Menggagas
Pedoman Uji Kelayakan dan Kepatutan Pejabat Negara Ibnu
Syamsu Hidayat : Advokat Themis Indonesia Law Firm |
KOMPAS, 20 Juli 2022
Bertubi-tubi
tidak kunjung selesai. Istilah yang mungkin layak disematkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi beberapa tahun ke belakang ini. Rentetan masalah
panjang seakan terus menimpa, mulai dari masalah revisi UU KPK hingga masalah
tes wawasan kebangsaan alih status pegawai, merosotkan kepercayaan masyarakat
terhadap KPK. Bahkan, komisioner yang dinilai memiliki integritas
dan moral baik pun telah tercoreng. Dewan Pengawas KPK telah menyidangkan dua
perkara etik yang pelakunya adalah komisioner KPK berkaitan dengan perilaku
mewah dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani
KPK. Persoalan etik yang menimpa komisioner KPK tersebut
sepertinya bukan soal permasalahan individu seorang komisioner. Di balik
masalah etik tersebut, terdapat persoalan serius yang dibangun secara
sistematis dan terstruktur. Kilas balik Sebelum terjadi revisi UU KPK, tercatat banyak
sekali pihak yang melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK)
terkait dengan UU KPK dan UU Tindak Pidana Korupsi. Titik awal pelemahan KPK
dimulai dari putusan MK yang inkonsisten. Hal ini dapat diketahui dari
beberapa putusan MK yang antarputusan saling bertentangan tentang keberadaan
atau kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Inkonsistensi ini dapat dilihat dari Putusan MK
Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, di mana MK
menempatkan KPK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif). Kemudian,
hal itu berubah. Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor
37-39/PUU-VIII/2010 MK menempatkan KPK sebagai lembaga negara yang bersifat
independen tanpa menempatkan KPK sebagai bagian dari salah satu cabang
kekuasaan negara. Dan tafsir terakhir, MK melalui Putusan Nomor
36/PUU-XV/2017 justru menempatkan KPK sebagai lembaga yang berada di ranah
eksekutif. Tafsir baru KPK sebagai lembaga negara yang berada
di ranah eksekutif inilah yang kemudian digunakan pembentuk undang-undang
sebagai alasan sinkronisasi atau integrasi putusan MK sehingga perlu merevisi
UU KPK. Tahun 2019 dapat digunakan sebagai tanda praktik legislasi
yang ngeyel. Pembentuk undang-undang terus membahas dan mengesahkan revisi UU
KPK walaupun mendapatkan penolakan besar-besaran dari publik. Masalah uji kelayakan dan kepatutan Kembali pada persoalan integritas komisioner KPK.
Sebenarnya dalam syarat sebagai calon pemimpin KPK Nomor
07/PANSEL-KPK/05/2019 tentang Seleksi Calon Pimpinan KPK Masa Jabatan
2019-2023, persyaratan poin g mengatur bahwa seorang calon pemimpin KPK harus
cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi
yang baik. Yang menjadi pertanyaan, mengapa setelah menjadi
pemimpin KPK terdapat komisioner atau pemimpin yang melanggar integritas? Apa
yang salah dari perekrutan komisioner KPK? Pertama, perilaku tim hore, biasanya setiap calon
pemimpin KPK memiliki tim hore masing-masing. Tim hore ini biasanya terdiri
dari kawan, kolega organisasi saat di kampus atau di pekerjaan, atau orang
kepercayaan calon. Mereka bertugas menemui dan melobi tokoh-tokoh,
seperti tokoh ormas keagamaan dan tokoh-tokoh di partai politik yang dinilai
memiliki pengaruh dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di
Komisi III DPR nanti. Kedua, selain tim hore yang melakukan praktik lobi
guna pemenangan calon masing-masing, partai politik di Komisi III DPR juga
tidak jauh dari praktik lobi ini. Partai politik memiliki jagoan
masing-masing sehingga mereka harus melakukan lobi-lobi dengan partai lain
sehingga dapat menyetujui satu paket mana yang akan mereka pilih sebagai
komisioner KPK. Fenomena saling lobi yang dilakukan oleh tim hore
ataupun partai politik ini yang kemudian berpotensi mengabaikan integritas
calon pemimpin KPK. Komisi III DPR berpotensi tidak lagi mempertimbangkan
soal rekam jejak, tetapi berdasarkan pertimbangan politik, seperti karena
loyalitas politik ataupun kedekatan tertentu saja. Pedoman baku Uji kelayakan dan kepatutan merupakan tahapan yang
harus dilalui oleh calon pemimpin yang akan menduduki sebuah jabatan. Melalui
fit and proper test inilah seorang calon dianggap layak dan patut untuk
menjadi pemimpin di lembaga negara. Dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, perlu ada
peraturan khusus yang mengatur tentang penyelenggaraan uji kelayakan dan
kepatutan ini. Peraturan tersebut diharapkan mampu digunakan sebagai pedoman
baku di setiap penyelenggaraan uji kelayakan dan kepatutan pemimpin lembaga
negara, seperti persyaratan, tata cara, penyelenggaraan, substansi, standar
hasil, dan konsep pelaksanaan. Kejelasan pengaturan tersebut dapat
memperkecil intervensi dari kelompok kepentingan. Selain itu, fit and proper test ke depan juga harus
dilakukan dengan cara memperkuat peran dan keterlibatan masyarakat sehingga
meneguhkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian, saat
melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pemimpin lembaga negara,
anggota DPR telah memiliki bekal pertanyaan guna mendalami rekam jejak,
pengetahuan, dan integritas calon pemimpin lembaga negara. Sebagai penutup, dengan adanya peraturan
perundang-undangan khusus penyelenggaraan uji kelayakan dan kepatutan, terdapat
keseragaman dan kejelasan tentang substansi dan tata cara penyelenggaraan uji
kelayakan dan kepatutan. Hal itu juga menumbuhkan partisipasi masyarakat
terlibat di dalam kegiatan uji kelayakan dan kepatutan sehingga pemimpin
lembaga negara tidak ada yang cacat moral dan minim integritas. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/17/menggagas-pedoman-fit-and-proper-test-pejabat-negara |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar