukul anaknya kalau dinilai nakal. Sebanyak 5,7 persen
responden bahkan mengaku sering terpaksa memukul anaknya kalau mereka sudah
kehilangan kesabarannya. Sebagian responden mengaku mereka melakukan tindak
kekerasan karena mencontoh cara orangtua mereka dahulu mendidik anak-anaknya.
Ketika anak-anak responden melakukan hal yang dinilai baik, sebagian besar
responden (49,3 persen) mengaku mereka sering kali memuji anaknya. Sebanyak
16,3 persen responden bahkan mengaku memberi hadiah kepada anak-anaknya yang
telah berbuat baik dengan tujuan agar anaknya senang. Ketika anak berulah, tidak jarang orangtua atau
mertua responden ikut turun tangan membantu menangani anak responden yang
dinilai nakal. Meski sebanyak 48,7 persen responden mengaku orangtua atau
mertuanya tidak pernah ikut campur mendisiplinkan anaknya, sebanyak 26,3
persen responden mengaku terkadang orangtua atau mertuanya ikut turun tangan.
Bahkan dari 300 responden yang diteliti, 25 persen responden mengaku orangtua
atau mertuanya ikut turun tangan mendisiplinkan anaknya jika dinilai anak
sudah kelewat batas. Sebagian responden yang memilih jalan pintas,
seperti melakukan kekerasan dengan mencubit atau bahkan memukul anaknya yang
dinilai nakal, tampaknya berkaitan dengan pola sosialisasi yang dialami
responden dari orangtuanya. Menurut pengakuan sebagian besar responden,
ketika kecil, mereka juga terbiasa menerima berbagai bentuk abuse dari
orangtuanya jika dinilai nakal. Sebanyak 42,3 persen responden mengaku, mereka saat
kecil sering mendapatkan cubitan dari orangtuanya ketika dinilai nakal.
Sebanyak 11,7 persen responden mengaku sering ditampar orangtuanya jika
dirasa kelewat batas. Sebanyak 5 persen bahkan mengaku sering dipukul dengan
alat, seperti sapu atau benda lain. Bagi responden yang masih di usia anak, menikah dan
kemudian memiliki anak sebetulnya bukan hal yang dicita-citakan. Menikah di
usia anak dan kemudian memiliki anak membutuhkan banyak pengorbanan. Sebagian
besar responden merasa bahwa memiliki anak membuat mereka kehilangan waktu
bermain bersama teman, tidak bisa bekerja di sektor publik, tidak bebas
menonton televisi, waktu istirahat berkurang, dan alokasi penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri juga berkurang. Sebanyak 28,7 persen responden mengaku, sangat
terasa bahwa setelah memiliki anak, mereka tidak lagi memiliki waktu untuk
bermain bersama teman-temannya. Sebanyak 30 persen responden mengaku terasa
waktunya bermain bersama teman berkurang. Sebanyak 19,7 persen responden mengaku sangat terasa
bahwa mereka tidak lagi bebas menonton televisi kegemarannya. Sebanyak 17,7
persen responden juga sangat merasa bahwa kini mereka tidak lagi bebas
membeli berbagai barang karena harus memikirkan kebutuhan anaknya. Tekanan psikologis Pernikahan yang terjadi dan dialami anak-anak
perempuan bukan hanya merupakan pengesahan perkawinan yang menjadi penyebab
munculnya berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap anak (Durgut & Kisa,
2018), tetapi juga melahirkan rentetan masalah baru berkaitan dengan pola
pengasuhan anak-anak mereka. Anak-anak yang menikah umumnya rawan
diperlakukan salah dan rawan pula memperlakukan salah anak-anak mereka karena
ketidaksiapan sosial-psikologis anak yang tiba-tiba harus menjadi orangtua. Leeson & Suarez (2017) menemukan, di India, anak
perempuan kerap kali dipaksa menikah karena kelahiran mereka cenderung tidak
dikehendaki, dan karena itu dianggap sebagai beban yang perlu segera
dilepaskan kepada orang lain. Sementara itu, studi yang dilakukan penulis
menemukan, anak yang dilahirkan dari perkawinan usia anak juga kerap menjadi
beban bagi orangtuanya yang masih belia sehingga dalam beberapa kasus memicu
tindak kekerasan yang seharusnya tidak dilakukan. Studi yang dilakukan Dworsky & Meehan (2012)
menemukan, anak perempuan yang menikah di usia anak merasa tumbuh terlalu cepat
dan kehilangan masa remaja. Ibu-ibu remaja ini mengakui bahwa mengasuh anak
membuat mereka sangat stres (Dworsky & Meehan, 2012). Stres yang dialami
orangtua usia muda ini terjadi umumnya karena kurangnya dukungan sosial dari
keluarga, yang ujung-ujungnya akan berdampak negatif terhadap perkembangan
anak (Huang, Costeines, Kaufman, & Ayala, 2013). Pelaku tindak kekerasan terhadap anak di kalangan
keluarga muda umumnya adalah ibu–ibu muda yang secara sosial-psikologi belum
siap mengasuh anak. Meski tidak semua orangtua remaja menganiaya anak mereka,
usia ibu muda umumnya dianggap sebagai faktor risiko pada penganiayaan anak
(Scannapieco & Connell-Carrick, 2015). Anak yang lahir dari ibu yang belia memiliki risiko
substansial untuk ditelantarkan. Di sini latar belakang orangtua yang
mendapatkan kekerasan merupakan salah satu faktor yang menentukan bagaimana
mereka mengembangkan pola pengasuhan anak ketika menjadi orangtua (Bartlett
& Easterbrooks, 2012). Ibu berusia remaja berisiko mengulangi kekerasan
yang pernah dialaminya yang dapat memungkinkan terjadinya penelantaran anak,
dan deskripsi latar belakang masa kecil sangat esensial untuk memahami
berulangnya kekerasan (Bartlett & Easterbrooks, 2012). Menurut studi Valentino, Nuttall, Comas, Borkowski,
& Akai (2012), tindak kekerasan kepada anak yang terjadi di kalangan
keluarga muda bersifat kontinu dan diwariskan dari generasi sebelumnya.
Pengaruh tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat (community violence) dan
pola pengasuhan yang otoriter dievaluasi sebagai prediktor dari kekerasan
atau penganiayaan terhadap anak. Ibu-ibu yang memiliki riwayat pelecehan
anak, paparan terhadap kekerasan masyarakat yang tinggi, dan pola pengasuhan
yang otoriter berkaitan dengan peningkatan risiko pelecehan atau penganiayaan
anak antargenerasi. Anak yang menikah di usia anak dalam beberapa hal
rawan mengalami tekanan psikologis. Berbagai masalah yang dialami anak
perempuan yang terpaksa menikah di usia anak sering diperburuk oleh
kerentanan sosial dan kondisi ekonomi anak-anak yang ujung-ujungnya membuat
opsi pilihan kehidupan anak menjadi terbatas (Mikhail, 2002). Bagi anak perempuan yang beruntung, meski menikah di
usia anak, mereka mungkin tidak harus menghadapi banyak masalah dalam
pernikahan karena dibantu orangtua atau mertuanya dalam pengasuhan
anak-anaknya. Tetapi, bagi pasangan keluarga inti, ketika mereka harus hidup
mandiri, bukan tidak mungkin mereka menanggung beban yang berat ketika harus
mengasuh anak-anaknya sendirian. Selain berisiko terjerumus melakukan tindak
kekerasan pada anak-anaknya, orangtua muda yang memiliki anak juga berisiko
menghadapi kemungkinan perilaku deviant anak-anaknya sendiri ketika tumbuh
menjadi remaja. Tidak hanya mengalami depresi dan kecemasan, anak yang
dibesarkan dalam keluarga muda yang sarat dengan tindak kekerasan umumnya
lebih berisiko bersikap agresi, antisosial, dan perilaku yang mengganggu
lainnya (Dhayanandhan, Bohr, & Connolly, 2014). Pelampiasan Pernikahan usia anak tidak hanya melahirkan berbagai
masalah bagi anak perempuan dan keluarganya, tetapi juga memunculkan
persoalan baru menyangkut pola pengasuhan anak-anak yang dilahirkan di
lingkungan keluarga belia. Keluarga yang menikah di usia anak tidak hanya
rentan secara ekonomi, tetapi juga mengidap masalah tentang kesiapan
sosial-psikologis ibu-ibu belia dalam mengasuh anaknya dengan benar. Kajian penulis di Jawa Timur menemukan, anak-anak
yang lahir di kalangan keluarga belia terkadang menjadi korban penelantaran
dan kekerasan orangtuanya. Peran suami cenderung masih terpengaruh oleh
ideologi patriarkis, dengan pembagian kerja dalam keluarga masih menempatkan
perempuan sebagai sosok yang bertanggung jawab melaksanakan berbagai
pekerjaan domestik rumah tangga. Akibatnya, ibu-ibu muda yang tak kuat
menanggung beban tugas-tugas domestik pengasuhan anak pun terjerumus
melakukan tindak kekerasan untuk mendisiplinkan sekaligus sebagai bentuk
pelampiasan atas beban yang ditanggungnya. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/21/kekerasan-terhadap-anak-di-keluarga-yang-menikah-di-usia-anak |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar