Jalan
Panjang Perjuangan Presidential Threshold
Abustan: Dosen Magister Hukum Universitas Islam
Jakarta |
KOMPAS, 18 Juli 2022
Harapan
untuk mewujudkan keadilan lewat proses pencalonan pemilu presiden dan wakil
presiden melalui mekanisme Mahkamah Konstitusi ternyata tak menemukan titik
terang. Padahal, berulang kali ada permohonan judicial review atas Pasal 222
UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential
threshold) ke Mahkamah Konstitusi. Selama
2014, masalah ini terus memantik perdebatan panjang karena putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) menyatakan presidential threshold sebagai kebijakan hukum
yang terbuka hingga menyerahkan kepada pembentuk undang-undang. Dalam hal
ini, eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR), selanjutnya, perdebatan
dalam pembahasan RUU Pemilihan Umum terutama terkait adanya keputusan MK soal
pemilu serentak di pemilu tahun 2019. Hal itu, tentu saja menimbulkan
perdebatan soal apakah diperlukan ambang batas pemilihan presiden atau tidak. Tampaknya,
opsi ini mengindikasikan keraguan dan keterbelahan pandangan fraksi-fraksi
yang ada di DPR. Ada fraksi yang menghendaki tidak perlu lagi ambang batas
pencalonan presiden, tetapi ada juga yang menghendaki tetap diperlukan dengan
alasan dan basis argumentasi yang berbeda. Namun,
sejumlah pendapat yang menjadi justifikasi (pembenaran) tentang hal yang
mendasar dan urgensi dilakukan ambang batas secara sosiologis dan landasan
filosofisnya kita tak menemukan. Sebab, idealnya pendapat itu isinya haruslah
mengatakan hakikat masalah yang sebenarnya. Di mana keberadaan presidential
threshold 20 persen adalah tidak demokratis, mengabaikan konstitusi, hak
asasi manusia (HAM), dan berlaku secara diskriminatif kepada rakyat selaku
pemegang kedaulatan tertinggi. Ambang
batas inkonstitusional Bangsa
Indonesia menganut persamaan hak dalam hukum dan persamaan kesempatan dalam
pemerintahan bagi semua warga negara Indonesia (WNI) yang dijamin oleh
konstitusi UUD 1945. Karena itu, mengoreksi secara total Pasal 222 UU Pemilu
Nomor 7 Tahun 2017 menjadi keniscayaaan di negara yang berdasar hukum
(rechstaat), bukan negara kesewenang-wenangan kekuasaan (macstaat). Oleh
sebab itu, ada beberapa catatan penting yang berkorelasi dengan presidential
threshold atau ambang batas. Pertama, perlu dipahami bahwa rumusan Pasal 22 E
UUD 1945 telah dengan jelas menyatakan pemilu dilaksanakan sekali dalam lima
tahun. Pemilu itu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta
memilih presiden dan wakil presiden. Poin
khusus tentang norma pemilihan presiden/wakil presiden selama ini seringkali
”dipelintir” oleh pemerintah dan beberapa fraksi DPR demi mewujudkan
keinginan politik mereka agar jumlah pasangan dapat diminimalisasi
(dibatasi). Frasa kata ”sebelum pemilihan umum dilaksanakan” diartikan
sebagai sebelum pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Kedua,
perlu pula dipahami, sejatinya makna Pasal 6 A dikaitkan dengan Pasal 22 E
UUD 1945 dengan jelas menunjukkan bahwa pemilu dilaksanakan serentak dan
setiap parpol peserta pemilu berhak untuk mengajukan calon presiden dan wakil
presiden sebelum pemilu dilaksanakan. Dengan demikian, dapat diartikan kalau
memang pemilu wajib dilaksanakan serentak, maka pembicaraan tentang threshold
atau ambang batas perolehan kursi di DPR sebagai syarat pencalonan akan
menjadi tidak relevan lagi sama sekali. Ketiga,
putusan MK mengenai pemilu serentak harus diakui telah melewati/didahului
dengan perdebatan akademis yang alot dan panjang. Effendi Ghozali dan Yusril
Ihza Mahendra menjadi pemohon yang tergolong ulet dan kukuh memperdebatkan
pemilu serentak di sidang MK. Akan
tetapi, setelah MK memberikan putusan pemilu serentak, sangat disayangkan
karena masih saja ada ”pikiran-pikiran inkonstitusional” yang menghendaki
agar ambang batas tetap ada (dicantumkan). Hal itu menunjukkan betapa krusial
poin ambang batas presiden dan wapres di tengah pusaran kepentingan politis
oleh partai politik yang diuntungkan oleh sistem yang otoriter. Suasana
sidang yang diketuai oleh hakim MK Arief Hidayat membahas uji materi UU
tentang ambang batas pencalonan presiden (<i>presidential
threshold</i>) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (11/1/2018).
Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur ambang batas pencalonan presiden
dan menyatakan bahwa pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. LASTI
KURNIA Suasana
sidang yang diketuai oleh hakim MK Arief Hidayat membahas uji materi UU
tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, Kamis (11/1/2018). Mahkamah Konstitusi menolak uji
materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang
mengatur ambang batas pencalonan presiden dan menyatakan bahwa pasal tersebut
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Penjaga
demokrasi Respons
dan ekspektasi publik untuk memperjuangkan demokrasi dengan beramai-ramai
memasukkan permohonan ke MK, bahkan tak terkecuali warga negara Indonesia
yang ada di luar negeri. Tentu, semua ini demi memperjuangkan apa yang
menjadi hak-hak konstitusionalnya dan melawan dengan cara yang sah dan legal
terhadap pihak atau kelompok yang mencoba ”membelokkan” ideal-ideal
demokrasi. Pada
titik itulah, perlu pula dipahami adanya ancaman terhadap demokrasi yang
datangnya bukan dari semisal kapitalisme, sosialisme, dan komunisme. Akan
tetapi, ancaman paling nyata justru datang dari dalam pendukung demokrasi itu
sendiri. Atau, dengan kata lain, menggunakan anasir-anasir dalam demokrasi,
tetapi secara realitas sesungguhnya tidak demokratis. Padahal, pasal-pasal di
dalam UUD 1945 telah merefleksikan perlindungan hak-hak konstitusional warga
negara. Oleh
sebab itulah, negara hukum Pancasila mengharuskan negara hadir untuk
melindungi hak demokrasi warga negara dan sekaligus untuk perlindungan
hak-hak konstitusional warga negara. Meminjam istilah John Locke, konstitusi
adalah kontrak sosial antara warga negara dan negara, dan berdasarkan kontrak
sosial warga negara adalah principal, sementara negara adalah pelayan. Jika
ada pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh negara, maka negara
harus bertanggung jawab untuk memulihkan hak-hak konstitusional warga
negaranya. Maka,
sebagai bentuk pemenuhan hak konstitusional rakyat, lahirlah lembaga baru
yang bernama MK. Pada dasarnya, tujuan pembentukan MK untuk mengawal
konstitusi, terutama menjaga agar tidak ada UU yang melanggar UUD. Hak uji UU
terhadap UUD diberikan kepada MK sebagai lembaga yudikatif yang sejajar
dengan pembuat UU. Hal itu dimaksudkan, selain didasari oleh pandangan
perlunya checks and balances antarlembaga negara, juga merujuk pada alasan
John Marshall (Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat) yang untuk pertama kali
dalam sejarah ketatanegaraan melakukan judicial review dengan membatalkan
Judiciary Act 1789 karena isinya bertentangan dengan konstitusi Amerika
Serikat. Keberanian
moral dan pemihakan yang jelas terhadap rakyat oleh hakim agung Amerika
Serikat dalam membatalkan produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi
Amerikat Serikat mestinya menjadi teladan dan harus dicontoh oleh hakim MK
yang melakukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu terhadap konstitusi UUD 1945.
Apalagi, posisi MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman dengan sejumlah
kewenangan yang dimilikinya. Sebetulnya,
publik berharap besar terhadap lembaga ini untuk melakukan perubahan mendasar
sehingga pengejawantahan demokrasi benar-benar terlaksana dengan baik. Namun,
sangat disayangkan karena justru berbagai putusannya terkait Pasal 222 UU No
7/ 2017 ini justru memberikan penolakan. Terakhir, putusan MK Nomor
52/PUU-XX/2022 yang diajukan DPD dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dengan
demikian, berbagai ikhtiar untuk memulihkan atau menormalkan kembali ke
sistem demokrasi yang berbasis kedaulatan rakyat kembali ”dipatahkan” oleh
putusan MK. Jadi, upaya yang bersifat kelembagaan ataupun perorangan dan
puluhan elemen masyarakat lain yang telah mengajukan judicial review dengan
semangat menjunjung demokrasi kembali gagal. Itu berarti, eksistensi MK patut
dipertanyakan sebagai the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya
demokrasi. Selain
itu, ada lagi yang perlu direnungkan oleh MK sebagai lembaga penjaga tegaknya
nilai demokrasi, yaitu sebuah alasan tentang perlunya pelembagaan judicial
review bahwa UU adalah produk politik. Sebagai produk politik, sangat mungkin
isi UU bertentangan dengan UUD, misalnya akibat adanya
kepentingan-kepentingan politik parpol yang ada di parlemen, bahkan sangat
mungkin pula adanya ”kolusi politik” antar-anggota parlemen atau adanya
intervensi dari tangan pemerintah yang sangat kuat. Secara
substansi, perubahan konstitusi telah mengubah paradigma kekuasaan negara
dari supremasi MPR ke supremasi konstitusi sehingga MK adalah bagian dari
kekuasaan kehakiman. Yang menjadi sangat fundamental dan merupakan bagian
dari sistem kekuasaan yang merdeka dan memiliki fungsi menegakkan keadilan.
Dengan harapan untuk menjalankan amanat konstitusi itulah, MK kembali
mengokohkan eksistensinya sebagai penjaga demokrasi. Akhirnya,
untuk menghindarkan rakyat dari pesimisme dan fatamorgana berdemokrasi,
Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi haruslah tetap menjadi postulat
penting dalam bernegara. Karena itu, salah satu pencapaiannya adalah
menghilangkan presidential threshold dalam sistem demokrasi kita. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/16/jalan-panjang-perjuangan-presidential-threshold |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar