Pedagogi
Kolaborasi dan Solidaritas Anita
Lie : FKIP
Unika Widya Mandala Surabaya |
KOMPAS, 23 Juli 2022
Pandemi
Covid-19 selama 2,5 tahun telah menunjukkan kerapuhan sekaligus keterkaitan
umat manusia. Momentum pandemi membawa kesadaran baru tentang ancaman bencana
kemanusiaan di masa depan dan harapan terhadap pendidikan untuk menata ulang
peta jalan menuju masa depan yang lebih baik. Ketika negara-negara sedang berjuang memenuhi Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2030, UNESCO
menawarkan Visi Pendidikan 2050 dalam dokumen ”Reimagining Our Futures
Together: A New Social Contract for Education” (2021) dan mengajak kita semua
untuk memikirkan kembali pendidikan dan menciptakan bentuk masyarakat di masa
depan yang kita impikan (Ismunandar, Kompas, 29 Januari 2022). Dokumen UNESCO yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia ini mengingatkan bahwa umat manusia, sampai dengan saat ini,
hanya mempunyai satu planet sebagai rumah bersama. Sayangnya, sumber daya di
planet Bumi ini tidak digunakan secara baik, adil, dan bertanggung jawab
sehingga muncul ketidaksetaraan di berbagai wilayah di dunia, pelanggaran hak
asasi manusia, dan kerusakan alam, termasuk pemanasan global. Pada 2050, penduduk Bumi diperkirakan mencapai 9,7
miliar orang. Jika tidak ada upaya strategis dan sistematis untuk
mengendalikan eksploitasi Bumi, bencana kemanusiaan akan menjadi tidak
terkendali: badai, banjir, kekeringan, kelaparan, polusi emisi karbon yang
mematikan, penyakit-penyakit baru, migrasi tak terkendali, dan perang. Sebagian pembaca artikel ini mungkin akan masih
hidup dan menghadapi ancaman itu di masa depan. Pada 2050, anak-anak yang
berusia SD dan SMP saat ini harus mengalami penderitaan bencana Bumi pada
saat mereka baru pada kisaran 35-45 tahun. Jadi, bagaimana? Manusia dikaruniai akal budi untuk mendayagunakan
segala kapasitasnya untuk mencegah malapetaka terjadi pada anak-cucu dan
membangun masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. Pendidikan adalah
salah satu jalan utama untuk menghentikan tindakan-tindakan destruktif
terhadap sesama dan alam semesta serta menumbuhkan kepedulian dan tekad demi
kebaikan bersama melalui pedagogi kolaborasi dan solidaritas. Harapan dan kontrak sosial baru Masih ada harapan untuk mengubah dunia dan
menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-cucu. Kita membutuhkan suatu
kontrak sosial baru untuk pendidikan yang dapat menghentikan ketidakadilan
sekaligus juga mentransformasi masa depan. Kontrak sosial baru ini harus menghargai hak asasi
manusia dan menghormati prinsip-prinsip nondiskriminatif, berkeadilan sosial,
hormat terhadap kehidupan, martabat manusia, dan keberagaman budaya. Prinsip
tersebut juga harus mencakup etika kepedulian dan solidaritas. Kontrak ini
juga harus memperkuat pendidikan sebagai upaya pemerintah dan masyarakat
untuk kebaikan bersama (bonum commune). Membayangkan kembali dan mentransformasi masa depan
bersama membutuhkan kapasitas umat manusia untuk bekerja sama dan peduli
terhadap kebaikan bersama. Dalam kontrak sosial baru untuk pendidikan, pedagogi
harus berakar pada kolaborasi dan solidaritas, membangun kapasitas pelajar
dan guru untuk bekerja sama dalam satu tekad untuk mengubah dunia. Bagaimana
anak belajar ditentukan oleh mengapa dan apa yang mereka pelajari. Komitmen
dasar untuk mengajar dan memajukan hak asasi manusia berarti bahwa guru harus
menghormati hak-hak pelajar. Pendidik perlu menciptakan kesempatan bagi orang
untuk belajar dari satu sama lain dan menghargai satu sama lain pada semua
garis perbedaan, baik jender, agama, ras, budaya, kelas sosial, maupun
disabilitas. Menghormati martabat orang berarti tidak memaksakan
kehendak pada sesama manusia. Mengajarkan nilai-nilai kebaikan suatu agama
tidak sama dengan memaksakan atribut agama tersebut pada pelajar yang
berbeda. Secara psikologis, memang manusia merasa nyaman
berada dalam lingkungan yang familiar (sama). Namun, secara pedagogis, akal
budi manusia akan ditantang untuk bertumbuh secara optimal dalam lingkungan
yang kaya dengan keberagaman. Belajar dari alam semesta yang bertumbuh
berdasarkan prinsip bio-diversitas, ekosistem kehidupan akan berkelanjutan
jika elemen yang berbeda saling menghargai dan melengkapi. Implementasi pedagogi kolaborasi dan solidaritas Pedagogi kolaborasi dan solidaritas membutuhkan
pembelajaran partisipatif, kooperatif, penyelesaian masalah, multidisipliner,
antargenerasi, dan antarbudaya yang dibingkai oleh tujuan menciptakan
kebaikan bersama. Pembelajaran dalam pedagogi kolaborasi menggabungkan
pengetahuan konseptual dengan prosedural serta—dalam bahasa Ki Hajar
Dewantara: pengolahan daya pikir, daya rasa, daya karsa, dan daya raga—untuk
menumbuhkan pengetahuan dan menerjemahkan pengetahuan tersebut ke dalam
tindakan nyata. Praktik pedagogis didasarkan pada refleksi atas
pengalaman dan penggalian pengetahuan yang semua perlu terus-menerus disusun
kembali ke dalam realitas masa kini dan mimpi masa depan. Motivator
pembelajaran yang kuat adalah autentisitas (memahami hubungan antara apa yang
dipelajari dan dunia para pelajar) dan relevansi (memahami hubungan antara
apa yang dipelajari dengan kebutuhan dan nilai-nilai). Pembelajaran berbasis proyek dan masalah memberikan
banyak peluang untuk pembelajaran yang autentik dan relevan serta
memanfaatkan minat intrinsik kita untuk mengetahui dan memahami. Ada cukup banyak contoh kebangkitan kesadaran dan
rintisan kontrak sosial baru dalam dunia pendidikan di seluruh Tanah Air.
Salah satunya, tulisan para pelajar dan guru yang dikumpulkan oleh
Karuningtyas Rejeki, Zita Wahyu Larasati, dan Ibe Karyanto dalam Perubahan
Itu Nyata: Buku Praktik Baik Pendidikan Kontekstual. Refleksi para pelajar
dan guru SMP, SMA, dan SMK ini memberikan harapan segar terhadap pendidikan
di Indonesia. Berbagai kisah yang mengungkapkan pengalaman dan refleksi
mereka dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual berbasis proyek merupakan
catatan praktik baik proses pembelajaran yang dalam kata-kata salah seorang
siswa penulis dari SMPN 2 Jenawi, Karanganyar, Marsya Agustina Atika Sari,
”lebih menyenangkan daripada pembelajaran reguler atau konvensional”. Proses pembelajaran menjadi menyenangkan karena para
pelajar terlibat secara autentik dan otonom mulai dari perencanaan kegiatan,
pelaksanaan, hingga refleksi mereka. Belajar dari alam semesta, mengamati
peristiwa budaya seperti Nyadran dan Suroan serta mengelola dinamika kelompok
karena perbedaan kepribadian dan tingkat motivasi sudah memampukan para
pelajar untuk bertumbuh. Selain itu, hasil dari pembelajaran kontekstual
berbasis proyek juga bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, pupuk organik yang
dibuat para pelajar dari sampah dapur dan sampah pertanian. Pengalaman belajar ini tentu akan jadi bekal para
pelajar untuk menghadapi kehidupan pada 2050 ketika mereka menjadi pemimpin
bangsa dan dunia pada usia 40-an tahun dan untuk mengubah gerak peradaban
masa kini agar apa yang dikhawatirkan akan menjadi bencana pada era itu bisa
dihindari ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/21/pedagogi-kolaborasi-dan-solidaritas |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar