CCTV
dan Poligami Gaudensius
Suhardi: Dewan Redaksi Media Group |
MEDIA INDONESIA, 25 Juli 2022
TEMANKU menggerutu. Kata dia, CCTV
panjat sosial dalam kasus polisi tembak polisi. “CCTV menjadi buah bibir
karena ada meme polisi tembak polisi, yang mati CCTV,” kata teman itu. Meme itu sesungguhnya mendahului fakta
sebab CCTV yang disebut mati itu justru hidup kembali. Bukan bangkit pada
hari ketiga, tapi pada hari kesembilan CCTV itu hidup lagi. Bukan sebuah
mukjizat, tapi polisi bekerja dalam sunyi mengungkap kebenaran. CCTV alias closed circuit television
menyedot perhatian dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Ia tewas di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam)
Polri nonaktif Ferdy Sambo setelah terlibat (disebut-sebut) baku tembak
dengan Bharada E pada 8 Juli 2022. Ihwal CCTV mati diungkapkan pertama kali
oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan nonaktif Kombes Budhi Herdi Susianto.
“Kami juga mendapatkan bahwa di rumah tersebut memang kebetulan CCTV rusak.
Rusak sejak dua minggu lalu sehingga tidak dapat kami dapatkan,” ujar Budhi
pada 12 Juli. Setelah tragedi polisi tembak polisi itu
mendapat perhatian luas, termasuk dari Presiden Joko Widodo, Polri menyatakan
pihaknya telah menemukan rekaman CCTV yang bisa mengungkap insiden berdarah
itu. “Tim ini bekerja maksimal. Kita sudah menemukan CCTV,” kata Kepala
Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo pada 20 Juli atau sembilan hari
setelah CCTV dinyatakan rusak. CCTV memang tidak disebutkan sebagai
alat bukti. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebut alat bukti yang sah berupa
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Jika tidak masuk kategori alat bukti
yang sah, mengapa CCTV selalu dicari orang setiap terjadi peristiwa pidana?
Jawabannya sangat sederhana. Ketika tidak ada saksi pada suatu peristiwa
pidana, CCTV sering kali menjadi petunjuk utama. CCTV dianggap sebagai bukti
tidak langsung. CCTV sebagai bukti tidak langsung
dipakai Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat menjatuhkan vonis
20 tahun kepada Jessica Kumala Wongso karena melakukan pembunuhan berencana
kepada Wayan Mirna Salihin. Selama persidangan berlangsung terungkap
bahwa tidak seorang pun melihat Jessica memasukkan racun sianida ke kopi
Mirna. Karena itulah hakim menyatakan CCTV menjadi bukti yang sah dalam
menetapkan Jessica bersalah. Rekaman CCTV di Kafe Olivier, Grand Indonesia,
menurut hakim sesuai dengan fakta yang dikemukakan sejumlah saksi di
persidangan. Pendapat hakim bahwa CCTV menjadi bukti
dikuatkan dalam putusan kasasi perkara nomor 498 K/PID/2017. Tambahan memori
kasasi kuasa hukum Jessica menuding hakim telah salah dalam cara
mengadili/menerapkan hukum dan lalai memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan. Kasasi ditolak. Dengan demikian, sudah menjadi
yurisprudensi bahwa CCTV bisa menjadi alat bukti yang sah. Meski demikian,
CCTV dapat dipergunakan sebagai alat bukti selama CCTV mempunyai keterkaitan
antara keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Kata teman saya, kejahatan tidak hanya
terjadi karena niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Keberadaan
CCTV membuat orang pikir seribu kali untuk berbuat jahat. Karena itu, kata dia, elok nian bila
pemerintah daerah menginisiasi pembuatan peraturan pemasangan CCTV. Bila
perlu, di setiap ruang publik ditulis peringatan bahwa di lokasi tersebut
telah dipasang CCTV agar orang mengurungkan niat untuk membunuh. Statistik Kriminal 2021 yang dirilis
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan kasus pembunuhan cenderung menurun
dalam kurun waktu 2016-2020. Terdapat 1.292 kejadian kejahatan pembunuhan
pada 2016, 1.150 kejadian di 2017, 1.024 kejadian di 2018, 964 kejadian di
2019, dan 898 pada 2020. Meski sudah ada CCTV, tetap saja terjadi
pembunuhan. Motif pembunuhan yang paling sering terjadi, berdasarkan
penelitian Agoes Dariyo dari Universitas Tarumanagara, ialah poligami, uang,
pinjaman atau utang, dan frustrasi. Terkait poligami disebutkan bahwa subjek
penelitian membunuh istrinya untuk memuluskan keinginannya berpoligami. Sampai kapan pun kasus pembunuhan sulit
untuk dihilangkan. Yang bisa dilakukan ialah bagaimana mengurangi, mencegah,
atau menghindari peristiwa pembunuhan. Sigmund Freud menjelaskan kejahatan
dari prinsip kesenangan yang di dalamnya termasuk makan dan seks. Ketika
kesenangan itu tidak bisa diperoleh secara legal, secara naluriah orang
melakukannya secara ilegal termasuk membunuh. Ketika terjadi peritiwa pembunuhan,
pertama kali yang dilakukan penjahat ialah menghapus jejak dengan
menghilangkan CCTV. Akan tetapi, tidak ada kejahatan yang sempurna. CCTV
diharapkan menjadi petunjuk kejahatan termasuk mengungkap kasus pembunuhan
karena poligami yang sering terjadi di masyarakat. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2511-cctv-dan-poligami |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar