Amanah
Bangsa atas Bumi Indonesia Sudjito
Atmoredjo : Guru Besar Ilmu Hukum UGM |
KOMPAS, 22 Juli 2022
Bumi
Indonesia itu sangat luas. Tanah, air, kekayaan alam, dan ruang angkasa di
atasnya, dari Sabang hingga Merauke, merupakan karunia Allah SWT kepada
bangsa Indonesia. Kesadaran atas amanah untuk kepemilikan, penguasaan, dan
pengelolaannya telah dirumuskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria). Tersurat pada Pasal 1 (1), ”Seluruh wilayah
Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia; (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Pada wilayah negara yang luas, subur, gemah ripah,
loh jinawi, ini mestinya bangsa Indonesia bisa hidup nyaman, makmur, dalam
kecukupan sandang, pangan, dan papan. Sayang, realitas empiris menunjukkan
masih banyak komponen bangsa, hidupnya miskin, tuna-kisma, tuna-papan. Pemilikan lahan Laporan Akhir Penelitian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kementerian ATR/BPN tahun 2019, antara lain, mengungkapkan bahwa
pada struktur dan distribusi pemilikan tanah di tingkat wilayah, diperoleh
data, pertama, struktur pemilikan luas tanah didominasi luas tanah lebih
besar dari 20 hektar seluas 29 persen dari luas pemilikan. Sementara
pemilikan bidang tanah yang terbanyak dalam kategori luas kurang dari 0,10
hektar sebanyak 65 persen bidang merata di setiap pulau utama. Kedua, struktur pemilikan luas tanah di Sumatera
merupakan yang terluas dibandingkan pulau utama lainnya (41 persen), dengan
pemilikan terluas pada kategori 1-1,99 hektar, 2-4,99 hektar, 0,50-0,99
hektar, dan lebih besar dari 20 hektar. Adapun pemilikan jumlah bidang yang
terbanyak berada di Jawa (58 persen), dengan pemilikan bidang pada kategori
kurang dari 0,1 hektar, 0,1-0,19 hektar, dan 0,20-0,49 hektar. Di balik data di atas, tentu ada faktor-faktor
penyebabnya. Tersurat pada halaman 135-136 laporan tersebut bahwa faktor
penyebab paling dominan adalah jumlah bidang dan produktivitas. Hal ini
mengindikasikan bahwa setiap kenaikan satu satuan jumlah bidang dan
produktivitas akan menaikkan luasan tanah pertanian sebesar sekian satuan. Strategi dan kebijakan untuk mengendalikan
ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian oleh kantor pertanahan
pada umumnya belum ada. Sehubungan dengan itu, direkomendasikan agar
fragmentasi tanah pertanian harus dikendalikan karena semua faktor yang
diteliti berpengaruh positif terhadap terjadinya fragmentasi terhadap tanah
pertanian. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan untuk
melindungi rumah tangga petani (RTP) mengenai penataan luas bidang, lokasi
pembangunan kantor balai penyuluhan pertanian (BPP), pembangunan
infrastruktur pertanian, peningkatan teknologi informasi, penyediaan pasar
(input, tenaga kerja, dan output), pengembangan mekanisasi pertanian, prosedur
jual beli tanah, pengaturan sistem bagi hasil, pengaturan investasi
agribisnis, dan pembinaan kelembagaan pengelolaan usaha tani. Apabila deskripsi data, faktor penyebab, dan
rekomendasi di atas dikembalikan pada UUPA, dapat diyakini bahwa segalanya
berpulang kepada para decision makers, regulator, birokrat, ataupun para
pemangku kepentingan, yang sayangnya sering kali kurang/tidak amanah pada
tugas dan jabatan masing-masing. Bukankah telah jelas bahwa untuk tidak merugikan
kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas
tidak diperkenankan (Pasal 7). Diamanahkan agar diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau
badan hukum (Pasal 17 Ayat 1). Diamanahkan pula agar peraturan tentang batas
maksimum dibuat dalam waktu singkat (Pasal 17 Ayat 2). Tanah-tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh pemerintah dengan ganti
kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah (Pasal 17 Ayat 3). Tercapainya
batas minimum dilaksanakan secara berangsur-angsur (Pasal 17 Ayat 4). Khusus untuk tanah pertanian, memang sudah ada
Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian. Dalam banyak kajian dan penelitian, UU ini masih belum
efektif dilaksanakan. Semakin maraknya fragmentasi tanah pertanian merupakan
akibat dari kelalaian menjalankan amanah UU ini. Sungguh disayangkan, pengaturan tentang batas maksimal/minimal
untuk tanah bangunan hingga kini belum ada. Bahkan, hingga kini belum ada
pemikiran untuk perwujudan peraturan itu. Dalam alur logika linier, mana
mungkin para decision makers dan regulator membuat aturan yang akan merugikan
dirinya sendiri. Akibatnya, pemilikan dan penguasaan tanah bangunan
yang melampaui batas sulit dikendalikan. Betapa pun ada ketentuan bahwa
seseorang/badan hukum tidak boleh mempunyai tanah bangunan lebih dari lima
bidang, kekuatan hukumnya dan praktik di lapangan lemah. Implikasinya, banyak
golongan elite (penguasa, pengusaha) memiliki rumah mewah dan tanah bangunan
dalam jumlah tak terbilang. Kembali pada masalah tanah pertanian. Dalam Perppu
No 56/1960 diatur tentang pengembalian tanah pertanian yang digadaikan. Barang
siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai
berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih wajib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang
tebusan (Pasal 7 Ayat 1). Aturan demikian merupakan pendukung Pasal 8 bahwa
pemerintah mengadakan usaha-usaha agar setiap petani sekeluarga memiliki
tanah pertanian minimum 2 hektar. Hemat saya, tergadaikannya tanah-tanah kepada para
cukong, investor, oligarki, pebinis melalui rekayasa perizinan (misal untuk
perkebunan, pertambangan) sebagaimana marak akhir-akhir ini mestinya dicegah,
bukan didorong. Lebih lanjut, ketentuan-ketentuan penebusan tanah tergadaikan
dalam Perppu No 56/1960 diaktualisasikan dan ditransformasikan dalam konteks
kekinian. Artinya, amanah agar bangsa ini berdaulat atas negeri sendiri harus
diupayakan sungguh-sungguh ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/20/amanah-bangsa-atas-bumi-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar