Regresi
Demokrasi dan Resentralisasi (3) Azyumardi
Azra : Profesor
UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin Khalifa University, Qatar |
REPUBLIKA, 21 Juli 2022
Meminjam kerangka argumen sustainable
democracy, dengan prihatin harus dinyatakan, masa depan demokrasi di banyak
negara kini tak seindah yang pernah dibayangkan banyak kalangan. Sejumlah
perkembangan menghadirkan keadaan tak kondusif bagi demokrasi. Lihatlah, wabah Covid-19
yang masih merajalela sepanjang tahun ketiga pada 2022—belum bisa diprediksi
entah sampai kapan. Meski jumlah orang terinfeksi dan wafat karena Covid-19
turun dan naik di berbagai negara dunia, jelas wabah ini masuh jauh daripada
selesai. Tidak ada pihak, termasuk
badan kesehatan internasional dan nasional dapat memprediksi kapan pandemi
Covid-19 menurun menjadi endemi. Wabah Covid-19 jelas mengancam dan membuat
regresi demokrasi. Wabah Covid-19 memberi
peluang besar peningkatan otoritarianisme di banyak negara, termasuk
Indonesia. Banyak pemerintah di negara demokrasi atas nama ‘perang’ melawan
Covid-19 mengambil keputusan dengan mengabaikan prosedur demokrasi— termasuk
Indonesia. Banyak kebijakan tak hanya
gagal menerapkan demokrasi prosedural, tapi juga melanggar demokrasi
substantif dan HAM. Selain itu, atas nama melawan Covid-19, pemerintah juga
tidak selalu menjalankan kepatutan dan fatsun dalam hubungan dengan rakyat. Suara dan komplain rakyat
memprotes kebijakan pemerintah terkait Covid-19, regresi demokrasi dan
resentralisasi tampak sering tidak dipedulikan. Mengambil langkah dan
kebijakan yang cenderung jalan pintas non-demokratis, Pemerintah Indonesia
kadang terlihat gagap menghadapi Covid-19 dan dampaknya seperti kemerosotan
ekonomi, yang kini malah disertai kenaikan harga dan inflasi tidak
terkendali. Dengan sumber daya
keuangan kian menipis, utang makin menggunung, pemerintah patut menghentikan
pendekatan dan cara yang melanggar demokrasi; dan sebaliknya menggalang
partisipasi warga untuk memperbaiki keadaan. Jika ingin kembali pada
demokrasi lebih genuine, pemerintah dapat juga menggalang kekuatan masyarakat
sipil untuk membantu dalam memitigasi dampak wabah Covid-19. Namun, pemerintah gagal
berkomunikasi politik dengan masyarakat sipil, yang akhirnya terpaksa
bergerak sendiri mengerahkan segenap daya, usaha, dan fasilitas untuk
memitigasi pandemi Covid-19 dan dampaknya—berusaha keluar dari kesulitan
ekonomi dan sosial. Dengan kemampuan
menggalang dana filantropis, masyarakat sipil membantu penanggulangan
kemiskinan dan pengangguran yang meningkat akibat wabah korona. Banyak ormas Islam dan
lembaga filantropi masyarakat sipil dengan partisipasi warga berjasa membawa
Indonesia ke peringkat pertama negara paling dermawan secara global pada 2019,
2020, dan 2022. Sayang sekali potensi mereka kurang diapresiasi pemerintah. Sangat disayangkan, di
Indonesia justru terjadi peningkatan oligarki despotik-nepotistik, yang
melibatkan ketiga cabang pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif). Beragam kebijakan politik
menyangkut kehidupan publik hampir sepenuhnya ditentukan segelintir pejabat
puncak pemerintah dan elite politik partai. Mereka biasa juga disebut
‘oligarki politik’, yang sering bersekongkol dengan oligarki bisnis. Berbagai langkah, termasuk
legislasi pemerintah dengan DPR, lebih menguntungkan oligarki bisnis dan
oligarki politik daripada warga juga bangsa. Pemerintah Indonesia yang
berhasil membentuk koalisi besar dengan mayoritas mutlak parpol di parlemen,
hampir sepenuhnya memproses dan menetapkan undang-undang dan pengangkatan
penjabat kepala daerah, tanpa melibatkan DPRD serta masyarakat sipil. Meski ada suara kritis
dari kalangan publik dan masyarakat sipil terhadap regresi demokrasi dan
resentralisasi, elite pemerintahan dan politik oligarkis-nepotistik tampak
tidak peduli. Demokrasi tak bisa berkelanjutan jika pemerintah dan DPR tidak
lapang dada mendengar suara kritis. Atau kalaupun seolah mau
mendengar, tapi disertai berbagai catatan yang ujung-ujungnya seolah tidak
membenarkan kritik. Walhasil, kritik umumnya seperti batu jatuh ke
lubuk—tenggelam tanpa bekas. Padahal, masih adanya
suara kritis dari masyarakat merupakan modal tersisa agar demokrasi bisa
berkelanjutan. Mereka yang bersuara kritis berani menghadapi segala risiko;
ada kalangan warga yang berusaha menghalangi kebebasan beraspirasi dan
berekspresi yang kian menyempit. Berbagai survei menemukan,
banyak warga kian takut menyatakan pendapat secara terbuka, apalagi
menyampaikan kritik. Keadaan ini memprihatinkan karena keberanian berpendapat
dan mengkritik merupakan salah satu prasyarat utama bagi demokrasi bisa
berkelanjutan. Kembali menciptakan
keadaan dan iklim kondusif bagi tumbuhnya demokrasi berkelanjutan, kini salah
satu tantangan utama pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Dalam waktu tersisa tak
terlalu lama sampai pelantikan presiden dan wakil presiden baru pada 20
Oktober 2024, kepemimpinan nasional ini patut mengerahkan segala daya
membangun kembali demokrasi agar berkelanjutan. Ini kelak bisa menjadi legasi
penting mereka dalam sejarah. ● Sumber :
https://www.republika.id/posts/30116/regresi-demokrasi-dan-resentralisasi-3 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar